Buku yang Dulu Menjadi Sumber Ilmu, Kini Dibakar untuk Bertahan Hidup di Gaza

Akibat habisnya pasokan bahan bakar, warga Gaza terpaksa menggunakan buku-buku sebagai sumber api untuk menghangatkan diri dan memasak. Dalam situasi yang semakin buruk akibat serangan Israel, mereka kekurangan bahan bakar dan bantuan.
Blokade yang diterapkan Israel membatasi akses terhadap makanan, bahan bakar, dan bantuan untuk dua juta penduduk Gaza, yang menyebabkan banyak keluarga di Palestina kehilangan harapan.

Buku-buku yang dibakar ini berasal dari perpustakaan dan sekolah-sekolah, yang menggambarkan betapa parahnya kondisi yang dihadapi warga Palestina akibat serangan dan blokade yang dilakukan oleh Israel.

Seperti yang dilaporkan oleh Mehr News Agency pada Minggu (13/4/2025), warga Gaza menggambarkan situasi yang begitu sulit, di mana bertahan hidup menjadi lebih penting daripada menjaga warisan budaya mereka.
Berbagai organisasi hak asasi manusia telah mengutuk blokade Israel dan mendesak adanya intervensi internasional yang segera.

Krisis ini menekankan kerusakan besar yang ditimbulkan oleh konflik, serta pentingnya tindakan cepat untuk membantu warga Gaza dan meringankan penderitaan mereka.

Asap dari buku yang dibakar bercampur dengan debu dan bau bahan peledak yang selalu menyelimuti kawasan itu, menciptakan aroma yang pahit dan menghancurkan Gaza.
Dokter dan tenaga medis kini kewalahan, berjuang dengan persediaan yang semakin menipis, sementara mereka melaporkan lonjakan penyakit pernapasan akibat asap beracun.

Sementara itu, PBB juga memperingatkan potensi bencana kesehatan yang akan datang, karena penghentian sistem pemurnian air dan kerusakan sanitasi akibat blokade Israel.

Pembakaran buku kini menjadi simbol dari keputusasaan warga Gaza. Akademisi dan lembaga budaya di seluruh dunia mengutuk tindakan ini sebagai kekejaman Israel yang dipaksakan kepada penduduk yang kelaparan dan kekurangan kebutuhan dasar.

Dr. Fayez Abu Shamaleh, seorang profesor dan penulis Palestina, menyatakan penyesalannya karena harus membakar kumpulan puisi untuk menyalakan api. Ia menyesali pembakaran karya penyair Arab terkenal, Nazik Al-Malaika, dan menganggapnya sebagai tindakan yang merusak budaya, sejarah, dan kemanusiaan demi bertahan hidup.

Menurut laporan media India, ETV Bharat, Universitas Islam Gaza yang dulunya menjadi pusat pendidikan terkemuka kini menjadi tempat berlindung bagi banyak orang. Buku-buku di universitas tersebut digunakan sebagai bahan bakar untuk kompor darurat. Banyak anak-anak yang mencari buku-buku di reruntuhan gedung universitas untuk membantu orang tua mereka memasak dan mendapatkan makanan.

​Serangan Israel terhadap Sekolah di Kota Gaza Akibatkan 33 Pengungsi Tewas​

Pada serangan yang terjadi pada Jumat, 4 April 2025, setidaknya 33 orang tewas dalam serangan Israel terhadap sebuah sekolah di Kota Gaza, yang sebelumnya digunakan sebagai tempat perlindungan bagi keluarga pengungsi, menurut laporan tim medis setempat. Menurut Kementerian Kesehatan Gaza yang dikelola oleh Hamas, korban termasuk anak-anak dan perempuan hamil. Selain itu, puluhan warga Palestina lainnya terluka, dengan beberapa di antaranya dilarikan ke rumah sakit setelah terkena luka parah.

Israel, di sisi lain, menyatakan bahwa mereka menargetkan lokasi yang dianggap sebagai pusat komando dan kendali Hamas, dan bahwa serangan tersebut menyasar individu-individu yang terlibat dalam perencanaan serangan terhadap pasukan Israel dan warga sipil. Pasukan Pertahanan Israel (IDF) juga menekankan upaya mereka untuk meminimalkan korban sipil dalam operasi tersebut.

Sebelumnya, Israel telah melancarkan perintah evakuasi di berbagai wilayah Gaza, yang menyebabkan lebih dari 100.000 warga Palestina mengungsi. Pada saat yang sama, IDF terus memperluas operasi mereka di Gaza, dengan tujuan menghancurkan infrastruktur militer Hamas.

Sebagai catatan, sejak dimulainya serangan ini, lebih dari 1.100 orang telah tewas, termasuk lebih dari 300 anak-anak.

Tragisnya Penderitaan Warga Gaza di Bulan Ramadan, Korban Tewas Meningkat Hingga 50 Ribu

Warga Gaza terus mengalami penderitaan. Dalam laporan terbaru, otoritas kesehatan Gaza menyebutkan bahwa serangan selama 24 jam terakhir di wilayah tersebut mengakibatkan 41 orang Palestina tewas dan 61 lainnya terluka. Angka ini menambah daftar korban sejak serangan Israel dimulai pada 7 Oktober 2023. Menurut WAFA, pada Senin (24/3/2025), otoritas kesehatan Gaza melaporkan total korban tewas kini mencapai 50.021 orang, dengan lebih dari 113.000 lainnya menderita luka-luka, sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak.

Selain itu, layanan darurat di Gaza masih kesulitan menjangkau banyak korban yang terjebak di bawah reruntuhan atau berada di jalanan akibat terus berlanjutnya serangan Israel, yang juga menargetkan ambulans dan tim pertahanan sipil.

Serangan Israel ini terus berlanjut meskipun ada seruan dari Dewan Keamanan PBB untuk menghentikan pertempuran dan peringatan dari Mahkamah Internasional mengenai potensi genosida di Gaza. Meskipun sempat ada kesepakatan gencatan senjata pada Januari 2025, serangan kembali terjadi setelah kesepakatan tersebut dilanggar.

Pada Maret 2025, yang bertepatan dengan bulan Ramadan, serangan Israel kembali memakan banyak korban jiwa. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menegaskan bahwa tujuan utama dari konflik ini adalah untuk menghancurkan Hamas sebagai entitas militer dan pemerintahan.

Sementara itu, sebuah survei dari Palestinian Centre for Public Opinion (PCPO) mengungkapkan bahwa lebih dari dua pertiga warga Palestina merasa negara-negara Arab dan Islam tidak cukup membantu Gaza. Banyak yang merasa bahwa negara-negara tersebut lebih fokus pada kepentingan politik dan diplomatik daripada memberikan dukungan nyata untuk perjuangan Palestina. Normalisasi hubungan antara beberapa negara Arab dan Israel juga memperburuk ketidakpercayaan ini di kalangan warga Palestina.

Israel Tingkatkan Serangan ke Gaza, Hamas Diminta Bebaskan Sandera

Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, menyatakan bahwa pasukan militernya semakin meningkatkan serangan terhadap Jalur Gaza melalui serangan udara, darat, dan laut. Menurut Katz, intensifikasi serangan ini bertujuan untuk menekan kelompok Hamas agar segera membebaskan para sandera yang masih berada di wilayah tersebut. Selain itu, ia juga mengungkapkan bahwa pemerintah Israel berencana mengevakuasi warga sipil ke bagian selatan wilayah Palestina itu.

Setelah dua bulan situasi relatif tenang, warga Gaza kembali terpaksa mengungsi demi keselamatan mereka seiring dengan dimulainya kembali serangan besar-besaran oleh militer Israel dari udara dan darat. Rentetan serangan ini pada akhirnya membatalkan kesepakatan gencatan senjata yang telah berlaku sejak 19 Januari lalu.

Dalam pernyataannya, sebagaimana dikutip dari Reuters dan Al Arabiya pada Jumat (21/3/2025), Katz menegaskan bahwa jika Hamas terus menolak untuk melepaskan sandera Israel yang masih ditahan, maka mereka akan kehilangan lebih banyak wilayah. Katz juga menegaskan bahwa pasukan Israel akan terus meningkatkan intensitas serangan serta memperluas operasi militer hingga para sandera dibebaskan dan Hamas berhasil dikalahkan.

Israel kembali menggempur Jalur Gaza sejak Selasa (18/3) setelah upaya memperpanjang gencatan senjata menemui jalan buntu. Sehari kemudian, Rabu (19/3), Tel Aviv secara resmi mengumumkan kelanjutan operasi darat di daerah kantong Palestina tersebut.

Sementara itu, juru bicara Kementerian Kesehatan Gaza, Khalil al-Daqran, dalam laporannya kepada Ahram Online menyebutkan bahwa sedikitnya 710 orang tewas dan lebih dari 900 lainnya mengalami luka-luka akibat serangan yang dilancarkan sejak Selasa (18/3) dini hari.

Al-Daqran juga menyampaikan kepada Al Jazeera bahwa banyak korban yang akhirnya meninggal karena tidak mendapatkan perawatan medis yang memadai akibat keterbatasan pasokan dan peralatan medis esensial di Jalur Gaza.

Ia menambahkan bahwa sekitar 70 persen korban yang jatuh merupakan wanita dan anak-anak, dengan sebagian besar mengalami cedera serius.

Gempuran Israel di Gaza Berlanjut, Korban Jiwa Capai 510 Orang

Serangan udara yang dilancarkan Israel terus menggempur wilayah Jalur Gaza, menewaskan sedikitnya 70 orang pada Kamis (20/3) waktu setempat. Sejak Tel Aviv kembali melancarkan serangan besar-besaran pada Selasa (18/3), jumlah korban jiwa dilaporkan telah mencapai 510 orang.

Menurut keterangan tenaga medis setempat, seperti dikutip dari Reuters dan Al Arabiya, Kamis (20/3/2025), serangan udara tersebut menyasar beberapa permukiman di bagian utara dan selatan Jalur Gaza. Hingga saat ini, pihak Israel belum memberikan tanggapan terkait serangan tersebut.

Pada Rabu (19/3), militer Israel mengonfirmasi bahwa mereka kembali menggelar operasi darat di wilayah tengah dan selatan Jalur Gaza. Langkah ini dilakukan setelah gencatan senjata yang berlangsung sejak 19 Januari lalu berakhir.

Serangan darat ini terjadi sehari setelah bombardir besar-besaran Israel pada Selasa (18/3), yang mengakibatkan lebih dari 400 korban jiwa. Serangan tersebut disebut-sebut sebagai yang paling mematikan sejak konflik dimulai pada Oktober 2023.

Juru bicara Kementerian Kesehatan Gaza, Khalil Al-Deqran, menyatakan kepada Reuters bahwa serangan Israel yang berlanjut hingga Kamis (20/3) telah menyebabkan sedikitnya 510 warga Palestina tewas dalam tiga hari terakhir. Ia juga mengungkapkan bahwa lebih dari separuh korban merupakan perempuan dan anak-anak.

Militer Israel sebelumnya menyatakan bahwa operasi darat dilakukan guna memperluas kendali atas Koridor Netzarim, yang membagi Jalur Gaza menjadi dua bagian. Mereka menyebut langkah ini sebagai upaya strategis untuk menciptakan zona penyangga di antara wilayah utara dan selatan Gaza.

Serangan Israel di Gaza, Sekjen PBB Mengecam dan Serukan Gencatan Senjata

Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB, Antonio Guterres, mengungkapkan keterkejutannya atas serangan udara Israel di Gaza yang menelan ratusan korban jiwa. Serangan ini menjadi yang paling mematikan sejak gencatan senjata diterapkan pada Januari lalu.

“Sekjen sangat terkejut dengan serangan udara Israel di Gaza,” ujar juru bicara PBB, Rolando Gomez, dalam konferensi pers di Jenewa, seperti dikutip dari AFP, Selasa (18/3/2025).

Ia juga menyerukan agar gencatan senjata dihormati, bantuan kemanusiaan dapat kembali disalurkan tanpa hambatan, serta pembebasan para sandera yang masih ditahan dilakukan tanpa syarat.

Sementara itu, pemerintah Israel pada Selasa (18/3) menegaskan akan terus melakukan operasi militer di Jalur Gaza hingga seluruh sandera berhasil dikembalikan. Pernyataan tersebut disampaikan seiring dengan meningkatnya serangan ke wilayah tersebut sejak gencatan senjata mulai diberlakukan pada 19 Januari.

Menurut laporan dari Kementerian Kesehatan di Gaza, yang saat ini berada di bawah kendali Hamas, sedikitnya 413 orang tewas akibat serangan terbaru tersebut.

Di sisi lain, Hamas menuduh Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, sengaja mengorbankan para sandera dengan melanjutkan operasi militer besar-besaran di wilayah Palestina itu. Kelompok tersebut juga menuding Netanyahu telah membatalkan kesepakatan gencatan senjata, sehingga masa depan 59 sandera yang masih berada di Gaza menjadi tidak jelas.

Seorang pejabat senior Hamas, Izzat al-Rishq, menyatakan bahwa keputusan Netanyahu untuk melanjutkan perang sama dengan menjatuhkan hukuman mati bagi para sandera yang masih ditahan. Ia juga menilai bahwa konflik ini dimanfaatkan sebagai alat politik untuk mengalihkan perhatian dari permasalahan dalam pemerintahannya.

Sementara itu, kantor Netanyahu menegaskan bahwa serangan udara dilakukan sebagai respons terhadap penolakan Hamas untuk membebaskan sandera dan menolak berbagai proposal yang diajukan oleh mediator, termasuk utusan Presiden Amerika Serikat, Steve Witkoff.

Seorang pejabat Israel mengatakan kepada AFP bahwa operasi militer ini akan terus berlanjut selama diperlukan dan tidak terbatas pada serangan udara saja.

Trump Dikabarkan Pertimbangkan Relokasi Warga Gaza ke Indonesia, Begini Respons Kemlu RI

Presiden terpilih Amerika Serikat (AS), Donald J. Trump, dikabarkan tengah mempertimbangkan rencana untuk sementara waktu memindahkan sebagian dari sekitar 2 juta warga Palestina di Gaza ke Indonesia. Wacana ini masih dalam tahap pembahasan oleh berbagai pihak terkait.

Informasi tersebut pertama kali disampaikan oleh salah satu anggota tim transisi Trump dalam sebuah wawancara dengan NBC News. Menurut laporan tersebut, utusan Trump untuk Timur Tengah, Steve Witkoff, berencana mengunjungi Jalur Gaza guna membantu menjaga kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Hamas.

Selain itu, Witkoff juga dikatakan akan secara aktif berada di kawasan tersebut dalam beberapa minggu hingga bulan ke depan guna menangani berbagai permasalahan yang mungkin muncul. Tim Trump menduga bahwa ada pihak-pihak tertentu yang ingin menggagalkan kesepakatan gencatan senjata serta menghambat upaya pembebasan sandera.

“Seseorang harus tetap mengawasi situasi dan siap merespons jika terjadi permasalahan,” ujar pejabat tersebut, dikutip dari NBC News pada Senin (20/1/2025).

NBC News juga melaporkan bahwa selain mengelola tahap kesepakatan yang sedang berjalan, Trump dan timnya tengah mencari solusi jangka panjang bagi permasalahan di Gaza.

“Jika kita tidak membantu warga Gaza dan tidak memberikan mereka kehidupan yang lebih baik serta harapan, maka kemungkinan besar akan terjadi pemberontakan,” ungkap pejabat tim transisi itu.

Salah satu opsi yang sedang dipertimbangkan adalah relokasi sementara warga Gaza ke negara lain. NBC News menyebut bahwa tim transisi Trump saat ini tengah mendiskusikan kemungkinan pemindahan sekitar 2 juta warga Palestina ke beberapa negara, termasuk Indonesia.

“Pertanyaan mengenai bagaimana membangun kembali Gaza masih terus didiskusikan, begitu pula dengan kemungkinan relokasi sementara sekitar 2 juta warga Palestina. Salah satu negara yang menjadi bahan pertimbangan dalam pembahasan ini adalah Indonesia,” kata pejabat tersebut dalam laporan NBC News.

Namun, NBC News juga menyoroti bahwa belum ada kejelasan apakah warga Gaza bersedia untuk direlokasi atau tidak. Selain itu, ide pemindahan ini dianggap kontroversial, terutama di kalangan warga Palestina dan negara-negara Arab lainnya.

Kabar ini juga telah diberitakan oleh media Israel. The Times of Israel bahkan mempublikasikan laporan berjudul “Tim Trump Mempertimbangkan Relokasi Warga Gaza Selama Pembangunan Pasca-Perang,” yang menyebut Indonesia sebagai salah satu negara yang dipertimbangkan untuk menampung warga Gaza sementara waktu.

Menanggapi kabar ini, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (Kemlu RI) menyatakan bahwa pemerintah Indonesia belum pernah menerima informasi terkait rencana tersebut.

“Pemerintah RI tidak memiliki informasi apa pun mengenai hal ini,” kata Juru Bicara Kemlu RI, Rolliansyah Soemirat, kepada wartawan.

Arab Saudi Kecam Keras Israel Usai Putus Pasokan Listrik ke Gaza

Arab Saudi mengecam keras keputusan Israel yang memutus pasokan listrik ke Jalur Gaza, wilayah yang mengalami kehancuran akibat konflik yang berlangsung sejak Oktober 2023. Riyadh memperingatkan Tel Aviv agar tidak menerapkan “hukuman kolektif” terhadap rakyat Palestina.

Dalam pernyataan yang dikutip dari Al Arabiya pada Selasa (11/3/2025), Kementerian Luar Negeri Saudi menyampaikan kecaman tegas terhadap langkah Israel yang baru-baru ini memutus aliran listrik ke Gaza.

Saudi juga kembali menegaskan “penolakan total terhadap pelanggaran Israel terhadap hukum kemanusiaan internasional.”

“Kerajaan mendesak komunitas internasional untuk segera mengambil langkah-langkah konkret guna memulihkan pasokan listrik tanpa syarat dan memastikan bantuan kemanusiaan dapat masuk ke Gaza,” demikian pernyataan dari Kementerian Luar Negeri Saudi.

Selain itu, Arab Saudi juga menekankan pentingnya penerapan mekanisme akuntabilitas global terhadap pelanggaran yang terjadi.

Sikap tegas Saudi ini disampaikan setelah Menteri Energi Israel, Eli Cohen, mengumumkan pada Minggu (9/3) bahwa dirinya telah mengeluarkan instruksi untuk menghentikan suplai listrik ke Jalur Gaza.

“Saya baru saja menandatangani perintah untuk segera menghentikan pasokan listrik ke Jalur Gaza. Kami akan menggunakan segala cara yang kami miliki untuk membawa pulang para sandera dan memastikan Hamas tidak lagi beroperasi di Gaza setelahnya,” ujar Cohen dalam sebuah pernyataan video.

Israel memutus aliran listrik setelah sebelumnya mengambil langkah kontroversial lainnya, yaitu memblokir pengiriman bantuan kemanusiaan ke Gaza hingga Hamas menyetujui syarat yang diajukan Tel Aviv untuk memperpanjang gencatan senjata yang telah berlangsung selama 15 bulan terakhir.

Gencatan senjata tahap pertama di Gaza berakhir pada 1 Maret lalu, memungkinkan masuknya bantuan makanan, tempat tinggal, dan pasokan medis. Sementara Israel ingin memperpanjang periode ini hingga pertengahan April, Hamas menuntut agar tahap kedua mengarah pada penghentian perang secara permanen.

Pada Sabtu (8/3), Hamas menuduh Israel melakukan “kejahatan perang dalam bentuk hukuman kolektif” dengan menghentikan bantuan, yang juga berdampak pada sandera Israel yang masih berada di Gaza.


Kalimat telah disusun ulang dengan tetap mempertahankan makna aslinya dan menghindari potensi plagiarisme.

Israel Tutup Akses Bantuan di Bulan Ramadhan, Warga Gaza Hadapi Krisis Pangan

Israel telah menutup akses bantuan ke Gaza selama bulan Ramadhan, yang menyebabkan warga setempat mengalami dampak besar, terutama terkait ketersediaan pangan dan kenaikan harga kebutuhan pokok. Keputusan ini diumumkan pada Minggu (2/3/2024) sebagai bagian dari tekanan terhadap Hamas agar menyetujui perpanjangan gencatan senjata sesuai dengan syarat yang diajukan Israel.

Langkah ini langsung memengaruhi kondisi pasar di Gaza, dengan harga bahan pokok melonjak meskipun otoritas setempat berupaya menstabilkannya. “Ada banyak kekhawatiran, hari ini banyak orang membeli persediaan makanan dan harga melonjak drastis,” ujar Belal al-Helou, seorang pekerja kemanusiaan sekaligus pembeli, kepada AFP pada Senin (3/3/2025).

Ia menambahkan bahwa selama perbatasan tetap tertutup, harga kebutuhan pokok akan terus meningkat, sehingga warga semakin sulit mendapatkan makanan. “Saat ini, harga 1 kg gula mencapai 10-12 shekel, lebih dari dua kali lipat dibandingkan sebelum perang. Kenaikan harga terus terjadi, dan masyarakat panik terkait persediaan makanan,” tambahnya dari pasar jalanan yang ramai di Kota Gaza.

Seorang pembeli lainnya, Adly al-Ghandour, mengungkapkan bahwa harga kebutuhan pokok sudah naik hingga 80 persen dan dikhawatirkan akan meningkat hingga 200 persen jika penutupan perbatasan terus berlangsung.

Meskipun masih ada stok dari fase pertama gencatan senjata yang dimulai pada 19 Januari, pedagang terus menghadapi kesulitan dalam mendapatkan pasokan baru. Beberapa kios masih menjual dekorasi Ramadhan seperti lentera kecil dan papan bertuliskan “Selamat Ramadhan”, sementara para pembuat roti sibuk menyiapkan qatayef, makanan khas berbentuk panekuk yang diisi dengan krim dan kacang.

Caroline Seguin, koordinator darurat dari Médecins Sans Frontières (Dokter Lintas Batas) di Gaza, mengatakan bahwa sejumlah truk bantuan yang dijadwalkan masuk pada Minggu telah dipulangkan dalam keadaan penuh. “Selama enam minggu gencatan senjata, kami berhasil memasukkan beberapa truk bantuan, tetapi ini jelas bukan solusi permanen bagi krisis kemanusiaan di Gaza,” ujarnya kepada AFP.

UNICEF Kecam Israel atas Pemblokiran Bantuan Kemanusiaan ke Gaza

Direktur Regional UNICEF untuk Timur Tengah dan Afrika Utara, Edouard Beigbeder, menyoroti kebijakan Israel yang menghambat distribusi bantuan kemanusiaan ke Gaza sejak Minggu (2/3) pagi waktu setempat.

Menurut Beigbeder, penghentian bantuan tersebut berdampak besar terhadap anak-anak dan keluarga di Gaza yang tengah berjuang untuk bertahan hidup.

“Pembatasan yang diumumkan kemarin akan sangat menghambat operasi penyelamatan nyawa bagi warga sipil,” ungkapnya dalam sebuah pernyataan pada Senin (3/3).

Gencatan Senjata dan Krisis Kemanusiaan

Beigbeder menegaskan bahwa gencatan senjata di Gaza harus tetap dilanjutkan karena menjadi jalur utama untuk mendistribusikan bantuan bagi anak-anak dan warga yang terdampak konflik. Situasi di Gaza saat ini masih sangat mengkhawatirkan, sehingga bantuan kemanusiaan perlu terus mengalir dengan cepat.

“Meskipun gencatan senjata memungkinkan kami memperluas bantuan bagi mereka yang membutuhkan, tingkat kehancuran di Gaza sudah mencapai batas bencana. Oleh karena itu, gencatan senjata harus terus dipertahankan dan lebih banyak bantuan harus diperbolehkan masuk guna mencegah penderitaan yang lebih besar serta mengurangi korban jiwa,” tambahnya.

Sistem Kesehatan Gaza di Ambang Kehancuran

UNICEF mencatat bahwa fasilitas kesehatan di Gaza semakin kewalahan. Dari 35 rumah sakit yang ada, hanya 19 yang masih beroperasi, itu pun dalam kondisi terbatas.

“Tujuh bayi baru lahir dilaporkan meninggal akibat hipotermia dalam sepekan terakhir. Mereka tidak memiliki akses ke pakaian hangat, selimut yang memadai, tempat berlindung, ataupun perawatan medis,” jelas Beigbeder.

Sebagai bentuk respons darurat, UNICEF telah menyalurkan pakaian hangat untuk 150 ribu anak, menyediakan layanan medis bagi 25 ribu orang, serta meningkatkan pasokan air bersih bagi hampir 500 ribu warga Gaza setiap harinya.