Tanpa Bantuan Intelijen AS, Pertahanan Ukraina Dikabarkan Melemah

Senator Mark Kelly dari Partai Demokrat mengkritik keputusan pemerintahan Donald Trump yang menghentikan pertukaran informasi intelijen dengan Ukraina. Menurutnya, kebijakan tersebut telah melemahkan kemampuan pertahanan Ukraina dalam menghadapi agresi Rusia.

Kelly, yang baru saja kembali dari lawatan ke Ukraina, menanggapi tuduhan dari Elon Musk, penasihat Trump, yang menyebutnya sebagai “pengkhianat”. Ia menyatakan tidak menganggap serius tuduhan tersebut.

“Seratus persen,” ujar Kelly pada Senin (10/3/2025) ketika ditanya apakah situasi di medan perang bisa berbeda jika Ukraina tetap menerima intelijen dari AS. “Jika ada informasi yang mereka butuhkan tetapi tidak mereka dapatkan, tentu itu akan berdampak pada kemampuan mereka dalam mempertahankan diri.”

Kelly juga menyebut bahwa serangan besar Rusia terjadi pada Jumat dan Sabtu saat ia berada di sana, tetapi ia tidak memberikan rincian lebih lanjut terkait laporan tersebut.

Rusia Intensifkan Serangan ke Infrastruktur Ukraina

Serangan Rusia terhadap Ukraina terus meningkat dalam beberapa hari terakhir. Sejak Kamis lalu, militer Rusia meluncurkan serangan udara, rudal, dan drone yang menargetkan infrastruktur energi dan gas Ukraina.

Laporan dari otoritas setempat menyebutkan bahwa setidaknya 14 orang tewas dan 37 lainnya terluka akibat serangan tersebut. Pada Senin malam, ibu kota Ukraina, Kyiv, kembali menjadi sasaran serangan udara besar-besaran.

Sebagai anggota Komite Dinas Bersenjata Senat, Kelly mengunjungi Ukraina dari Sabtu hingga Minggu guna menunjukkan dukungan kepada rakyat negara tersebut serta menilai situasi terkini di lapangan.

Trump Tekan Zelensky dengan Hentikan Intelijen dan Bantuan Militer

Langkah pemerintahan Trump menghentikan pertukaran informasi intelijen ini disebut sebagai bagian dari strategi untuk menekan Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky agar bersedia berunding dengan Rusia.

Selain itu, Washington juga menghentikan bantuan militer ke Kyiv, semakin memperlemah posisi Ukraina di medan perang. Keputusan ini diambil setelah konfrontasi panas antara Trump dan Zelensky dalam sebuah pertemuan di Gedung Putih.

Wakil Presiden AS JD Vance, yang selama ini menolak kebijakan bantuan untuk Ukraina, turut hadir dalam pertemuan tersebut.

Saat ini, Zelensky berada di Arab Saudi untuk bertemu Putra Mahkota Mohammed bin Salman sebelum dijadwalkan bertemu dengan pejabat AS pada Selasa mendatang. Washington berharap pertemuan ini dapat membuka jalan bagi solusi diplomatik guna mengakhiri konflik yang berkepanjangan.

Dukungan AS terhadap Ukraina Terpecah

Sikap AS terhadap Ukraina semakin terpecah sejak Trump kembali menjabat sebagai Presiden pada 20 Januari 2025.

Sebelumnya, dukungan terhadap Ukraina mendapat persetujuan dari kedua partai di Kongres. Namun, kini Partai Republik mulai menunjukkan sikap yang lebih skeptis.

Ketua DPR dari Partai Republik, Mike Johnson, bahkan menyatakan bahwa tidak ada urgensi untuk mengajukan rancangan undang-undang bantuan baru bagi Ukraina.

Sebagai bentuk ketegangan politik yang semakin meruncing, Elon Musk menyerang Kelly dengan menyebutnya sebagai “pengkhianat” di platform media sosial X (sebelumnya Twitter). Tuduhan ini muncul setelah Kelly mengunggah pengalamannya selama kunjungan ke Ukraina dan menuding Trump berusaha melemahkan posisi negara tersebut menjelang perundingan damai.

Menanggapi serangan tersebut, Kelly, yang merupakan mantan astronot dan pilot tempur Angkatan Laut AS, memberikan jawaban tegas:

“Jelas, dia bukan orang yang bisa dianggap serius.”

Di media sosial X, Kelly juga membalas Musk dengan pernyataan tajam:

“Pengkhianat? Elon, jika kamu tidak memahami bahwa membela kebebasan adalah prinsip utama yang menjadikan Amerika kuat dan aman, lebih baik serahkan urusan ini kepada kami yang benar-benar mengerti.”

Kunjungan ini merupakan yang ketiga bagi Kelly ke Ukraina sejak 2023, sebagai bagian dari komitmennya dalam mendukung negara tersebut melawan agresi Rusia.

Langkah Besar! Korea Utara Luncurkan Kapal Selam Nuklir Pertama

Korea Utara untuk pertama kalinya mengungkap pembangunan kapal selam bertenaga nuklir melalui serangkaian foto yang dirilis oleh kantor berita negara, KCNA. Langkah ini semakin memperkuat ambisi Pyongyang dalam memperluas kapabilitas militernya, terutama di bidang persenjataan bawah laut.

Kim Jong Un Tinjau Pembangunan Kapal Selam Nuklir

Dalam laporan yang dipublikasikan pada Sabtu (8/3), KCNA membagikan sejumlah foto yang menunjukkan kunjungan pemimpin tertinggi Korea Utara, Kim Jong Un, ke sebuah galangan kapal. Dalam kunjungan tersebut, Kim tampak meninjau langsung proyek pembangunan kapal selam yang disebut sebagai “kapal selam berpemandu rudal strategis bertenaga nuklir”.

Meskipun KCNA tidak mengungkap detail spesifikasi kapal selam tersebut, para analis militer mulai berspekulasi mengenai kemampuan kapal ini.

Menurut Moon Keun Sik, seorang pakar kapal selam dari Universitas Hanyang, Seoul, kapal perang ini diperkirakan memiliki bobot antara 6.000 hingga 7.000 ton dan mampu membawa sekitar 10 rudal. Ia juga menyoroti penggunaan istilah “rudal berpemandu strategis”, yang mengindikasikan bahwa kapal ini kemungkinan dapat membawa senjata nuklir.

“Kapal ini benar-benar akan menjadi ancaman bagi kami [Korea Selatan] dan Amerika Serikat,” ujar Moon.

Reaksi AS dan Kemungkinan Keterlibatan Rusia

Menanggapi laporan ini, Juru Bicara Dewan Keamanan Nasional AS, Brian Hughes, mengonfirmasi bahwa Washington telah mengetahui proyek pembangunan kapal selam tersebut. Namun, ia menegaskan bahwa pihaknya belum memiliki informasi lebih lanjut.

“AS tetap berkomitmen untuk mencapai denuklirisasi penuh di Korea Utara,” ujar Hughes kepada The Korea Times.

Di sisi lain, muncul pertanyaan mengenai bagaimana Korea Utara, yang dikenal sebagai negara dengan keterbatasan sumber daya akibat sanksi internasional, dapat mengembangkan kapal selam bertenaga nuklir.

Moon Keun Sik menduga bahwa Pyongyang mungkin mendapatkan bantuan teknologi dari Rusia sebagai imbalan atas pasokan senjata dan tenaga militer yang diberikan kepada Moskow dalam perang melawan Ukraina.

Langkah Besar dalam Ambisi Militer Korea Utara

Kapal selam nuklir telah lama menjadi salah satu impian terbesar Kim Jong Un. Pada tahun 2021, ia menegaskan bahwa Korea Utara membutuhkan kapal selam bertenaga nuklir untuk menghadapi ancaman militer dari Amerika Serikat. Selain itu, Kim juga menekankan perlunya pengembangan persenjataan lain, termasuk:

  • Rudal balistik antarbenua berbahan bakar padat
  • Senjata hipersonik
  • Satelit mata-mata
  • Rudal multihulu ledak

Sejak pernyataan tersebut, Korea Utara telah melakukan serangkaian uji coba untuk merealisasikan ambisi militernya.

Sementara itu, kemampuan Korea Utara dalam meluncurkan rudal dari bawah air telah menjadi kekhawatiran serius bagi Korea Selatan. Sistem pertahanan Seoul akan lebih sulit mendeteksi serangan semacam itu dibandingkan dengan rudal yang diluncurkan dari darat.

Misteri Kapal Selam Nuklir Korea Utara

Meski Korea Utara telah mengklaim pada 2023 bahwa mereka telah meluncurkan “kapal selam nuklir taktis” pertama, banyak ahli pertahanan global yang meragukan klaim tersebut. Beberapa pihak menduga kapal yang dimaksud masih menggunakan tenaga diesel.

Saat ini, Korea Utara diperkirakan memiliki sekitar 70 hingga 90 kapal selam bertenaga diesel, menjadikannya salah satu armada kapal selam terbesar di dunia. Namun, sebagian besar kapal tersebut sudah usang dan hanya mampu meluncurkan torpedo serta ranjau, bukan rudal balistik.

Hingga saat ini, belum ada konfirmasi mengenai apakah Korea Utara benar-benar telah mengoperasikan kapal selam bertenaga nuklir. Namun, jika proyek ini berhasil, maka akan menjadi perubahan signifikan dalam kekuatan militer negara tersebut serta meningkatkan ketegangan di Semenanjung Korea.

Trump Sampaikan Pesan Ramadhan, AS Kembali Tekankan Kebebasan Beragama

Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menyampaikan ucapan selamat menjalankan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan kepada umat Muslim di seluruh dunia. Pernyataan tersebut disampaikan melalui siaran pers yang dirilis oleh Gedung Putih, yang juga dikutip oleh Kedutaan Besar dan Konsulat AS di Indonesia pada Senin, 3 Maret 2025. Dalam pesan tersebut, Trump menekankan pentingnya kebebasan beragama dan menghormati nilai-nilai spiritual yang terkandung dalam bulan Ramadhan.

“Dalam kesempatan ini, saya mengucapkan salam hangat untuk bulan suci Ramadhan, yang merupakan waktu penuh berkah untuk berpuasa, berdoa, dan berkumpul bersama,” ujar Trump dalam pernyataannya. Ia melanjutkan bahwa bulan Ramadhan adalah saat yang penuh makna, di mana umat Muslim bisa meraih harapan, keberanian, serta inspirasi untuk menjalani kehidupan dengan kesucian dan kebajikan.

Trump juga menyampaikan bahwa pemerintahannya tetap berkomitmen untuk menjaga kebebasan beragama, yang ia anggap sebagai nilai fundamental dari masyarakat Amerika. “Ketika jutaan Muslim di Amerika memulai ibadah Ramadhan mereka, pemerintahan saya menegaskan komitmen kami untuk terus menjaga kebebasan beragama, yang merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan kami,” tambahnya.

Lebih lanjut, Trump berharap agar bulan Ramadhan menjadi waktu yang penuh refleksi, kedamaian, dan dapat meningkatkan rasa persaudaraan antarumat beragama. “Saya menyampaikan doa dan harapan terbaik agar bulan Ramadhan ini menjadi waktu untuk merenung, penuh kebahagiaan, dan merasakan rahmat serta cinta Tuhan yang tiada batas,” tuturnya.

Indonesia Memulai Ramadhan Lebih Awal

Di sisi lain, Indonesia telah menetapkan awal Ramadhan 1446 Hijriah jatuh pada Sabtu, 1 Maret 2025. Penetapan ini membuat Indonesia menjadi negara pertama di kawasan Asia Tenggara yang memulai ibadah puasa lebih awal dibandingkan negara tetangga lainnya, seperti Malaysia, Singapura, Thailand, dan Kamboja, yang baru memulai puasa pada Minggu, 2 Maret 2025.

Menteri Agama Republik Indonesia, Nasaruddin Umar, menjelaskan bahwa keputusan tersebut berdasarkan hasil pemantauan hilal yang terlihat di beberapa titik di Indonesia, termasuk di Provinsi Aceh. “Dengan hasil pemantauan tersebut, kami dapat memastikan bahwa 1 Ramadhan 1446 H jatuh pada 1 Maret 2025,” katanya dalam konferensi pers setelah sidang isbat yang digelar pada Jumat, 28 Februari 2025.

Nasaruddin juga menjelaskan bahwa perbedaan penetapan awal Ramadhan ini terjadi akibat variasi sudut elongasi dan ketinggian hilal di masing-masing negara. “Meskipun negara-negara ini terletak berdekatan secara geografis, posisi hilal bisa berbeda, sehingga hasil pengamatan pun tidak selalu sama,” ungkapnya. Ia pun mengimbau agar umat Muslim di seluruh dunia mengikuti keputusan otoritas keagamaan masing-masing dalam menentukan awal Ramadhan, mengingat perbedaan metode rukyat dan hisab yang digunakan di berbagai negara.

Dengan perbedaan tersebut, umat Muslim di Indonesia dan negara tetangga di Asia Tenggara menjalani bulan Ramadhan dengan semangat yang sama, meskipun dimulai pada waktu yang sedikit berbeda.

Pesawat Ringan Jatuh di Texas, Pilot Berhasil Selamat dari Kobaran Api

Sebuah kecelakaan udara terjadi di Tarrant County, Texas, ketika sebuah pesawat kecil jatuh dan terbakar hebat pada Senin (24/2) siang waktu setempat. Insiden ini terjadi sekitar pukul 14.45, tepatnya di dekat blok 4000 Silver View Lane, selatan Azle. Menurut saksi mata, pesawat tampak kehilangan kendali sebelum akhirnya jatuh menghantam tanah dan langsung dilalap api.

Api Cepat Meluas ke Sekitar Lokasi Kejadian

Sesaat setelah pesawat jatuh, kobaran api langsung membesar dan menjalar ke area sekitar. Tim pemadam kebakaran serta petugas darurat segera dikerahkan ke lokasi untuk menangani kebakaran dan memastikan tidak ada dampak lebih luas. Kantor Sheriff Tarrant County mengonfirmasi bahwa saat tim penyelamat tiba, pesawat sudah dalam kondisi hangus terbakar, dan api mulai menyebar ke ladang di sekitarnya.

“Ketika petugas tiba di lokasi, mereka mendapati pesawat telah terbakar habis, sementara api juga mulai menjalar ke area sekitar,” ujar perwakilan dari Kantor Sheriff Tarrant County.

Pilot dan Penumpang Berhasil Selamat

Di balik tragedi ini, muncul kabar baik bahwa pilot dan seorang penumpang yang berada di dalam pesawat berhasil selamat tanpa mengalami luka serius. Namun, hingga kini, identitas keduanya masih dirahasiakan oleh pihak berwenang demi kepentingan penyelidikan lebih lanjut.

Rekaman yang tersebar di media sosial menunjukkan puing-puing pesawat yang telah hangus terbakar, sementara petugas pemadam kebakaran berupaya memadamkan sisa api. Departemen Pemadam Kebakaran Lake Worth memastikan bahwa pesawat yang jatuh merupakan pesawat pribadi, bukan bagian dari armada militer maupun penerbangan komersial.

Penyelidikan Masih Berlangsung

Hingga kini, otoritas setempat masih terus menyelidiki penyebab jatuhnya pesawat. Tim penyelidik sedang mengumpulkan bukti, menganalisis kondisi cuaca saat kejadian, serta memeriksa kemungkinan gangguan teknis atau faktor lain yang memicu insiden ini. Selain itu, identitas pemilik pesawat juga belum diumumkan secara resmi oleh otoritas terkait.

Peristiwa ini kembali menjadi pengingat akan risiko penerbangan pesawat kecil, yang meskipun menawarkan fleksibilitas dalam perjalanan, tetap memiliki tantangan besar dalam aspek keselamatan. Diharapkan hasil investigasi dapat segera dirilis, sehingga penyebab kecelakaan ini bisa terungkap, serta langkah-langkah pencegahan dapat diambil guna menghindari kejadian serupa di masa depan. ✈🔥

Hubungan Memanas: China Minta AS Revisi Pernyataan Soal Taiwan

Pemerintah China kembali menegaskan posisinya terkait Taiwan dengan meminta Amerika Serikat untuk memperbaiki pernyataan yang muncul di situs web Departemen Luar Negeri AS, yang menyatakan bahwa Amerika tidak mendukung kemerdekaan Taiwan. Permintaan ini disampaikan oleh Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Guo Jiakun, dalam sebuah konferensi pers yang digelar di Beijing pada Senin (17/2).

Guo Jiakun mengungkapkan bahwa China sangat mendesak AS untuk segera melakukan koreksi terhadap pernyataan tersebut, dengan menegaskan pentingnya mematuhi prinsip ‘satu China’, serta menghormati tiga komunike bersama yang telah disepakati antara China dan AS. “Kami meminta AS untuk berhati-hati dalam menangani masalah Taiwan, mengingat sensitivitasnya,” ujar Guo Jiakun.

Sebelumnya, pada Kamis (13/2), Kementerian Luar Negeri AS menghapus sebuah kalimat yang berbunyi “kami tidak mendukung kemerdekaan Taiwan” dari bagian ‘lembar fakta’ di situs web mereka. Selain itu, situs tersebut juga mengubah beberapa bagian terkait status Taiwan dalam organisasi internasional. Misalnya, referensi tentang Taiwan yang bisa ikut serta dalam organisasi internasional tanpa status kenegaraan dihapus, dan ditambahkan bahwa penyelesaian perselisihan Taiwan dengan China harus dilakukan secara damai, tanpa paksaan, dan diterima oleh kedua pihak.

Tak hanya itu, halaman tersebut juga mencatat adanya kerja sama antara Pentagon AS dan Dewan Sains dan Teknologi Nasional Taiwan.

Menanggapi pembaruan ini, Guo Jiakun menegaskan bahwa kebijakan AS terhadap Taiwan harus segera dihentikan, termasuk dukungan terhadap apa yang disebut sebagai “kemerdekaan Taiwan.” China mengingatkan AS untuk menghentikan upayanya memperkuat hubungan dengan Taiwan serta mendukung perluasan ruang internasional bagi Taiwan. “Jika hal ini berlanjut, dapat menyebabkan kerusakan lebih lanjut terhadap hubungan China-AS serta stabilitas dan perdamaian di Selat Taiwan,” tegas Guo Jiakun.

Guo juga menekankan bahwa hanya ada satu China yang sah di dunia, dan Taiwan adalah bagian dari China. Pemerintah Republik Rakyat China adalah satu-satunya pemerintahan yang sah yang mewakili seluruh wilayah China. Pernyataan ini menegaskan konsensus internasional yang telah lama diakui, yaitu prinsip ‘Satu China’, serta komitmen yang telah dibuat oleh AS dalam tiga komunike bersama antara China dan AS.

Lebih lanjut, Guo Jiakun menyebut perubahan yang dilakukan oleh Departemen Luar Negeri AS pada situs web mereka jelas bertentangan dengan prinsip ‘Satu China’ dan komunike bersama tersebut, serta bertentangan dengan hukum internasional dan norma dasar hubungan internasional. “Tindakan ini mengirimkan sinyal yang salah kepada kelompok separatis yang menginginkan kemerdekaan Taiwan,” ujarnya.

Pembaruan kalimat ini pertama kali dilaporkan oleh kantor berita resmi Taiwan pada Minggu (16/2). Sebelumnya, pada tahun 2022, kalimat yang menyatakan ketidaksukaan AS terhadap kemerdekaan Taiwan juga sempat dihapus, namun kemudian dipulihkan kembali dalam waktu singkat.

Pemerintah Taiwan sendiri menolak klaim kedaulatan Beijing atas wilayahnya, dengan menyatakan bahwa hanya rakyat Taiwan yang berhak menentukan masa depan mereka. Saat ini, Taiwan mempertahankan hubungan diplomatik resmi dengan 12 negara, termasuk Belize, Guatemala, Paraguay, Haiti, dan Vatikan.

Sementara itu, meskipun Undang-Undang Hubungan Taiwan 1979 mewajibkan Washington untuk membantu Taiwan dalam mempertahankan diri, undang-undang tersebut tidak menyatakan bahwa AS akan melakukan intervensi militer jika terjadi invasi atau blokade dari China. Tentu saja, perkembangan ini semakin memanas dengan ketegangan antara kedua negara besar tersebut mengenai status Taiwan.

Gebrakan Trump & Elon Musk: 10.000 PNS AS Terkena PHK

Pada Jumat, 14 Februari 2025, Presiden Amerika Serikat Donald Trump, dengan dukungan penasihatnya Elon Musk, melanjutkan reformasi besar-besaran dalam birokrasi federal. Langkah drastis ini mencakup pemecatan lebih dari 9.500 pegawai negeri dari berbagai instansi pemerintah, seperti Departemen Dalam Negeri, Energi, Urusan Veteran, Pertanian, hingga Kesehatan dan Layanan Masyarakat. Pemutusan hubungan kerja tersebut kebanyakan menyasar pegawai yang masih dalam masa percobaan, atau di tahun pertama karir mereka.

Langkah pemangkasan ini merupakan bagian dari kebijakan efisiensi yang sudah diterapkan sejak periode kedua kepemimpinan Trump. Sebelumnya, sekitar 75.000 pegawai federal diberi tawaran pesangon untuk mengundurkan diri secara sukarela. Dengan demikian, total pegawai yang terkena dampak pemecatan ini diperkirakan mencapai 3% dari 2,3 juta pegawai negeri sipil AS. Menurut Trump, pemangkasan ini bertujuan untuk menciptakan pemerintahan yang lebih efisien dan mengurangi pemborosan anggaran negara. “Pemerintah federal terlalu besar, dan terlalu banyak uang yang terbuang sia-sia,” ujar Trump, mengingat tingginya utang negara yang saat ini mencapai 36 triliun dolar AS.

Namun, kebijakan ini tidak lepas dari kritik, khususnya dari Partai Demokrat yang menilai tindakan pemecatan massal tersebut melanggar kewenangan legislatif dalam pengelolaan anggaran. Meskipun Partai Republik mendominasi Senat dan DPR, keputusan Trump dan Musk ini tetap memicu perdebatan internal, termasuk di lingkaran Gedung Putih. Kepala Staf Gedung Putih, Susie Wiles, mengungkapkan ketidakpuasan atas eksekusi kebijakan yang kurang terkoordinasi.

Selain pemecatan, kebijakan ini juga meliputi penghapusan perlindungan hukum bagi pegawai negeri karier, pembekuan bantuan luar negeri, serta pengurangan operasional beberapa lembaga penting, termasuk USAID dan Biro Perlindungan Keuangan Konsumen (CFPB). Langkah-langkah ini berpotensi mengganggu beberapa layanan vital seperti kesehatan, pendidikan, hingga penanggulangan kebakaran hutan. Dinas Kehutanan AS terpaksa memberhentikan ribuan pegawai baru, sementara Dinas Taman Nasional kehilangan lebih dari 1.000 pegawai, yang tentunya berisiko terhadap pengelolaan taman nasional dan pelestarian alam.

Peran Elon Musk dalam kebijakan ini juga menjadi perhatian banyak pihak. Sebagai penasihat utama dalam kebijakan reformasi ini, Musk yang dikenal dengan peranannya dalam industri teknologi, mengarahkan kelompok insinyur muda untuk menerapkan audit dan efisiensi di berbagai lembaga pemerintahan. Meskipun beberapa mendukung langkah ini sebagai bentuk perbaikan tata kelola pemerintahan, banyak pihak yang mengkhawatirkan bahwa kebijakan ini lebih berbasis ideologi ketimbang efisiensi yang didasarkan pada data yang objektif.

Dengan ketegangan politik yang terus meningkat, kebijakan ini tetap menjadi topik perdebatan. Apakah kebijakan pemecatan ini akan benar-benar membawa efisiensi atau justru menambah masalah baru bagi pemerintahan dan kesejahteraan publik? Hanya waktu yang akan menjawab pertanyaan tersebut.

Trump Mengklaim Putin Ingin Perang Rusia-Ukraina Berakhir Tanpa Korban

Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, baru-baru ini mengungkapkan bahwa ia telah melakukan pembicaraan dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin, melalui telepon untuk membahas kemungkinan menghentikan perang yang telah berlangsung di Ukraina. Dalam wawancara eksklusif yang diterbitkan oleh New York Post pada Jumat, 7 Februari 2025, Trump berbicara tentang isi percakapan mereka dan menyampaikan kekhawatirannya mengenai tingginya jumlah korban jiwa yang terus berjatuhan akibat konflik tersebut.

Trump mengungkapkan, meskipun ia memilih untuk tidak merinci berapa kali keduanya berbicara, ia meyakini bahwa Putin “peduli” dengan hilangnya nyawa di medan perang. “Ia ingin melihat orang-orang berhenti sekarat,” kata Trump, merujuk pada penderitaan yang dialami oleh rakyat Ukraina. Menurut Trump, ribuan orang yang tewas—termasuk remaja dan orang muda—terasa sangat tragis dan tidak bisa diterima. Ia menggambarkan mereka sebagai “anak-anak,” yang berarti kehilangan nyawa mereka tidak pernah memiliki alasan yang jelas dan membebani hati banyak pihak.

Mantan presiden AS ini juga menegaskan bahwa jika ia masih memimpin Amerika Serikat pada tahun 2022, perang ini tidak akan pernah terjadi. Trump mengungkapkan bahwa ia memiliki hubungan baik dengan Putin dan menyalahkan Presiden Joe Biden atas kegagalan untuk menyelesaikan masalah ini, menyebutnya sebagai “memalukan bagi bangsa kita.”

Trump melanjutkan dengan menyatakan bahwa ia memiliki rencana konkret untuk mengakhiri perang Rusia-Ukraina yang telah berlangsung lebih dari tiga tahun. Ia berharap agar konflik ini segera berakhir, mengingat setiap hari ada nyawa yang melayang, terutama di Ukraina yang kini dilanda kehancuran besar. “Perang ini sangat buruk, saya ingin mengakhiri hal terkutuk ini,” tambahnya.

Selain itu, Trump mengungkapkan bahwa ia berencana untuk melakukan negosiasi dengan Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, pada Konferensi Keamanan Munich yang akan berlangsung minggu depan. Dalam pertemuan tersebut, Trump berharap dapat mencapai kesepakatan senilai $500 juta dengan Ukraina, yang melibatkan akses ke mineral dan gas tanah jarang yang ada di negara itu, sebagai bagian dari jaminan keamanan dalam potensi penyelesaian perdamaian yang akan datang.

Pernyataan Trump ini mencerminkan upaya berkelanjutan dari pihaknya untuk mencari solusi atas perang yang telah menciptakan penderitaan besar bagi Ukraina dan dunia internasional. Namun, masih ada ketidakpastian mengenai apakah Putin benar-benar bersedia untuk mengakhiri konflik ini atau lebih memilih untuk melanjutkan ambisi militernya. Sebagai salah satu tokoh yang paling berpengaruh dalam politik dunia, langkah Trump menuju perundingan damai ini akan memengaruhi dinamika geopolitik global dalam waktu dekat.

Penolakan Keras Warga Gaza Terhadap Relokasi Trump: Menghindari Trauma Nakba 1948

Warga Palestina di Jalur Gaza menegaskan bahwa mereka tidak akan pernah meninggalkan tanah kelahiran mereka, meskipun Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengusulkan relokasi ke negara lain. Dalam konferensi pers di Gedung Putih pada Selasa (6/2/2025), Trump, yang didampingi oleh Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, mengusulkan bahwa Amerika Serikat dapat mengambil alih kendali jangka panjang atas Gaza serta mengusulkan pemindahan warga Palestina ke Yordania atau Mesir.

Namun, bagi warga Gaza, opsi meninggalkan tanah mereka bukanlah pilihan. “Kami hanya memiliki dua pilihan: hidup atau mati di sini,” ujar Ahmed Halasa (41), warga Kota Gaza, sambil berdiri di antara reruntuhan bangunan akibat perang. Sejak akhir Januari, ratusan ribu warga yang sebelumnya mengungsi telah kembali ke wilayah Gaza utara yang hancur, meskipun infrastruktur di sana telah luluh lantak dan pasokan kebutuhan dasar sangat terbatas.

“Kami kembali meskipun segalanya telah hancur. Tidak ada air, listrik, atau kebutuhan pokok lainnya,” kata Ahmed Al Minawi (24), yang kembali ke Kota Gaza bersama keluarganya. “Tapi satu hal yang pasti, kami menolak untuk diusir dari tanah kami.”

Banyak warga yang mendapati rumah mereka telah rata dengan tanah, namun mereka tetap bertahan dengan membangun tenda seadanya di antara puing-puing. Badri Akram (36) menegaskan bahwa usulan relokasi dari Trump tidak akan mengubah keputusan mereka. “Lihatlah rumah saya, sudah hancur. Tapi saya tetap memilih tidur di atas puing-puing ini daripada meninggalkan tanah saya,” tegasnya.

Trump juga sempat mengusulkan rencana pembangunan kembali Gaza menjadi “Riviera di Timur Tengah”. Namun bagi warga Palestina, yang lebih mereka khawatirkan adalah ancaman pengusiran paksa. Banyak yang membandingkan wacana ini dengan peristiwa “Nakba” atau “malapetaka” pada 1948, ketika ratusan ribu warga Palestina dipaksa meninggalkan tanah mereka setelah berdirinya Israel. “Kami sudah berjuang melawan pengusiran sejak 1948. Kami tidak akan pernah pergi,” ujar Minawi.

Badan Pangan Dunia PBB (WFP) mencatat bahwa dalam beberapa hari terakhir, sekitar 500.000 warga telah kembali ke Gaza utara. Pada Rabu (5/2/2025), suasana di Kota Gaza mulai menunjukkan tanda-tanda kehidupan, dengan pedagang kembali berjualan, kendaraan melintas, serta warga yang berjalan di antara puing-puing bangunan.

Penolakan terhadap gagasan relokasi juga datang dari warga Palestina di Tepi Barat yang masih berada di bawah pendudukan Israel. “Kami tidak akan meninggalkan tanah ini, bahkan jika mereka membawa semua tank di dunia,” tegas Umm Muhammad Al Baytar, warga Ramallah. “Serangan udara sekalipun tidak akan mampu mengusir kami dari tanah kami,” tambahnya.

Bagi warga Palestina, bertahan di tanah kelahiran mereka adalah bentuk perlawanan terhadap segala bentuk penindasan. Meski dihantui ketidakpastian, mereka tetap berpegang teguh pada hak mereka untuk tinggal dan berjuang di tanah yang telah mereka huni selama berabad-abad.

Perintah Eksekutif Presiden Trump Buka Jalan Bagi Kebijakan Anti-Muslim Di AS

Presiden Donald Trump mengeluarkan perintah eksekutif yang memicu kekhawatiran akan kebangkitan kebijakan anti-Muslim di Amerika Serikat. Perintah ini berpotensi menargetkan individu dari negara-negara dengan populasi Muslim yang besar, serta mahasiswa internasional yang mendukung hak-hak Palestina. Langkah ini dianggap sebagai pengulangan dari larangan perjalanan yang diterapkan pada masa kepresidenannya sebelumnya.

Perintah eksekutif terbaru ini muncul setelah Trump dilantik kembali sebagai presiden. Dalam pernyataannya, ia menyebutkan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk melindungi keamanan nasional dengan memperketat proses pemeriksaan bagi individu dari negara-negara tertentu. Kebijakan ini diharapkan dapat mengurangi ancaman terorisme, tetapi banyak pihak menganggapnya sebagai langkah diskriminatif terhadap komunitas Muslim. Ini menunjukkan bahwa kebijakan imigrasi di AS masih dipengaruhi oleh stigma negatif terhadap kelompok tertentu.

Aktivis hak asasi manusia dan pengamat politik segera memberikan reaksi keras terhadap perintah tersebut. Mereka menyatakan bahwa kebijakan ini tidak hanya akan membatasi akses bagi individu dari negara-negara Muslim, tetapi juga dapat mempengaruhi mereka yang sudah tinggal di AS secara legal. Deepa Alagesan, seorang pengacara dari International Refugee Assistance Project, menyebutkan bahwa kebijakan ini lebih berbahaya daripada larangan perjalanan sebelumnya karena dapat mengarah pada deportasi individu yang dianggap berisiko. Ini mencerminkan ketidakpastian dan ketakutan yang melanda komunitas imigran.

Salah satu aspek paling kontroversial dari perintah ini adalah dampaknya terhadap mahasiswa internasional yang mendukung hak-hak Palestina. Banyak di antara mereka khawatir bahwa dukungan mereka terhadap isu-isu tertentu dapat membuat mereka menjadi target dalam proses imigrasi. Hal ini dapat menghalangi pertukaran budaya dan akademis antara AS dan negara-negara Muslim, serta menciptakan suasana ketidakpercayaan di kalangan mahasiswa asing. Ini menunjukkan bagaimana kebijakan pemerintah dapat memengaruhi hubungan antarnegara dan interaksi sosial di kampus.

Beberapa organisasi hak asasi manusia, termasuk American-Arab Anti-Discrimination Committee (ADC), mengecam perintah eksekutif ini sebagai langkah mundur bagi nilai-nilai kebebasan berpendapat dan inklusi di AS. Mereka menekankan bahwa tindakan semacam ini hanya akan memperburuk stigma terhadap komunitas Muslim dan menciptakan ketegangan sosial. Ini menunjukkan bahwa ada kebutuhan mendesak untuk dialog terbuka tentang keberagaman dan penerimaan dalam masyarakat.

Dengan adanya perintah eksekutif yang membuka jalan bagi kebijakan anti-Muslim, harapan akan perlindungan hak asasi manusia di AS tampak semakin redup. Diharapkan bahwa masyarakat sipil dan organisasi hak asasi manusia akan terus berjuang untuk melawan diskriminasi dan memastikan bahwa semua individu diperlakukan secara adil, tanpa memandang latar belakang agama atau etnis mereka. Keberhasilan dalam mencapai keadilan sosial akan menjadi tantangan besar bagi pemerintahan Trump ke depan.

Iran Harap Capai Kesepakatan Nuklir Baru Dengan AS Di Era Trump

Wakil Presiden Iran Urusan Strategis Javad Zarif menyatakan harapannya untuk mencapai kesepakatan nuklir baru dengan Amerika Serikat. Pernyataan ini disampaikan dalam Forum Ekonomi Dunia yang berlangsung di Davos, Swiss, dan menandai harapan baru bagi hubungan antara kedua negara setelah masa pemerintahan Trump.

Kesepakatan nuklir sebelumnya, yang dikenal sebagai Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA), ditandatangani pada tahun 2015 dan bertujuan untuk membatasi program nuklir Iran dengan imbalan pengurangan sanksi internasional. Namun, kesepakatan ini mulai runtuh setelah AS menarik diri pada tahun 2018 di bawah kepemimpinan Trump, yang kembali menerapkan sanksi. Ini menunjukkan bahwa situasi diplomatik antara Iran dan AS telah mengalami perubahan signifikan yang mempengaruhi stabilitas regional.

Dalam pernyataannya, Zarif berharap bahwa pemerintahan baru Trump akan lebih terbuka untuk bernegosiasi dan mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan. Ia menekankan pentingnya dialog untuk mengatasi ketegangan yang telah berlangsung lama antara Iran dan AS. Ini mencerminkan keinginan Iran untuk memperbaiki hubungan diplomatik dan ekonomi yang telah terpuruk akibat sanksi.

Jika kesepakatan baru dapat dicapai, hal ini diharapkan dapat membawa stabilitas lebih besar di Timur Tengah dan mengurangi ketegangan antara Iran dan negara-negara Barat. Zarif menambahkan bahwa kesepakatan tersebut harus mencakup jaminan keamanan bagi Iran serta pengurangan sanksi yang lebih substansial. Ini menunjukkan bahwa Iran ingin memastikan bahwa kepentingan nasionalnya terlindungi dalam setiap negosiasi.

Sementara itu, negara-negara Eropa seperti Prancis, Jerman, dan Inggris juga menunjukkan minat untuk kembali terlibat dalam pembicaraan mengenai program nuklir Iran. Mereka berharap bahwa keterlibatan AS dalam proses negosiasi dapat membantu memulihkan kepercayaan dan mendorong Iran untuk kembali mematuhi komitmen nuklirnya. Ini mencerminkan harapan komunitas internasional untuk menemukan solusi damai atas isu nuklir.

Dengan pernyataan ini, semua pihak berharap agar dialog antara Iran dan AS dapat segera dimulai. Diharapkan bahwa kesepakatan baru dapat membawa perubahan positif bagi keamanan regional dan membuka jalan bagi kerjasama lebih lanjut dalam isu-isu global lainnya. Keberhasilan dalam mencapai kesepakatan ini akan menjadi langkah penting dalam upaya mengurangi ketegangan di kawasan Timur Tengah.