Serangan Drone Rusia Bikin 100 Ribu Warga Ukraina Kedinginan di Musim Dingin

Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, pada Minggu, 16 Februari 2025, mengungkapkan bahwa serangan drone Rusia yang bertubi-tubi telah menyebabkan kerusakan pada pembangkit listrik tenaga panas di wilayah selatan Ukraina. Akibatnya, sekitar 100 ribu warga terpaksa menghadapi suhu musim dingin yang bisa mencapai -7 derajat Celsius tanpa pemanas ruangan.

“Mereka (warga Ukraina) tidak memiliki keterlibatan dalam pertempuran atau situasi di garis depan. Namun, kejadian ini sekali lagi membuktikan bahwa Rusia sedang berperang melawan warga sipil dan kehidupan di Ukraina,” ujar Zelensky.

Sebelumnya, Perdana Menteri Ukraina, Denys Shmyhal, menegaskan bahwa serangan ini sengaja dilakukan oleh Rusia untuk memutus pasokan pemanas bagi warga, terutama saat suhu mencapai titik beku. Ia menyebut tindakan tersebut sebagai bencana kemanusiaan yang semakin memperburuk situasi di Ukraina.

Pada malam yang sama, Rusia meluncurkan 143 drone dalam satu malam. Militer Ukraina mengklaim berhasil menembak jatuh 95 di antaranya, sementara 46 lainnya mencapai sasaran. Ukraina menggunakan teknologi gelombang elektromagnetik untuk mengacaukan serangan drone tersebut.

Serangan Rusia juga mengakibatkan setidaknya satu orang mengalami luka-luka dan merusak sejumlah rumah di Kyiv. Sementara itu, di Mykolaiv, suhu diperkirakan turun hingga -7 derajat Celsius. Presiden Zelensky kembali menyerukan kepada negara-negara Barat untuk memberikan lebih banyak bantuan sistem pertahanan udara, terutama mengingat Rusia kini telah menguasai 20 persen wilayah Ukraina dan terus meningkatkan intensitas serangan di bagian timur negara tersebut.

Perang antara Rusia dan Ukraina kini telah memasuki tahun ketiga. Ukraina terus mendesak Moskow untuk menarik pasukannya dari wilayah yang diduduki serta menuntut jaminan keamanan, termasuk upaya bergabung dengan NATO guna mencegah serangan serupa di masa depan.

Di sisi lain, pemerintahan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menyatakan secara terbuka untuk pertama kalinya bahwa tidak realistis bagi Kyiv untuk kembali ke perbatasannya pada 2014 atau menjadi anggota NATO dalam kesepakatan apa pun. Washington juga menegaskan bahwa Amerika Serikat tidak akan mengirim pasukan untuk bergabung dengan kekuatan keamanan di Ukraina dalam skenario gencatan senjata.

5 Fakta Menarik tentang Militer Suriah di Tengah Konflik dan Kudeta

DAMASKUS – Suriah, negara yang terkenal dengan ketegangan dan ketidakstabilan, menyimpan berbagai fakta menarik tentang militernya. Terjebak dalam konflik internal dan eksternal selama beberapa dekade, militer Suriah telah memainkan peran kunci dalam sejarah negara tersebut. Berikut adalah lima fakta menarik mengenai militer Suriah yang patut diketahui:

1. Kekuatan Militer Suriah

Meskipun Suriah tidak menempati posisi teratas dalam hal kekuatan militer di Timur Tengah, militer negara ini memiliki kapabilitas yang signifikan. Menurut survei Global Fire Power, Suriah berada di posisi 60 dari 145 negara. Dengan sekitar 57 pesawat tempur, 27 helikopter serang, ribuan tank, dan belasan ribu kendaraan lapis baja, Suriah memiliki kekuatan militer yang cukup besar dibandingkan dengan negara-negara besar di kawasan tersebut.

2. Permusuhan Abadi dengan Israel

Konflik Suriah dan Israel telah berlangsung sejak 1948, dan ketegangan antara keduanya masih berlanjut hingga hari ini. Salah satu momen penting dalam sejarah permusuhan ini adalah Perang Enam Hari pada 1967, di mana Israel berhasil merebut Dataran Tinggi Golan dari Suriah. Permusuhan ini belum sepenuhnya mereda, dengan serangan terbaru oleh Israel pada 8 September 2024, yang menewaskan 18 orang dan melukai puluhan lainnya.

3. Kudeta Militer yang Sering Terjadi

Suriah memiliki sejarah panjang kudeta militer yang dimulai pada tahun 1949 dengan pengangkatan Jenderal Husni al-Za’im sebagai presiden. Kudeta ini berlanjut dengan pemerintahan Jenderal Adib Shishakli dan beberapa kudeta militer lainnya pada 1963. Kudeta terbaru terjadi selama Perang Saudara Suriah pada 2011, di mana militer Suriah mengatasi protes terhadap Presiden Bashar al-Assad dengan kekuatan besar.

4. Perang Melawan ISIS

Kemunculan ISIS di Suriah pada 2013 membawa perubahan besar dalam dinamika konflik di negara ini. Dengan dukungan dari Rusia dan Iran, pemerintah Suriah berhasil merebut kembali wilayah dari ISIS, termasuk benteng Aleppo pada 2016. Namun, meskipun ISIS telah kehilangan banyak wilayah, pertempuran melawan kelompok ekstremis dan serangan militer masih berlanjut hingga Agustus 2023.

5. Dukungan Senjata dari Iran

Iran memainkan peran penting dalam mendukung militer Suriah, sering mengirimkan senjata dan peralatan militer. Pada pertengahan 2023, Iran memanfaatkan misi bantuan gempa bumi untuk mengirimkan senjata ke Suriah. Langkah ini bertujuan untuk memperkuat pertahanan Suriah terhadap Israel dan mendukung Presiden Bashar al-Assad dalam menghadapi berbagai tantangan di negara tersebut.