Alih-alih membawa dampak positif, kebijakan tarif yang diterapkan oleh Presiden AS Donald Trump justru memunculkan kekhawatiran bagi pasar keuangan, dunia usaha, dan konsumen. Sejak awal masa jabatannya, Gedung Putih secara agresif mengubah kebijakan ekonomi, yang berdampak pada Kanada, Meksiko, Eropa, hingga China. Trump bahkan memberlakukan tarif sebesar 25 persen untuk impor baja dan aluminium, yang memicu respons balik berupa kenaikan tarif dari negara-negara mitra dagang. Akibatnya, ketegangan ekonomi global meningkat, dan istilah “Trumpcession” mulai digunakan untuk memperingatkan potensi dampaknya.
Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, menyatakan bahwa ekonomi AS mungkin akan melambat dalam masa transisi yang disebutnya sebagai “periode detoksifikasi” sebelum keuntungan jangka panjang dapat dirasakan. Namun, ia tidak dapat menjamin bahwa resesi tidak akan terjadi dalam empat tahun pemerintahan Trump. Sementara itu, volatilitas di pasar saham meningkat, dengan Wall Street mencatat penurunan tajam beberapa sesi berturut-turut, yang mencerminkan berkurangnya kepercayaan investor. Sentimen konsumen di AS juga mengalami penurunan, dengan indeks Universitas Michigan merosot ke angka 57,9 pada Maret, level terendah sejak November 2022, akibat inflasi yang meningkat.
Ekonom Martin Wolf dari Financial Times memperkirakan bahwa tarif tinggi akan mendorong kenaikan harga-harga, sementara upaya Trump untuk mengalihkan produksi ke dalam negeri sulit terwujud dalam waktu dekat. Ekonom peraih Nobel, Joseph Stiglitz, juga memperingatkan bahwa kebijakan Trump berisiko bagi ekonomi AS dan global. Tarif balasan dari negara lain menyebabkan berkurangnya pasar ekspor bagi perusahaan AS dan hilangnya lapangan kerja di sektor domestik, dengan petani menjadi pihak yang paling merasakan dampaknya.
Survei yang dilakukan oleh Financial Times terhadap 49 ekonom menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi AS diproyeksikan turun ke angka 1,6 persen pada 2025, dari sebelumnya 2,3 persen. Mayoritas responden menilai bahwa ketidakpastian ekonomi AS akan menghambat pertumbuhan akibat melemahnya belanja konsumen dan investasi perusahaan. Laporan OECD juga merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi global menjadi 3,1 persen pada 2025 dan 3,0 persen pada 2026, dengan hambatan perdagangan sebagai faktor utama.
Stiglitz memperingatkan bahwa kebijakan ini bisa membawa AS ke dalam skenario stagflasi yang merugikan. Beberapa analis bahkan membandingkan kondisi ini dengan Depresi Besar pada 1930-an, yang dipicu oleh Undang-Undang Tarif Smoot-Hawley, yang menaikkan tarif atas ribuan barang impor dan memperburuk krisis ekonomi. Jika kebijakan tarif Trump terus berlanjut, ada kekhawatiran bahwa AS bisa menghadapi situasi yang lebih parah dibandingkan dengan periode kelam tersebut.