Warga Palestina di Jalur Gaza menegaskan bahwa mereka tidak akan pernah meninggalkan tanah kelahiran mereka, meskipun Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengusulkan relokasi ke negara lain. Dalam konferensi pers di Gedung Putih pada Selasa (6/2/2025), Trump, yang didampingi oleh Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, mengusulkan bahwa Amerika Serikat dapat mengambil alih kendali jangka panjang atas Gaza serta mengusulkan pemindahan warga Palestina ke Yordania atau Mesir.
Namun, bagi warga Gaza, opsi meninggalkan tanah mereka bukanlah pilihan. “Kami hanya memiliki dua pilihan: hidup atau mati di sini,” ujar Ahmed Halasa (41), warga Kota Gaza, sambil berdiri di antara reruntuhan bangunan akibat perang. Sejak akhir Januari, ratusan ribu warga yang sebelumnya mengungsi telah kembali ke wilayah Gaza utara yang hancur, meskipun infrastruktur di sana telah luluh lantak dan pasokan kebutuhan dasar sangat terbatas.
“Kami kembali meskipun segalanya telah hancur. Tidak ada air, listrik, atau kebutuhan pokok lainnya,” kata Ahmed Al Minawi (24), yang kembali ke Kota Gaza bersama keluarganya. “Tapi satu hal yang pasti, kami menolak untuk diusir dari tanah kami.”
Banyak warga yang mendapati rumah mereka telah rata dengan tanah, namun mereka tetap bertahan dengan membangun tenda seadanya di antara puing-puing. Badri Akram (36) menegaskan bahwa usulan relokasi dari Trump tidak akan mengubah keputusan mereka. “Lihatlah rumah saya, sudah hancur. Tapi saya tetap memilih tidur di atas puing-puing ini daripada meninggalkan tanah saya,” tegasnya.
Trump juga sempat mengusulkan rencana pembangunan kembali Gaza menjadi “Riviera di Timur Tengah”. Namun bagi warga Palestina, yang lebih mereka khawatirkan adalah ancaman pengusiran paksa. Banyak yang membandingkan wacana ini dengan peristiwa “Nakba” atau “malapetaka” pada 1948, ketika ratusan ribu warga Palestina dipaksa meninggalkan tanah mereka setelah berdirinya Israel. “Kami sudah berjuang melawan pengusiran sejak 1948. Kami tidak akan pernah pergi,” ujar Minawi.
Badan Pangan Dunia PBB (WFP) mencatat bahwa dalam beberapa hari terakhir, sekitar 500.000 warga telah kembali ke Gaza utara. Pada Rabu (5/2/2025), suasana di Kota Gaza mulai menunjukkan tanda-tanda kehidupan, dengan pedagang kembali berjualan, kendaraan melintas, serta warga yang berjalan di antara puing-puing bangunan.
Penolakan terhadap gagasan relokasi juga datang dari warga Palestina di Tepi Barat yang masih berada di bawah pendudukan Israel. “Kami tidak akan meninggalkan tanah ini, bahkan jika mereka membawa semua tank di dunia,” tegas Umm Muhammad Al Baytar, warga Ramallah. “Serangan udara sekalipun tidak akan mampu mengusir kami dari tanah kami,” tambahnya.
Bagi warga Palestina, bertahan di tanah kelahiran mereka adalah bentuk perlawanan terhadap segala bentuk penindasan. Meski dihantui ketidakpastian, mereka tetap berpegang teguh pada hak mereka untuk tinggal dan berjuang di tanah yang telah mereka huni selama berabad-abad.