Krisis Gaza: Warga Bertahan di Tengah Badai Musim Dingin Tanpa Air dan Makanan

Bertelanjang kaki dengan wadah kosong di tangan, Alaa Al-Shawish berdiri di atas tanah berlumpur, mengantre untuk mendapatkan air bersih. Di tengah musim dingin yang menusuk, ia merasa tak berdaya memikirkan nasib keluarganya yang tinggal di tenda darurat di Gaza.

Alaa, bersama keluarganya, mengungsi ke Deir Al-Balah setelah rumah mereka di Kota Gaza hancur akibat serangan masif tentara Israel. Namun, tempat pengungsian darurat ini jauh dari kata layak dan justru membawa penderitaan baru bagi mereka.

“Kami kedinginan dan sekarat. Ini bukan kehidupan. Setiap hari saya berdoa agar semuanya segera berakhir,” ungkap Alaa sambil menahan tangis.

Cuaca Dingin Mematikan di Gaza

Bencana cuaca dingin di Gaza telah merenggut nyawa sejumlah warga Palestina, termasuk bayi-bayi yang tak mampu bertahan melawan dinginnya suhu. Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) memperingatkan bahwa kondisi ini dapat memakan lebih banyak korban jiwa dalam beberapa hari mendatang.

Kementerian Kesehatan Palestina melaporkan bahwa beberapa bayi di bawah usia satu tahun meninggal karena hipotermia, termasuk seorang anak berusia dua tahun. Yahya Al-Batran, seorang ayah, harus menggendong sendiri jenazah bayinya yang berusia 20 hari ke rumah sakit setelah anaknya meninggal akibat kedinginan.

“Kami tidak punya cara lain untuk menghangatkan diri. Anak saya meninggal di depan mata saya,” ujar Yahya dengan suara bergetar.

Banjir dan Kerusakan di Kamp Pengungsian

Musim dingin di Gaza tidak hanya membawa suhu rendah, tetapi juga hujan deras yang menyebabkan banjir di kamp-kamp pengungsian. Pertahanan Sipil Gaza melaporkan lebih dari 1.500 tenda pengungsi terendam banjir dengan ketinggian air mencapai 30 sentimeter. Banyak tenda rusak parah dan tak lagi bisa digunakan, membuat para pengungsi kehilangan tempat berlindung.

Genangan air yang membanjiri kamp pengungsian di Deir Al-Balah, Rafah, dan Khan Younis menambah beban penderitaan warga. Barang-barang seperti kasur, karpet, dan pakaian basah kuyup, sementara anak-anak dan orang dewasa harus berjibaku dengan lumpur untuk membersihkan sisa-sisa banjir.

Bantuan yang Tidak Mencukupi

UNRWA menyatakan kebutuhan akan bantuan kemanusiaan mendesak, termasuk selimut, pakaian hangat, dan tenda yang lebih layak. Namun, upaya distribusi bantuan terganggu oleh minimnya truk yang diizinkan masuk ke Gaza.

Menurut COGAT, badan Israel yang bertanggung jawab atas pemberian izin bantuan ke Gaza, hanya 1.290 truk bantuan yang diizinkan masuk pekan lalu. Jumlah ini jauh di bawah rata-rata sebelum perang, yakni 3.500 truk per minggu.

“Kami membutuhkan bantuan yang lebih konsisten dan dalam jumlah yang jauh lebih besar,” kata UNRWA.

Perjuangan Warga untuk Bertahan Hidup

Salem Abu Amra, salah satu pengungsi di Deir Al-Balah, menceritakan kesulitan yang dialaminya bersama keluarganya. “Kami terjebak di tenda darurat yang tidak mampu melindungi kami dari hujan dan angin dingin,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa tiga anaknya kedinginan sepanjang malam di tengah badai. “Kami butuh pakaian hangat, tenda yang layak, dan perlindungan agar bisa bertahan di cuaca seperti ini,” kata Salem.

Musim dingin di Gaza telah menjadi simbol nyata penderitaan rakyat Palestina yang tidak hanya harus menghadapi dampak perang, tetapi juga bencana alam yang memperburuk situasi mereka.

Keterlibatan Tentara Korut di Perang Rusia-Ukraina Berujung Kematian

Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, mengungkapkan bahwa sejumlah tentara Korea Utara yang dikirim untuk membantu Rusia dalam perang melawan Ukraina meninggal setelah ditangkap oleh pasukan Ukraina. Dalam pidatonya, Zelensky menuding Rusia memberikan perlindungan yang sangat minim terhadap para tentara dari Korea Utara tersebut.

Tentara Korut Tewas Akibat Cedera Parah

“Hari ini, kami menerima laporan bahwa beberapa tentara dari Korea Utara telah ditangkap oleh pasukan kami. Sayangnya, mereka mengalami luka yang sangat parah dan tidak dapat diselamatkan,” ujar Zelensky dalam pidato malamnya yang diunggah di media sosial, dikutip oleh AFP, Sabtu (28/12/2024).

Zelensky tidak menjelaskan secara rinci jumlah tentara Korea Utara yang tewas setelah ditangkap. Namun, ia menegaskan bahwa keputusan Korea Utara mengirimkan tentara untuk mendukung Rusia adalah langkah yang merugikan negara tersebut.

“Kehadiran mereka (tentara Korea Utara) di medan perang membawa kerugian besar. Kami juga melihat bahwa Rusia dan pengawas dari Korea Utara tidak memberikan perhatian pada keselamatan para tentara ini,” tambah Zelensky.

Tuduhan Minimnya Perlindungan bagi Tentara Korut

Menurut Zelensky, Rusia mengerahkan tentara Korea Utara untuk operasi penyerangan dengan perlindungan yang sangat minim. Hal ini, katanya, menunjukkan kurangnya kepedulian terhadap kelangsungan hidup mereka di medan perang.

“Rusia hanya memanfaatkan mereka untuk menyerang tanpa memberikan perlindungan memadai,” katanya.

Seruan Zelensky kepada China

Dalam pidatonya, Zelensky juga mendesak China untuk menggunakan pengaruhnya terhadap Pyongyang. Ia menyebut bahwa hubungan erat antara China, Korea Utara, dan Rusia seharusnya dapat dimanfaatkan untuk menghentikan eskalasi perang lebih lanjut.

“Jika China benar-benar tulus dalam pernyataan mereka bahwa perang tidak boleh meluas, maka mereka perlu memengaruhi Pyongyang dengan serius,” tegasnya.

Informasi dari Badan Intelijen Korea Selatan

Sebelumnya, badan intelijen Korea Selatan melaporkan bahwa salah satu tentara Korea Utara yang ditangkap Ukraina meninggal akibat luka-lukanya. Korea Utara diketahui telah mengirim ribuan tentara untuk membantu Rusia dalam perang, terutama di wilayah perbatasan Kursk barat.

Wilayah Kursk, yang menjadi salah satu lokasi utama serangan Ukraina pada Agustus lalu, kini menjadi bagian penting dari eskalasi konflik. Zelensky menyebut pengiriman tentara dari Korea Utara sebagai eskalasi besar dalam perang yang telah berlangsung hampir tiga tahun.

Kesimpulan

Keterlibatan tentara Korea Utara dalam perang Rusia-Ukraina menjadi sorotan dunia. Dengan minimnya perlindungan yang diberikan Rusia dan tekanan internasional terhadap Pyongyang, konflik ini terus memicu kekhawatiran akan eskalasi lebih lanjut.

Filipina Sambut Kepulangan Mary Jane, Jenderal Rusia Tewas Jadi Sorotan

Berbagai peristiwa menarik perhatian dunia pada Rabu (18/12), mulai dari pemulangan terpidana mati Mary Jane Veloso ke Filipina hingga tewasnya seorang komandan nuklir Rusia akibat bom. Berikut rangkuman beritanya:

Mary Jane Veloso Resmi Dipulangkan ke Filipina

Pemerintah Indonesia telah memulangkan Mary Jane Veloso, seorang terpidana mati dalam kasus penyelundupan narkoba, kembali ke Filipina secara resmi. Kepulangan Mary Jane disambut baik oleh Presiden Filipina Ferdinand “Bongbong” Marcos Jr.

“Kami menyampaikan terima kasih kepada pemerintah Indonesia dan semua pihak yang telah mendukung kesejahteraan Mary Jane Veloso,” ujar Marcos dalam pernyataan resminya yang diunggah di Instagram pada Rabu (18/12).

Mary Jane dipulangkan setelah perwakilan kedua negara menandatangani dokumen perjanjian di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, Selasa malam (17/12). Pemulangan ini menjadi momen penting dalam hubungan diplomatik antara Filipina dan Indonesia.

Iran Hentikan Pembahasan RUU Wajib Hijab

Di tengah meningkatnya tekanan internasional, Dewan Keamanan Nasional Iran memutuskan untuk menghentikan sementara rancangan undang-undang wajib hijab bagi perempuan.

Keputusan ini diumumkan oleh Wakil Presiden Iran untuk Urusan Parlemen, Shahram Dabiri, pada Senin (16/12). “Setelah melalui berbagai diskusi, diputuskan bahwa undang-undang ini tidak akan diteruskan untuk saat ini,” kata Dabiri dalam wawancara dengan media lokal, seperti dikutip BBC.

Langkah ini menunjukkan adanya pertimbangan ulang terkait kebijakan kontroversial yang menuai protes di berbagai wilayah Iran.

Komandan Nuklir Rusia Tewas, AS Tegaskan Tidak Terlibat

Letnan Jenderal Igor Kirillov, kepala Pasukan Pertahanan Nuklir Rusia, dilaporkan tewas dalam sebuah operasi yang diklaim oleh Ukraina. Namun, Amerika Serikat menegaskan bahwa mereka tidak terlibat dalam pembunuhan tersebut.

“Kami tidak mengetahui rencana tersebut sebelumnya, apalagi terlibat,” kata Matthew Miller, juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Selasa (17/12).

Kirillov adalah tokoh militer senior Rusia yang sebelumnya dituduh menggunakan agen pengendali kerusuhan di medan perang, melanggar Konvensi Senjata Kimia.

Prabowo Subianto Bertemu Presiden Mesir di Kairo

Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, melakukan kunjungan kenegaraan ke Mesir dan bertemu dengan Presiden Abdel Fattah El-Sisi di Istana Kepresidenan Al Ittihadiya, Kairo, Rabu (18/12).

Pertemuan ini merupakan bagian dari rangkaian agenda resmi Prabowo selama kunjungannya ke Mesir. Saat tiba di istana, Prabowo disambut dengan upacara kenegaraan yang berlangsung khidmat.

Kunjungan ini diharapkan dapat memperkuat hubungan bilateral antara Indonesia dan Mesir, khususnya di bidang perdagangan dan kerja sama strategis lainnya.

Kesimpulan

Sorotan berita internasional hari ini mencakup berbagai peristiwa penting dari berbagai negara, mulai dari diplomasi, keamanan, hingga kebijakan dalam negeri. Perkembangan-perkembangan ini mencerminkan dinamika global yang terus bergerak cepat dan menjadi perhatian utama dunia.

Presiden Yoon Dimakzulkan, Siapa yang Akan Memimpin Korea Selatan Sementara?

Setelah Majelis Nasional Korea Selatan menyetujui pemakzulan Presiden Yoon Suk Yeol dan memutuskan untuk membawa kasusnya ke Mahkamah Konstitusi, Perdana Menteri Han Duck-soo akan mengambil alih jabatan presiden sementara. Han diperkirakan akan menjabat selama maksimal enam bulan hingga keputusan akhir diumumkan.

Menurut Pasal 71 Konstitusi Korea Selatan, jika presiden dianggap tidak mampu menjalankan tugasnya, perdana menteri memiliki tanggung jawab untuk menjalankan kekuasaan dan tugas kepresidenan.

Han Duck-soo Ambil Alih Kendali Negara

Masa jabatan Han sebagai presiden sementara akan dimulai segera setelah dokumen resmi pemakzulan disampaikan kepada Presiden Yoon. Berdasarkan pengalaman sebelumnya, proses ini biasanya membutuhkan waktu sekitar tiga jam setelah pengesahan.

Sebagai penjabat presiden, Han Duck-soo akan memiliki wewenang penuh yang dimiliki Presiden Yoon, termasuk peran sebagai panglima tertinggi angkatan bersenjata, pemberi amnesti, pengambil keputusan dalam situasi darurat, serta pengangkatan dan pemberhentian pejabat publik.

Sejarah mencatat bahwa penjabat presiden juga memiliki hak untuk memveto rancangan undang-undang (RUU). Sebagai contoh, Goh Kun, yang menjabat sebagai penjabat presiden pada 2004 menggantikan Roh Moo-hyun, pernah menggunakan kekuasaannya untuk memveto revisi Undang-Undang Amnesti.

Pemakzulan Yoon Suk Yeol dan Tantangan PM Han Duck-soo

Pemakzulan Yoon Suk Yeol merupakan peristiwa besar yang mengguncang politik Korea Selatan. Terdapat enam RUU yang menunggu keputusan presiden sementara, termasuk revisi Undang-Undang Pengelolaan Gandum dan penyelidikan khusus terhadap dugaan pemberontakan yang melibatkan Yoon serta tuduhan korupsi terhadap istrinya, Kim Keon Hee.

Namun, posisi Han sebagai presiden sementara juga menghadapi tantangan. Ia sendiri dituduh terlibat dalam kasus pemberontakan setelah Yoon memberlakukan darurat militer pada 3 Desember 2024. Oposisi utama, Partai Demokrat Korea, bahkan mempertimbangkan pemakzulan Han, meskipun wacana tersebut memicu perdebatan internal di dalam partai.

Garis Suksesi Jika PM Han Duck-soo Juga Dimakzulkan

Jika Han Duck-soo turut diberhentikan, tanggung jawabnya akan dialihkan kepada pejabat berikutnya sesuai garis suksesi. Berdasarkan Pasal 26 Undang-Undang Organisasi Pemerintah, Wakil Perdana Menteri dan Menteri Ekonomi serta Keuangan, Choi Sang-mok, berada di urutan pertama sebagai pengganti.

Setelah Choi, garis suksesi meliputi Wakil Perdana Menteri dan Menteri Pendidikan Lee Ju-ho, diikuti oleh Menteri Sains dan TIK Yoo Sang-im, Menteri Luar Negeri Cho Tae-yul, serta Menteri Unifikasi Kim Yung-ho.

Kesimpulan

Dengan pemakzulan Yoon Suk Yeol, Korea Selatan memasuki fase baru dalam politik nasionalnya. Han Duck-soo menghadapi tanggung jawab besar sebagai presiden sementara, termasuk menyelesaikan berbagai isu hukum dan politik yang kompleks. Namun, jika ia juga diberhentikan, garis suksesi presiden akan diuji dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Runtuhnya Rezim Al Assad: Kronologi Pemberontakan Milisi Suriah

Pada Minggu (8/12), rezim otoriter Presiden Bashar Al Assad resmi terguling setelah serangan kilat yang dilancarkan oleh kelompok milisi berhasil menguasai sebagian besar wilayah Suriah, termasuk ibu kota Damaskus. Militer Suriah menyatakan kepada para perwiranya bahwa pemerintahan Assad telah berakhir setelah kehilangan kendali atas wilayah strategis.

Kronologi Jatuhnya Rezim Bashar Al Assad

Runtuhnya pemerintahan Presiden Bashar Al Assad dimulai dengan pemberontakan besar-besaran yang dipimpin oleh kelompok milisi Hayat Tahrir al-Sham (HTS) pada akhir November. Serangan pertama mereka menargetkan kota Aleppo, yang sebelumnya berada di bawah kendali pemerintah Suriah sejak perang saudara berakhir pada tahun 2011.

HTS berhasil merebut Aleppo, mendorong Presiden Assad berjanji akan merebut kembali kota tersebut dengan bantuan milisi sekutu dari Irak, seperti Badr dan Nujaba, yang didukung oleh Iran.

Pada awal November, sekitar 300 anggota milisi Badr dan Nujaba dilaporkan bergerak menuju Suriah melalui jalur terpencil untuk menghindari serangan udara milisi pemberontak. Namun, upaya ini tidak cukup untuk membendung serangan berlanjut dari HTS.

Pada 5 November, HTS kembali melancarkan serangan terhadap kota Hama, yang memiliki posisi strategis di antara Aleppo dan Damaskus. Mereka bahkan berhasil merebut penjara utama di Hama dan membebaskan para tahanan. Kekalahan ini semakin melemahkan posisi militer Suriah.

Rezim Assad Akhirnya Tumbang

Pada 8 November, milisi pemberontak berhasil memasuki Damaskus dan menggulingkan rezim Bashar Al Assad. Penaklukan ibu kota ini menjadi puncak keberhasilan pemberontak setelah bertahun-tahun konflik berkepanjangan.

Bersamaan dengan runtuhnya rezim Assad, sejumlah warga lokal menyerbu kediamannya di Damaskus. Barang-barang berharga, termasuk lukisan mewah, senjata, uang tunai, hingga mobil mewah seperti Porsche, Ferrari, dan Mercedes-Benz, dilaporkan dijarah oleh massa.

Pelarian dan Permintaan Suaka Politik Assad

Setelah kehilangan kendali atas negaranya, Bashar Al Assad melarikan diri ke Rusia untuk mencari perlindungan politik. Pada hari yang sama ketika Damaskus jatuh, ia dilaporkan tiba di Moskow dan menerima suaka dari pemerintah Rusia.

Pemberian suaka ini menegaskan hubungan erat antara Rusia dan Suriah, yang telah berlangsung sejak awal 2000-an. Assad juga telah menyerukan transisi pemerintahan di Suriah untuk mengakhiri konflik yang melanda negara tersebut.

Pemimpin Sementara Ditunjuk

Sebagai langkah awal transisi, milisi Suriah menunjuk Mohammed Ghazi Al Jalali, mantan Perdana Menteri, sebagai pemimpin sementara. Pemimpin HTS, Abu Mohammed Al Julani, menyatakan bahwa Al Jalali akan mengisi posisi tersebut hingga pemerintahan baru terbentuk secara resmi.

Dengan berakhirnya rezim Bashar Al Assad, Suriah kini memasuki babak baru yang penuh tantangan untuk membangun kembali stabilitas politik dan sosial.

Darurat Militer di Korea Selatan: Kronologi hingga Presiden Yoon Didesak Mundur

Korea Selatan tengah menghadapi gejolak politik besar setelah Presiden Yoon Suk Yeol mendeklarasikan darurat militer pada Selasa (3/12) malam waktu setempat. Keputusan ini memicu kecaman publik, gelombang protes, hingga desakan pemakzulan terhadap sang presiden.

Deklarasi Darurat Militer dan Alasan Yoon

Melalui pidato yang disiarkan langsung di televisi nasional, Yoon menyatakan bahwa darurat militer diperlukan untuk mengatasi krisis yang ia klaim disebabkan oleh Majelis Nasional. Ia menuduh parlemen, yang didominasi oposisi, telah menghambat agenda pemerintah, termasuk pemakzulan pejabat dan pemangkasan anggaran.

“Saya menetapkan darurat militer untuk melindungi Republik Korea dari ancaman kekuatan komunis Korea Utara dan menghentikan upaya pihak-pihak anti-negara yang berbahaya,” ujar Yoon, seperti dikutip dari Korea Herald.

Ia juga menuding parlemen telah merusak sistem demokrasi dan keuangan negara dengan tindakan mereka. “Majelis Nasional telah menjadi sarang penjahat yang mencoba menggulingkan demokrasi,” tambahnya.

Penolakan dan Gelombang Protes

Deklarasi ini langsung mendapat penolakan keras dari berbagai pihak, termasuk Ketua Partai Demokratik, Lee Jae Myung, yang menyebut tindakan Yoon ilegal. Lee menyerukan warga untuk turun ke jalan dan memprotes keputusan tersebut.

“Darurat militer ini tidak sah dan melanggar konstitusi. Saya mengajak warga untuk berkumpul di Majelis Nasional sekarang,” tegas Lee, seperti dilaporkan AFP.

Ratusan warga segera memadati area di depan Majelis Nasional, sementara anggota parlemen berkumpul untuk membahas status darurat militer tersebut. Dalam sidang pleno, mayoritas legislator menolak darurat militer dan menyebutnya inkonstitusional.

Yoon Mencabut Darurat Militer

Setelah hanya bertahan selama enam jam, Yoon akhirnya mencabut status darurat militer pada Rabu pagi melalui rapat kabinet. Namun, langkah ini tidak meredakan kemarahan publik. Protes tetap berlanjut, dengan banyak warga menyerukan agar Yoon mundur dari jabatannya.

Oposisi juga semakin gencar mendorong pemakzulan presiden. Mereka menilai Yoon telah melanggar hukum dengan mendeklarasikan darurat militer secara sepihak tanpa berkonsultasi dengan parlemen.

Pemakzulan Mulai Dibahas

Pada Kamis (5/12) dini hari, Majelis Nasional resmi mengajukan mosi pemakzulan terhadap Yoon. Partai Demokratik, yang menguasai 176 kursi parlemen, hanya membutuhkan tambahan sembilan suara untuk mencapai kuorum dua pertiga, atau sekitar 200 suara, agar pemakzulan disetujui.

Namun, Partai Kekuatan Rakyat (People Power Party/PPP) yang merupakan pendukung Yoon, menolak mosi pemakzulan tersebut. Ketua PPP, Han Dong Hoon, menyatakan bahwa partainya akan berusaha keras menggagalkan pemakzulan demi mencegah ketidakstabilan nasional.

“Pemakzulan ini dapat memicu kekacauan dan membahayakan masyarakat. Namun, kami juga menolak status darurat militer yang ditetapkan presiden,” ujar Han dalam rapat partai.

Han bahkan meminta Yoon untuk mundur dari partai, menegaskan bahwa PPP tidak mendukung tindakan presiden yang dianggap melanggar konstitusi.

Seruan untuk Yoon Mundur Semakin Kuat

Gejolak politik di Korea Selatan masih berlanjut, dengan tekanan terhadap Yoon untuk mundur semakin meningkat. Protes publik dan perdebatan politik diperkirakan akan terus memanas dalam beberapa hari mendatang, seiring Majelis Nasional bersiap menggelar pemungutan suara untuk memutuskan nasib presiden.

Deklarasi darurat militer oleh Presiden Yoon Suk Yeol menjadi salah satu momen paling kontroversial dalam sejarah politik Korea Selatan. Keputusan tersebut tidak hanya menimbulkan gelombang protes besar, tetapi juga mengancam stabilitas politik negara. Proses pemakzulan yang sedang berlangsung akan menjadi penentu masa depan kepemimpinan Yoon dan arah politik Korea Selatan ke depan.

Meski Ada Gencatan Senjata, Pengungsi Israel Masih Enggan Pulang

Meski kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Hizbullah telah diberlakukan sejak Rabu (27/11), ribuan warga Israel yang mengungsi akibat konflik masih menolak untuk kembali ke rumah mereka. Situasi yang masih dinilai tidak sepenuhnya aman membuat banyak dari mereka enggan mengambil risiko.

Rakhel Revach, salah seorang pengungsi, mengungkapkan bahwa ia belum merasa cukup aman untuk kembali. Dalam kunjungannya singkat ke Israel untuk mengambil barang-barang pribadi, ia menegaskan bahwa jaminan keamanan menjadi syarat utama baginya untuk pulang.

“Saya tidak akan kembali tinggal di sana jika keamanan belum sepenuhnya terjamin. Selama masih ada ledakan dan keberadaan tentara, saya tidak mau pulang,” ujar Revach, seperti dilaporkan oleh France 24 pada Minggu (1/12).

Ribuan Warga Tetap Mengungsi

Revach adalah satu dari lebih dari 60 ribu warga Israel yang memilih tetap mengungsi meskipun konflik telah mereda. Sebaliknya, hampir 900 ribu warga sipil Lebanon yang sebelumnya mengungsi telah mulai kembali ke rumah mereka setelah kesepakatan gencatan senjata tercapai.

Warga berusia 57 tahun itu tinggal di Kiryat Shmona, sebuah kota di Israel utara yang terkena dampak besar akibat konflik dengan Hizbullah. Serangan yang terjadi selama konflik menyebabkan kerusakan parah, termasuk jendela pecah, tembok runtuh, dan kendaraan terbakar.

Zona Militer Tertutup

Juru bicara pemerintah Kiryat Shmona, Doron Shnaper, menyebutkan bahwa banyak penduduk daerah tersebut enggan kembali ke rumah mereka. Kota itu sebelumnya telah dinyatakan sebagai zona militer tertutup, membuatnya tidak aman untuk dihuni oleh warga sipil.

“Mereka tidak akan kembali sampai perang benar-benar dinyatakan berakhir,” ujar Shnaper.

Gencatan Senjata dan Upaya Stabilitas

Gencatan senjata antara Israel dan Hizbullah dimediasi oleh Amerika Serikat dan Prancis. Perjanjian ini mengatur bahwa tentara Lebanon akan dikerahkan di sepanjang perbatasan selatan, dibantu oleh pasukan penjaga perdamaian PBB.

Sebagai bagian dari kesepakatan, pasukan Israel juga akan secara bertahap menarik diri dari Lebanon selatan dalam kurun waktu 60 hari.

Sekretaris Jenderal Hizbullah, Naim Qassem, menyatakan bahwa pihaknya akan bekerja sama dengan tentara Lebanon untuk memastikan perjanjian gencatan senjata berjalan lancar.

“Kami akan bekerja sama untuk meningkatkan kapasitas pertahanan Lebanon dan mencegah musuh (Israel) memanfaatkan kelemahan kami,” ujar Qassem dalam pidato publiknya, seperti dilaporkan oleh Al Jazeera.

Harapan Perdamaian

Meskipun gencatan senjata telah disepakati, ketegangan yang masih tersisa membuat warga kedua negara tetap waspada. Baik Israel maupun Hizbullah diharapkan dapat memanfaatkan momen ini untuk menjaga stabilitas kawasan dan menghindari eskalasi konflik lebih lanjut.

Australia Larang Anak di Bawah 16 Tahun Menggunakan Media Sosial: Kebijakan Baru Diterapkan

Australia baru saja mengambil langkah tegas dengan mengesahkan undang-undang yang melarang penggunaan media sosial bagi anak-anak di bawah usia 16 tahun. Undang-Undang Keamanan Daring atau Online Safety Amendment Social Media Minimum Age Bill 2024 ini resmi disetujui oleh majelis tinggi parlemen pada Jumat (29/11).

Dengan perbandingan suara 34 mendukung dan 19 menolak, aturan ini menjadikan Australia salah satu negara dengan regulasi media sosial paling ketat di dunia. Larangan ini mencakup platform populer seperti Facebook, Instagram, TikTok, hingga X (sebelumnya Twitter).

Aturan dan Sanksi yang Ditetapkan

Menurut laporan dari AFP, undang-undang ini memungkinkan pemerintah menjatuhkan denda hingga AU$50 juta (sekitar Rp516 miliar) kepada perusahaan teknologi yang terbukti tidak mematuhi aturan tersebut. Perusahaan media sosial diwajibkan memastikan bahwa pengguna mereka berusia minimal 16 tahun.

Namun, undang-undang ini tidak merinci langkah-langkah teknis yang harus diambil perusahaan untuk memverifikasi usia pengguna. Mereka hanya diharapkan menerapkan mekanisme yang efektif guna mencegah anak-anak di bawah usia tersebut mengakses platform. Aturan ini dijadwalkan mulai berlaku efektif dalam 12 bulan ke depan, sebagaimana dilaporkan oleh The Guardian.

Alasan di Balik Larangan

Perdana Menteri Australia, Anthony Albanese, menyatakan bahwa undang-undang ini bertujuan untuk melindungi anak-anak dari bahaya yang sering dikaitkan dengan media sosial. Menurutnya, platform tersebut dapat meningkatkan risiko kecemasan, penyebaran informasi palsu, dan perilaku negatif lainnya.

Albanese menambahkan bahwa anak-anak harus lebih banyak melakukan aktivitas fisik dan interaksi sosial secara langsung. Ia mendorong generasi muda untuk menghabiskan waktu di luar ruangan, seperti bermain sepak bola, berenang, atau beraktivitas di lapangan olahraga lainnya, daripada terpaku pada layar ponsel.

Penolakan dari Berbagai Pihak

Meski bertujuan melindungi anak-anak, larangan ini menuai kritik dari berbagai kalangan, termasuk anak-anak, akademisi, politisi, dan aktivis. Beberapa pihak berpendapat bahwa media sosial juga memiliki manfaat positif, seperti memberikan akses kepada informasi dan pengetahuan yang sulit ditemukan dalam buku.

Elsie Arkinstall, seorang anak berusia 11 tahun, mengungkapkan bahwa media sosial memudahkannya mempelajari hal-hal baru seperti teknik memasak atau membuat karya seni. Ia berpendapat bahwa anak-anak harus diberikan kebebasan untuk mengeksplorasi kreativitas mereka melalui platform ini.

Selain itu, larangan ini juga menjadi kekhawatiran bagi anak-anak introvert yang sering mengandalkan media sosial sebagai sarana untuk berkomunikasi dan menjalin pertemanan tanpa harus bertemu langsung.

Dampak dan Prospek Kebijakan

Dengan aturan baru ini, Australia menjadi pelopor dalam upaya membatasi penggunaan media sosial bagi anak-anak. Namun, keberhasilannya masih akan sangat bergantung pada bagaimana perusahaan teknologi mematuhi aturan tersebut dan bagaimana masyarakat menerima perubahan ini.

Langkah ini diharapkan dapat mengurangi dampak negatif media sosial, tetapi juga perlu memperhatikan manfaat yang selama ini diperoleh anak-anak dari platform tersebut. Ke depan, kebijakan ini akan terus menjadi bahan diskusi di antara berbagai pihak yang memiliki pandangan beragam.

Tragedi Gaza: Banjir dan Musim Dingin Perparah Derita di Tengah Agresi Israel

Hujan deras yang melanda Jalur Gaza telah memperparah penderitaan warga Palestina yang mengungsi akibat agresi militer Israel. Banjir dan badai besar menghancurkan ribuan tenda di berbagai kamp pengungsian, menambah kesulitan warga yang sudah menghadapi krisis kemanusiaan.

Dilaporkan oleh Al Jazeera, warga Gaza kini menghadapi tantangan baru dengan datangnya musim dingin. Setelah selamat dari pengeboman dan pengepungan, mereka kini harus berjuang melawan hujan lebat dan suhu dingin yang menusuk.

Suara dari Kamp Pengungsian

“Kami meninggalkan wilayah utara untuk menyelamatkan diri dari pengeboman. Namun sekarang, hujan dan dingin membuat kami semakin menderita. Saya sudah jatuh sakit selama tiga hari,” ujar Ahmad, pengungsi dari Jabalia, Gaza utara, yang kini tinggal di kamp pengungsian Stadion Yarmouk, Gaza City.

Dalam laporan tersebut, warga terlihat menggunakan ember untuk menampung air hujan yang bocor ke dalam tenda mereka. Sebagian lainnya menggali parit sederhana untuk mengalirkan air keluar dari area tempat tinggal mereka.

“Kami tidak memiliki apa-apa untuk melindungi diri. Anak-anak kami basah kuyup, pakaian kami basah, dan tenda ini tidak cukup untuk melindungi kami,” ungkap Um Mohammad Marouf, pengungsi asal Beit Lahiya.

Tenda Usang dan Krisis Bantuan

Sebagian besar tenda yang digunakan warga sejak awal konflik sudah rusak parah dan tidak mampu memberikan perlindungan memadai. Harga tenda baru dan terpal plastik yang melonjak tinggi semakin memperburuk situasi, membuat banyak pengungsi tak mampu mengganti tempat tinggal darurat mereka.

Menurut Kantor Media Pemerintah Gaza, sekitar 10.000 tenda telah hanyut atau rusak akibat badai, dengan 81 persen di antaranya tidak lagi layak digunakan. Dari total 135.000 tenda di Gaza, sekitar 110.000 membutuhkan penggantian segera.

Lembaga tersebut mendesak komunitas internasional untuk segera memberikan bantuan berupa tenda baru agar pengungsi dapat bertahan dari hujan dan dingin.

Risiko Banjir dan Agresi Israel yang Berlanjut

Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) memperingatkan bahwa setengah juta warga Gaza berada dalam risiko terkena dampak banjir.

“Setiap hujan, setiap bom, dan setiap serangan hanya akan memperburuk kondisi,” demikian pernyataan UNRWA melalui platform X.

Di tengah kondisi cuaca yang buruk, serangan militer Israel terus menghantam berbagai wilayah Gaza. Di Rafah, serangan udara menewaskan sedikitnya empat orang, sementara serangan di Jabalia merenggut tujuh nyawa. Selebaran peringatan juga terus dijatuhkan di Beit Lahiya, mendesak warga untuk mengungsi ke wilayah selatan.

Angka Korban yang Mengkhawatirkan

Sejak konflik kembali memanas pada Oktober 2023, agresi Israel di Gaza telah menewaskan lebih dari 44.235 orang, mayoritas korban adalah anak-anak dan perempuan. Selain itu, lebih dari 104.638 orang dilaporkan mengalami luka-luka akibat serangan tersebut.

Netanyahu Jadi Buronan ICC, PBB Putuskan Larangan Hubungan Resmi

Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Antonio Guterres, memberikan dukungannya terhadap langkah Mahkamah Kriminal Internasional (International Criminal Court/ICC) yang mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, dan mantan Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant.

Juru bicara Sekjen PBB, Stephane Dujarric, menjelaskan bahwa Antonio Guterres menghormati keputusan independen yang diambil oleh ICC. Menurutnya, semua negara anggota ICC memiliki kewajiban untuk mematuhi putusan tersebut.

“Sekretaris Jenderal sangat menghormati independensi dan peran Mahkamah Kriminal Internasional,” kata Dujarric, seperti dilansir dari Middle East Monitor (MEMO).

Kewajiban Negara Anggota untuk Mematuhi Putusan ICC

Dujarric menambahkan bahwa negara-negara yang telah menandatangani perjanjian dengan ICC wajib mematuhi ketetapan hukum internasional. Hal ini termasuk pelaksanaan surat perintah penangkapan terhadap Netanyahu dan Gallant.

“Semua negara anggota ICC terikat oleh perjanjian internasional untuk melaksanakan keputusan pengadilan,” jelasnya.

Ia juga mengingatkan bahwa negara-negara yang menandatangani perjanjian internasional, termasuk piagam dan kesepakatan dengan ICC, harus memenuhi kewajiban tersebut tanpa pengecualian.

Pertanyaan Mengenai Kehadiran Netanyahu di PBB

Dalam wawancara dengan media, Dujarric ditanya mengenai kemungkinan Perdana Menteri Netanyahu menghadiri pertemuan di PBB. Ia menegaskan bahwa pejabat PBB tidak akan melakukan hubungan formal dengan individu yang menjadi buronan ICC, termasuk Netanyahu.

“Setiap pertemuan dengan seseorang yang menjadi target ICC harus melibatkan persetujuan dari negara tempat kantor pusat PBB berada. Pejabat PBB tidak diperbolehkan melakukan kontak resmi dengan individu yang menjadi subjek surat perintah penangkapan,” jelas Dujarric.

Namun, ia menambahkan bahwa dalam keadaan darurat, pejabat senior PBB dapat melakukan hubungan dengan buronan ICC, jika diperlukan untuk alasan khusus.

Respons PBB terhadap Agresi Israel di Gaza

Dujarric juga menyoroti agresi Israel di Gaza, meskipun ia tidak secara langsung menyebut tindakan tersebut sebagai genosida. Ia menyampaikan bahwa pejabat PBB sangat prihatin dengan pelanggaran hukum internasional yang terus terjadi.

“Pejabat PBB, termasuk Sekretaris Jenderal dan Komisioner Tinggi untuk Hak Asasi Manusia, telah dengan jelas menyampaikan keprihatinan mereka terhadap pelanggaran serius hukum internasional yang telah terjadi,” ungkap Dujarric.

Latar Belakang Surat Perintah Penangkapan Netanyahu

Mahkamah Kriminal Internasional mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Benjamin Netanyahu dan Yoav Gallant pada Rabu (20/11). Keputusan ini didasarkan pada dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang yang terjadi sejak Oktober 2023 hingga Mei 2024.

“[Pengadilan] telah mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Tn. Benjamin Netanyahu dan Tn. Yoav Gallant atas dugaan keterlibatan dalam kejahatan terhadap kemanusiaan serta kejahatan perang,” demikian pernyataan resmi ICC.

Surat perintah ini muncul di tengah meningkatnya tekanan internasional atas tindakan Israel di Gaza, yang terus memicu kritik global.

Kesimpulan

Dukungan Sekjen PBB terhadap keputusan ICC menegaskan pentingnya penghormatan terhadap hukum internasional. Kasus ini menjadi pengingat bahwa keadilan internasional harus ditegakkan tanpa memandang siapa pun yang terlibat.