Donald Trump, Presiden Amerika Serikat, mengeluarkan perintah eksekutif yang menimbulkan kekhawatiran terkait potensi kebijakan anti-Muslim di negara tersebut. Kebijakan ini dinilai berpotensi menyasar warga dari negara-negara dengan mayoritas penduduk Muslim, termasuk mahasiswa internasional yang mendukung isu-isu seperti hak-hak Palestina. Banyak yang melihat langkah ini sebagai bentuk pengulangan dari larangan perjalanan yang sempat diterapkan pada masa kepresidenannya sebelumnya.
Perintah eksekutif ini diumumkan tak lama setelah Trump kembali menjabat sebagai presiden. Dalam pernyataannya, ia mengungkapkan bahwa langkah tersebut bertujuan untuk memperketat pemeriksaan terhadap individu dari negara-negara tertentu demi keamanan nasional. Meski disebut-sebut dapat mengurangi risiko terorisme, banyak pihak memandang kebijakan ini sebagai tindakan diskriminatif terhadap komunitas Muslim. Kebijakan tersebut menunjukkan bahwa pandangan negatif terhadap kelompok tertentu masih memengaruhi pendekatan imigrasi di Amerika Serikat.
Tanggapan keras langsung muncul dari aktivis hak asasi manusia dan pengamat politik. Mereka menilai kebijakan ini tidak hanya membatasi akses bagi warga negara dari kawasan mayoritas Muslim, tetapi juga berpotensi memengaruhi individu yang sudah menetap secara legal di AS. Menurut Deepa Alagesan, seorang pengacara dari International Refugee Assistance Project, kebijakan ini berisiko lebih besar daripada larangan perjalanan sebelumnya, karena dapat membuka jalan bagi deportasi terhadap orang-orang yang dianggap berisiko. Situasi ini memicu ketidakpastian dan ketakutan di kalangan komunitas imigran.
Salah satu isu paling sensitif dalam kebijakan ini adalah dampaknya terhadap mahasiswa internasional yang mendukung perjuangan Palestina. Mereka khawatir dukungan mereka terhadap isu-isu tertentu dapat mempersulit status imigrasi mereka. Kebijakan ini dikhawatirkan menghambat pertukaran budaya dan pendidikan antara Amerika Serikat dan negara-negara Muslim, serta menciptakan suasana ketidakpercayaan di lingkungan kampus. Hal ini menyoroti bagaimana kebijakan pemerintah bisa memengaruhi hubungan antarnegara dan dinamika sosial.
Berbagai organisasi hak asasi manusia, termasuk American-Arab Anti-Discrimination Committee (ADC), mengecam perintah eksekutif ini, menyebutnya sebagai ancaman terhadap prinsip kebebasan berpendapat dan inklusi. Mereka berpendapat bahwa kebijakan tersebut hanya akan memperburuk stereotip negatif terhadap komunitas Muslim dan meningkatkan ketegangan sosial. Situasi ini menunjukkan pentingnya dialog yang terbuka untuk mendorong keberagaman dan penerimaan dalam masyarakat.
Keluarnya perintah eksekutif yang membuka peluang kebijakan anti-Muslim ini mencerminkan semakin surutnya harapan terhadap perlindungan hak asasi manusia di Amerika Serikat. Namun, organisasi masyarakat sipil dan para pegiat hak asasi manusia diharapkan terus berupaya melawan diskriminasi dan memperjuangkan kesetaraan bagi semua individu, tanpa memandang agama atau latar belakang etnis. Mewujudkan keadilan sosial menjadi tantangan besar yang harus dihadapi oleh pemerintahan Trump di masa mendatang.