Israel Tutup Akses Bantuan di Bulan Ramadhan, Warga Gaza Hadapi Krisis Pangan

Israel telah menutup akses bantuan ke Gaza selama bulan Ramadhan, yang menyebabkan warga setempat mengalami dampak besar, terutama terkait ketersediaan pangan dan kenaikan harga kebutuhan pokok. Keputusan ini diumumkan pada Minggu (2/3/2024) sebagai bagian dari tekanan terhadap Hamas agar menyetujui perpanjangan gencatan senjata sesuai dengan syarat yang diajukan Israel.

Langkah ini langsung memengaruhi kondisi pasar di Gaza, dengan harga bahan pokok melonjak meskipun otoritas setempat berupaya menstabilkannya. “Ada banyak kekhawatiran, hari ini banyak orang membeli persediaan makanan dan harga melonjak drastis,” ujar Belal al-Helou, seorang pekerja kemanusiaan sekaligus pembeli, kepada AFP pada Senin (3/3/2025).

Ia menambahkan bahwa selama perbatasan tetap tertutup, harga kebutuhan pokok akan terus meningkat, sehingga warga semakin sulit mendapatkan makanan. “Saat ini, harga 1 kg gula mencapai 10-12 shekel, lebih dari dua kali lipat dibandingkan sebelum perang. Kenaikan harga terus terjadi, dan masyarakat panik terkait persediaan makanan,” tambahnya dari pasar jalanan yang ramai di Kota Gaza.

Seorang pembeli lainnya, Adly al-Ghandour, mengungkapkan bahwa harga kebutuhan pokok sudah naik hingga 80 persen dan dikhawatirkan akan meningkat hingga 200 persen jika penutupan perbatasan terus berlangsung.

Meskipun masih ada stok dari fase pertama gencatan senjata yang dimulai pada 19 Januari, pedagang terus menghadapi kesulitan dalam mendapatkan pasokan baru. Beberapa kios masih menjual dekorasi Ramadhan seperti lentera kecil dan papan bertuliskan “Selamat Ramadhan”, sementara para pembuat roti sibuk menyiapkan qatayef, makanan khas berbentuk panekuk yang diisi dengan krim dan kacang.

Caroline Seguin, koordinator darurat dari Médecins Sans Frontières (Dokter Lintas Batas) di Gaza, mengatakan bahwa sejumlah truk bantuan yang dijadwalkan masuk pada Minggu telah dipulangkan dalam keadaan penuh. “Selama enam minggu gencatan senjata, kami berhasil memasukkan beberapa truk bantuan, tetapi ini jelas bukan solusi permanen bagi krisis kemanusiaan di Gaza,” ujarnya kepada AFP.

Anggaran Pertahanan China Tembus Rp 4.000 Triliun, Melebihi Ekonomi Negara

China mengumumkan rencana untuk meningkatkan anggaran pertahanannya sebesar 7,2% pada tahun 2025. Kebijakan ini menunjukkan komitmen negara tersebut dalam mempertahankan kekuatan militer yang stabil meskipun dihadapkan dengan berbagai tantangan ekonomi dan ketegangan geopolitik yang semakin memanas. Anggaran pertahanan yang baru ini akan mencapai total 1,78 triliun yuan atau sekitar Rp4 kuadriliun, dan rencananya akan dibahas dalam sidang parlemen yang dimulai pada Rabu (5/3/2025).

Sejak Presiden Xi Jinping memimpin China pada tahun 2013, anggaran militer negara ini telah mengalami lonjakan signifikan lebih dari dua kali lipat dari sebelumnya yang hanya sekitar 720 miliar yuan. Peningkatan anggaran tersebut terjadi di tengah tantangan ekonomi yang melanda China dalam beberapa tahun terakhir dan ketegangan yang semakin meningkat dengan negara-negara Barat, terutama terkait isu Taiwan dan konflik Ukraina yang mempengaruhi hubungan internasional.

Meskipun pertumbuhan anggaran pertahanan ini terbilang signifikan, angka tersebut masih jauh melebihi target pertumbuhan ekonomi China yang diperkirakan hanya akan mencapai sekitar 5% pada tahun ini. Pemerintah Beijing tetap berfokus pada ambisi modernisasi angkatan bersenjatanya, dengan target penuh pada tahun 2035. Ini termasuk pengembangan berbagai persenjataan canggih seperti rudal, kapal perang, kapal selam, dan teknologi pengintaian mutakhir.

Di bawah kepemimpinan Xi Jinping, Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) juga terus meningkatkan kesiapan tempurnya dengan lebih banyak melaksanakan latihan militer. Beberapa latihan yang dilakukan difokuskan pada skenario pengambilalihan Taiwan, yang menjadi isu sensitif dalam hubungan China dengan Amerika Serikat dan sekutunya. Survei dari International Institute for Strategic Studies yang berbasis di London mencatat, meskipun ekonomi China melambat, pemerintah tetap memberikan prioritas pada pengeluaran militer untuk menjaga posisi geopolitiknya.

Namun, tidak hanya tantangan eksternal yang dihadapi oleh PLA. Dalam dua tahun terakhir, militer China juga diguncang oleh skandal korupsi yang melibatkan sejumlah pejabat tinggi, termasuk dua mantan menteri pertahanan. Skandal ini mempengaruhi citra PLA di mata publik dan internasional.

Meskipun begitu, China tetap menjadi negara dengan anggaran pertahanan terbesar kedua di dunia, hanya setelah Amerika Serikat. Pemerintah Washington sendiri diperkirakan akan mengalokasikan anggaran militer sebesar 850 miliar dollar AS (sekitar Rp13,88 kuadriliun) pada tahun 2025, yang jauh melampaui belanja pertahanan China.

Peningkatan anggaran militer China diperkirakan akan semakin mempertegas dinamika geopolitik di kawasan Indo-Pasifik. Ini akan menjadi faktor penting dalam persaingan antara China dan Amerika Serikat, serta dalam konteks ketegangan yang terus meningkat di Laut China Selatan dan Selat Taiwan.

UNICEF Kecam Israel atas Pemblokiran Bantuan Kemanusiaan ke Gaza

Direktur Regional UNICEF untuk Timur Tengah dan Afrika Utara, Edouard Beigbeder, menyoroti kebijakan Israel yang menghambat distribusi bantuan kemanusiaan ke Gaza sejak Minggu (2/3) pagi waktu setempat.

Menurut Beigbeder, penghentian bantuan tersebut berdampak besar terhadap anak-anak dan keluarga di Gaza yang tengah berjuang untuk bertahan hidup.

“Pembatasan yang diumumkan kemarin akan sangat menghambat operasi penyelamatan nyawa bagi warga sipil,” ungkapnya dalam sebuah pernyataan pada Senin (3/3).

Gencatan Senjata dan Krisis Kemanusiaan

Beigbeder menegaskan bahwa gencatan senjata di Gaza harus tetap dilanjutkan karena menjadi jalur utama untuk mendistribusikan bantuan bagi anak-anak dan warga yang terdampak konflik. Situasi di Gaza saat ini masih sangat mengkhawatirkan, sehingga bantuan kemanusiaan perlu terus mengalir dengan cepat.

“Meskipun gencatan senjata memungkinkan kami memperluas bantuan bagi mereka yang membutuhkan, tingkat kehancuran di Gaza sudah mencapai batas bencana. Oleh karena itu, gencatan senjata harus terus dipertahankan dan lebih banyak bantuan harus diperbolehkan masuk guna mencegah penderitaan yang lebih besar serta mengurangi korban jiwa,” tambahnya.

Sistem Kesehatan Gaza di Ambang Kehancuran

UNICEF mencatat bahwa fasilitas kesehatan di Gaza semakin kewalahan. Dari 35 rumah sakit yang ada, hanya 19 yang masih beroperasi, itu pun dalam kondisi terbatas.

“Tujuh bayi baru lahir dilaporkan meninggal akibat hipotermia dalam sepekan terakhir. Mereka tidak memiliki akses ke pakaian hangat, selimut yang memadai, tempat berlindung, ataupun perawatan medis,” jelas Beigbeder.

Sebagai bentuk respons darurat, UNICEF telah menyalurkan pakaian hangat untuk 150 ribu anak, menyediakan layanan medis bagi 25 ribu orang, serta meningkatkan pasokan air bersih bagi hampir 500 ribu warga Gaza setiap harinya.

Trump Sampaikan Pesan Ramadhan, AS Kembali Tekankan Kebebasan Beragama

Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menyampaikan ucapan selamat menjalankan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan kepada umat Muslim di seluruh dunia. Pernyataan tersebut disampaikan melalui siaran pers yang dirilis oleh Gedung Putih, yang juga dikutip oleh Kedutaan Besar dan Konsulat AS di Indonesia pada Senin, 3 Maret 2025. Dalam pesan tersebut, Trump menekankan pentingnya kebebasan beragama dan menghormati nilai-nilai spiritual yang terkandung dalam bulan Ramadhan.

“Dalam kesempatan ini, saya mengucapkan salam hangat untuk bulan suci Ramadhan, yang merupakan waktu penuh berkah untuk berpuasa, berdoa, dan berkumpul bersama,” ujar Trump dalam pernyataannya. Ia melanjutkan bahwa bulan Ramadhan adalah saat yang penuh makna, di mana umat Muslim bisa meraih harapan, keberanian, serta inspirasi untuk menjalani kehidupan dengan kesucian dan kebajikan.

Trump juga menyampaikan bahwa pemerintahannya tetap berkomitmen untuk menjaga kebebasan beragama, yang ia anggap sebagai nilai fundamental dari masyarakat Amerika. “Ketika jutaan Muslim di Amerika memulai ibadah Ramadhan mereka, pemerintahan saya menegaskan komitmen kami untuk terus menjaga kebebasan beragama, yang merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan kami,” tambahnya.

Lebih lanjut, Trump berharap agar bulan Ramadhan menjadi waktu yang penuh refleksi, kedamaian, dan dapat meningkatkan rasa persaudaraan antarumat beragama. “Saya menyampaikan doa dan harapan terbaik agar bulan Ramadhan ini menjadi waktu untuk merenung, penuh kebahagiaan, dan merasakan rahmat serta cinta Tuhan yang tiada batas,” tuturnya.

Indonesia Memulai Ramadhan Lebih Awal

Di sisi lain, Indonesia telah menetapkan awal Ramadhan 1446 Hijriah jatuh pada Sabtu, 1 Maret 2025. Penetapan ini membuat Indonesia menjadi negara pertama di kawasan Asia Tenggara yang memulai ibadah puasa lebih awal dibandingkan negara tetangga lainnya, seperti Malaysia, Singapura, Thailand, dan Kamboja, yang baru memulai puasa pada Minggu, 2 Maret 2025.

Menteri Agama Republik Indonesia, Nasaruddin Umar, menjelaskan bahwa keputusan tersebut berdasarkan hasil pemantauan hilal yang terlihat di beberapa titik di Indonesia, termasuk di Provinsi Aceh. “Dengan hasil pemantauan tersebut, kami dapat memastikan bahwa 1 Ramadhan 1446 H jatuh pada 1 Maret 2025,” katanya dalam konferensi pers setelah sidang isbat yang digelar pada Jumat, 28 Februari 2025.

Nasaruddin juga menjelaskan bahwa perbedaan penetapan awal Ramadhan ini terjadi akibat variasi sudut elongasi dan ketinggian hilal di masing-masing negara. “Meskipun negara-negara ini terletak berdekatan secara geografis, posisi hilal bisa berbeda, sehingga hasil pengamatan pun tidak selalu sama,” ungkapnya. Ia pun mengimbau agar umat Muslim di seluruh dunia mengikuti keputusan otoritas keagamaan masing-masing dalam menentukan awal Ramadhan, mengingat perbedaan metode rukyat dan hisab yang digunakan di berbagai negara.

Dengan perbedaan tersebut, umat Muslim di Indonesia dan negara tetangga di Asia Tenggara menjalani bulan Ramadhan dengan semangat yang sama, meskipun dimulai pada waktu yang sedikit berbeda.

Serangan Udara Israel di Gaza, 4 Tewas dan 6 Terluka

Pasukan militer Israel kembali melancarkan serangan udara ke Jalur Gaza pada Minggu (2/3) waktu setempat, tepat saat tahap awal gencatan senjata hampir berakhir. Berdasarkan laporan otoritas kesehatan Gaza, setidaknya empat orang meninggal dunia dan enam lainnya mengalami luka-luka akibat serangan tersebut.

Menurut pernyataan dari Kementerian Kesehatan Gaza, seperti dikutip dari AFP dan Al Arabiya pada Senin (3/3/2025), para korban telah dilarikan ke rumah sakit di wilayah Gaza setelah serangan yang terjadi di beberapa lokasi berbeda.

“Sejak pagi hari ini (2/3), tercatat empat orang tewas dan enam lainnya terluka,” demikian pernyataan resmi dari Kementerian Kesehatan Gaza.

Sementara itu, dalam pernyataan terpisah, militer Israel mengungkapkan bahwa mereka telah menargetkan sekelompok tersangka yang diduga sedang menanam alat peledak di wilayah utara Jalur Gaza.

“Pada pagi hari ini (2/3), sejumlah individu teridentifikasi sedang beraktivitas di dekat pasukan IDF di Gaza utara dan terlihat menanam bahan peledak di area tersebut,” bunyi pernyataan dari militer Israel.

Militer Israel juga menambahkan bahwa serangan udara dilakukan untuk menghilangkan potensi ancaman tersebut. Namun, mereka tidak memberikan informasi lebih lanjut mengenai kemungkinan korban jiwa akibat serangan itu.

Serangan ini terjadi di tengah masa transisi gencatan senjata yang dimulai sejak 19 Januari lalu. Gencatan senjata itu memungkinkan pertukaran 33 sandera Israel dan lima sandera asal Thailand yang dibebaskan oleh Hamas, dengan sekitar 2.000 tahanan Palestina yang dilepaskan oleh pemerintah Israel.

Menjelang berakhirnya tahap pertama gencatan senjata, seharusnya ada pembicaraan untuk membahas tahapan berikutnya. Negosiasi ini diharapkan dapat membuka jalan menuju kesepakatan gencatan senjata permanen, sekaligus mengakhiri konflik yang telah berlangsung sejak Oktober 2023.

Perundingan terkait kelanjutan gencatan senjata saat ini sedang berlangsung di Kairo. Sumber dari Mesir mengungkapkan bahwa delegasi Israel berusaha memperpanjang durasi tahap pertama yang telah berjalan selama 42 hari, sementara Hamas menuntut agar segera beralih ke tahap kedua.

Juru bicara Hamas, Hazem Qassem, menegaskan bahwa pihaknya menolak usulan Israel untuk memperpanjang tahap awal gencatan senjata di Gaza.

Penjelasan: Peristiwa Penting dalam Fase Pertama Gencatan Senjata di Gaza

Dalam tahap awal gencatan senjata di Gaza yang berlangsung selama enam minggu atau 42 hari, Hamas membebaskan 25 sandera Israel serta menyerahkan jenazah delapan sandera sebagai pertukaran dengan hampir 2.000 warga Palestina yang ditahan oleh Israel, menurut laporan Al Jazeera.

Israel memberikan izin bagi sebagian bantuan kemanusiaan untuk masuk, tetapi periode ini diwarnai dengan berbagai pelanggaran yang berulang dari pihak Israel.

Serangan udara Israel mengakibatkan puluhan warga Palestina tewas. Militer Israel mengklaim bahwa mereka yang menjadi korban berada terlalu dekat dengan pasukan atau memasuki area yang dianggap melanggar gencatan senjata.

Terkait tempat penampungan, dari total 200.000 tenda yang direncanakan untuk masuk dalam fase pertama, hanya sekitar 10 persen yang berhasil dikirimkan, sementara 60.000 rumah mobil yang dijanjikan sama sekali belum diterima oleh warga Gaza.

Hamas menyebut penghentian bantuan oleh Israel pada hari ini sebagai bentuk pelanggaran lain, mengingat gencatan senjata dan distribusi bantuan seharusnya tetap berlangsung selama proses negosiasi tahap kedua kesepakatan berjalan.

Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) menyatakan bahwa ada indikasi kuat Israel menggunakan “kelaparan sebagai metode peperangan” dalam keputusannya mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Netanyahu tahun lalu.

Hamas Serukan Persiapan Gencatan Senjata, Israel Ingin Perpanjang Durasi

Perbedaan pandangan antara Israel dan Hamas kembali memanas mengenai masa depan gencatan senjata, terutama setelah berakhirnya fase pertama yang dilaksanakan pada Sabtu (1/3). Isu ini semakin mencuat setelah Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyetujui proposal dari Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang menawarkan perpanjangan gencatan senjata hingga akhir Ramadan dan Paskah Yahudi pada pertengahan April. Netanyahu menerima rencana yang disusun oleh utusan Presiden AS, Steve Witkoff, yang bertujuan untuk menjaga ketenangan di wilayah tersebut dalam beberapa bulan mendatang.

Namun, sikap Hamas berbeda jauh. Mereka menolak perpanjangan gencatan senjata tersebut dan lebih memilih untuk melanjutkan pembicaraan menuju fase kedua dari perjanjian gencatan senjata. Fase pertama yang berlangsung dari 19 Januari hingga 3 Maret 2025, mencatatkan pembebasan ratusan warga Palestina oleh Israel, sedangkan Hamas melepaskan 25 warga Israel.

Fase kedua, menurut Hamas, akan menjadi titik balik untuk pelepasan lebih banyak sandera yang masih berada di Gaza serta membuka peluang untuk gencatan senjata permanen. Pemimpin Hamas, Mahmoud Mardawi, menekankan bahwa langkah pertama menuju stabilitas kawasan adalah menuntaskan perjanjian ini dengan implementasi fase kedua.

Ketegangan ini turut mendapat perhatian luas dari berbagai pihak internasional. Para pemimpin dunia khawatir bahwa ketegangan ini bisa kembali memicu perang besar, setelah 15 bulan penderitaan yang dialami oleh warga Gaza dan Palestina. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Antonio Guterres, memperingatkan akan potensi dampak buruk dari kembalinya kekerasan. Ia menegaskan bahwa gencatan senjata permanen serta pelepasan sandera adalah langkah kunci untuk menghindari eskalasi yang lebih parah.

Sementara itu, dukungan militer dari Amerika Serikat kepada Israel tetap berlanjut meskipun gencatan senjata sedang berlangsung. Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, mengungkapkan bahwa mereka akan mempercepat pengiriman bantuan militer senilai US$4 miliar (sekitar Rp66,2 triliun) ke Israel, dengan alasan untuk memastikan stabilitas di kawasan tersebut.

Situasi yang penuh ketegangan ini tentu saja menjadi perhatian besar dunia internasional, yang terus mengawasi perkembangan gencatan senjata antara kedua pihak ini. Keputusan yang diambil dalam beberapa hari ke depan akan sangat menentukan apakah perdamaian dapat tercapai atau ketegangan yang lebih besar akan terjadi.