Elon Musk Sebut Vandalisme terhadap Tesla sebagai Aksi Terorisme

Elon Musk, miliarder sekaligus pengusaha teknologi asal Amerika Serikat, mengecam serangkaian aksi vandalisme yang menargetkan perusahaan mobil listriknya, Tesla. Ia dengan tegas menyebut serangan tersebut sebagai tindakan terorisme. Melalui platform X, Musk mengungkapkan kekhawatirannya atas meningkatnya serangan terhadap perusahaannya, termasuk penembakan ke toko-toko Tesla serta pembakaran stasiun pengisian daya Supercharger. Ia menegaskan bahwa tindakan semacam ini tidak bisa dibiarkan begitu saja dan harus ditindak secara tegas.

Pada Senin (24/3), sejumlah media Amerika Serikat melaporkan bahwa pihak kepolisian menemukan beberapa perangkat pembakar yang sengaja ditinggalkan di sebuah dealer Tesla yang berlokasi di Austin, Texas. Beruntung, kepolisian berhasil mengamankan perangkat berbahaya tersebut sebelum sempat digunakan, sehingga tidak terjadi insiden yang lebih parah. Namun, kejadian ini menambah daftar panjang serangan terhadap Tesla, yang menurut laporan telah terjadi di sedikitnya 13 negara bagian dalam beberapa pekan terakhir. Banyak yang berspekulasi bahwa aksi vandalisme ini bukanlah serangan acak, melainkan bagian dari kampanye terorganisir yang bertujuan untuk merusak reputasi serta operasional Tesla.

Jaksa Agung Pamela Bondi memberikan pernyataan resmi terkait insiden ini, menyebutnya sebagai bentuk terorisme domestik yang harus ditindak tegas. Ia juga menegaskan bahwa Departemen Kehakiman telah mengajukan tuntutan terhadap sejumlah individu yang diduga terlibat dalam perusakan fasilitas Tesla. Jika terbukti bersalah, para pelaku bisa menghadapi hukuman penjara hingga lima tahun. Bondi menambahkan bahwa pemerintah tidak akan mentoleransi segala bentuk kekerasan atau perusakan yang dilakukan dengan motif politik maupun ekonomi.

Sementara itu, Presiden Amerika Serikat Donald Trump turut memberikan tanggapannya terkait gelombang serangan terhadap Tesla. Dalam sebuah pernyataan pada Jumat (21/3), Trump mengusulkan agar individu yang bertanggung jawab atas aksi vandalisme ini dikirim ke penjara di El Salvador, yang dikenal memiliki sistem penahanan yang sangat ketat. Usulan ini langsung memicu perdebatan di berbagai kalangan, mengingat El Salvador memiliki catatan hukum yang kontroversial dalam menangani narapidana.

Insiden ini semakin memperkeruh situasi industri mobil listrik di Amerika Serikat, di mana Tesla selama ini menjadi pemimpin pasar yang kerap menghadapi berbagai tantangan, baik dari segi regulasi maupun persaingan bisnis. Beberapa pengamat menduga bahwa serangan ini bisa berkaitan dengan ketegangan politik dan ekonomi yang semakin meningkat di sektor energi terbarukan. Hingga kini, pihak Tesla belum memberikan tanggapan resmi selain pernyataan Musk di media sosial. Namun, banyak pihak mendesak agar pemerintah segera mengambil langkah konkret untuk melindungi perusahaan-perusahaan yang menjadi sasaran serangan semacam ini.

Di tengah meningkatnya kekhawatiran akan keamanan fasilitas Tesla, sejumlah analis juga menyoroti potensi dampak jangka panjang dari insiden ini terhadap industri kendaraan listrik secara keseluruhan. Jika serangan terus berlanjut tanpa tindakan hukum yang jelas, hal ini bisa menghambat perkembangan teknologi ramah lingkungan yang sedang digalakkan di berbagai negara. Ke depannya, publik menunggu langkah yang akan diambil pemerintah dalam menangani kasus ini, serta bagaimana Tesla merespons tantangan yang semakin kompleks di dunia otomotif modern.

AS Hengkang dari Investigasi Kejahatan Perang Ukraina, Kebijakan Berubah Drastis

Departemen Kehakiman AS secara diam-diam telah memberi tahu pejabat Eropa bahwa Amerika Serikat menarik diri dari koalisi internasional yang bertugas menyelidiki pihak-pihak yang bertanggung jawab atas perang di Ukraina. Keputusan ini, yang mencakup penyelidikan terhadap Presiden Rusia Vladimir Putin, menandai perubahan signifikan dari kebijakan pemerintahan Biden yang sebelumnya berkomitmen menuntut pertanggungjawaban Rusia atas kejahatan perang.

Amerika Serikat akan resmi keluar dari International Center for the Prosecution of the Crime of Aggression against Ukraine, sebuah inisiatif yang diikuti oleh pemerintahan Biden sejak 2023. Langkah ini mencerminkan pergeseran kebijakan AS di bawah kepemimpinan Trump, yang dianggap semakin condong ke arah Rusia. Koalisi tersebut sebelumnya dibentuk untuk mengadili kepemimpinan Rusia, serta sekutunya seperti Belarus, Korea Utara, dan Iran, atas kejahatan agresi yang melanggar kedaulatan suatu negara tanpa alasan pertahanan diri.

Menurut sumber terpercaya, keputusan tersebut telah disampaikan secara resmi melalui email kepada Eurojust, organisasi induk kelompok investigasi ini. AS adalah satu-satunya negara non-Eropa yang bekerja sama dengan kelompok tersebut dengan menempatkan seorang jaksa senior di Den Haag, Belanda. Selain menarik diri dari penyelidikan, pemerintahan Trump juga memangkas peran War Crimes Accountability Team, tim yang dibentuk pada 2022 untuk mengawasi upaya AS dalam menuntut Rusia atas dugaan kekejaman perang.

Pada masa pemerintahan Biden, tim ini telah memberikan dukungan logistik, pelatihan, serta bantuan hukum bagi penegak hukum Ukraina. Bahkan, pada Desember 2023, AS menggunakan undang-undang kejahatan perang untuk pertama kalinya dalam hampir tiga dekade guna mendakwa empat tentara Rusia atas dugaan penyiksaan terhadap seorang warga Amerika di Kherson, Ukraina.

Dalam beberapa kesempatan, Trump menunjukkan kedekatan dengan Putin dan menilai bahwa Ukraina turut memprovokasi perang dengan Rusia. Di media sosial, ia bahkan menyebut Presiden Volodymyr Zelenskyy sebagai “diktator tanpa pemilu” serta mengkritik kepemimpinannya. Pemerintahan Trump tidak memberikan alasan resmi atas penarikan ini, namun sumber dalam menyebut bahwa langkah tersebut diambil untuk mengalihkan sumber daya ke sektor lain. Sejak Trump berkuasa, Departemen Kehakiman AS juga telah membubarkan unit yang menangani dugaan campur tangan asing dalam pemilu serta sanksi terhadap Rusia, yang semakin memperkuat indikasi perubahan kebijakan luar negeri AS terhadap konflik Ukraina.