Perbedaan pandangan antara Israel dan Hamas kembali memanas mengenai masa depan gencatan senjata, terutama setelah berakhirnya fase pertama yang dilaksanakan pada Sabtu (1/3). Isu ini semakin mencuat setelah Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyetujui proposal dari Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang menawarkan perpanjangan gencatan senjata hingga akhir Ramadan dan Paskah Yahudi pada pertengahan April. Netanyahu menerima rencana yang disusun oleh utusan Presiden AS, Steve Witkoff, yang bertujuan untuk menjaga ketenangan di wilayah tersebut dalam beberapa bulan mendatang.
Namun, sikap Hamas berbeda jauh. Mereka menolak perpanjangan gencatan senjata tersebut dan lebih memilih untuk melanjutkan pembicaraan menuju fase kedua dari perjanjian gencatan senjata. Fase pertama yang berlangsung dari 19 Januari hingga 3 Maret 2025, mencatatkan pembebasan ratusan warga Palestina oleh Israel, sedangkan Hamas melepaskan 25 warga Israel.
Fase kedua, menurut Hamas, akan menjadi titik balik untuk pelepasan lebih banyak sandera yang masih berada di Gaza serta membuka peluang untuk gencatan senjata permanen. Pemimpin Hamas, Mahmoud Mardawi, menekankan bahwa langkah pertama menuju stabilitas kawasan adalah menuntaskan perjanjian ini dengan implementasi fase kedua.
Ketegangan ini turut mendapat perhatian luas dari berbagai pihak internasional. Para pemimpin dunia khawatir bahwa ketegangan ini bisa kembali memicu perang besar, setelah 15 bulan penderitaan yang dialami oleh warga Gaza dan Palestina. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Antonio Guterres, memperingatkan akan potensi dampak buruk dari kembalinya kekerasan. Ia menegaskan bahwa gencatan senjata permanen serta pelepasan sandera adalah langkah kunci untuk menghindari eskalasi yang lebih parah.
Sementara itu, dukungan militer dari Amerika Serikat kepada Israel tetap berlanjut meskipun gencatan senjata sedang berlangsung. Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, mengungkapkan bahwa mereka akan mempercepat pengiriman bantuan militer senilai US$4 miliar (sekitar Rp66,2 triliun) ke Israel, dengan alasan untuk memastikan stabilitas di kawasan tersebut.
Situasi yang penuh ketegangan ini tentu saja menjadi perhatian besar dunia internasional, yang terus mengawasi perkembangan gencatan senjata antara kedua pihak ini. Keputusan yang diambil dalam beberapa hari ke depan akan sangat menentukan apakah perdamaian dapat tercapai atau ketegangan yang lebih besar akan terjadi.