Francesca Albanese Peringatkan Dunia Soal Ancaman Nyata terhadap Palestina

Francesca Albanese, Pelapor Khusus PBB untuk urusan Palestina, menyuarakan keprihatinannya terhadap situasi yang terus memburuk di Palestina akibat agresi Israel yang tiada henti. Dalam sebuah acara dua hari di Pantin, Paris, ia menegaskan bahwa waktu untuk menyelamatkan rakyat Palestina semakin menipis jika tidak ada tindakan nyata dari komunitas internasional. Menurutnya, sejak dimulainya gencatan senjata pada Januari, Israel tak pernah sungguh-sungguh menghormati kesepakatan tersebut dan terus melanjutkan aksi militernya.

Albanese menyebut bahwa Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, memiliki kepentingan pribadi dalam memperpanjang perang, mengingat tekanan hukum yang ia hadapi baik di tingkat nasional maupun internasional. Ia menyoroti momen di mana Netanyahu justru meluncurkan serangan ke Gaza sehari sebelum dijadwalkan hadir di pengadilan, yang memunculkan dugaan adanya motif politik di balik keputusan militer tersebut. Ia pun pesimistis terhadap peluang keadilan dari sistem hukum, baik dari Israel sendiri maupun pengadilan internasional.

Lebih jauh, Albanese menyoroti ambisi kelompok ideologis di pemerintahan Israel yang ingin mencaplok Gaza dan Tepi Barat, memanfaatkan lemahnya posisi Eropa dan agresi Amerika Serikat. Ia menilai bahwa tindakan Israel saat ini merupakan bagian dari upaya lebih besar untuk memperluas wilayah hingga ke Timur Tengah. Tak hanya itu, ia juga menanggapi upaya kelompok pro-Israel yang mencoba menghentikan mandatnya sebagai pelapor PBB, yang menurutnya hanyalah bagian dari agenda yang sudah terstruktur.

Meski begitu, ia tetap menekankan bahwa solusi dapat ditemukan melalui penerapan hukum internasional yang secara tegas mengharuskan penghentian pendudukan, genosida, dan apartheid. Namun, ia mengkritik minimnya kemauan politik dari negara-negara dunia untuk menjalankan prinsip-prinsip tersebut. Menurutnya, penderitaan rakyat Palestina hari ini adalah akibat dari sejarah panjang penindasan, termasuk dampak dari antisemitisme Eropa di masa lalu.

Situasi semakin tragis setelah serangan besar yang kembali dilancarkan Israel pada 18 Maret lalu, menewaskan hampir 1.400 warga Gaza dan melukai ribuan lainnya. Serangan tersebut menghancurkan kesepakatan gencatan senjata dan pertukaran tahanan. Netanyahu bahkan berjanji akan meningkatkan intensitas serangan, sejalan dengan rencana pengusiran warga Palestina dari wilayah tersebut. Sejak Oktober 2023, lebih dari 50.700 warga Palestina, mayoritas perempuan dan anak-anak, telah menjadi korban serangan brutal di Gaza. Saat ini, Israel sedang menghadapi gugatan genosida di Mahkamah Internasional dan surat perintah penangkapan terhadap Netanyahu telah diterbitkan oleh Mahkamah Pidana Internasional.

Xizang dan Perjalanan Panjang Menuju Kemajuan Hak Asasi Manusia

Kemajuan signifikan dalam perlindungan hak asasi manusia di Daerah Otonom Xizang, China, tercermin dalam sebuah buku putih yang dirilis pada Jumat (28/3). Dokumen berjudul Hak Asasi Manusia di Xizang di Era Baru ini menyoroti berbagai langkah yang telah diambil oleh Partai Komunis China (CPC) dan pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, memperkuat persatuan etnis, serta menjamin hak-hak dasar penduduk setempat. Seiring peringatan 60 tahun berdirinya daerah otonom ini pada 2025, pencapaian dalam bidang HAM semakin nyata, terutama sejak Kongres Nasional CPC ke-18 pada 2012. Kepala pemerintahan daerah, Gama Cedain, menegaskan bahwa kepemimpinan CPC telah membawa stabilitas dan pembangunan berkualitas tinggi di Xizang, memungkinkan masyarakat dari berbagai etnis menikmati hak-hak penghidupan dan pembangunan yang lebih baik. Buku putih ini menguraikan kemajuan dalam aspek demokrasi, ekonomi, sosial, budaya, lingkungan, serta kebebasan beragama. Hingga akhir 2019, sebanyak 628.000 warga miskin telah terbebas dari kemiskinan, sementara pada 2024, pendapatan bersih per kapita mereka meningkat lebih dari 12,5 persen. Infrastruktur pun berkembang pesat, dengan panjang jalan hampir dua kali lipat dalam 12 tahun terakhir, serta jaringan 5G yang kini mencakup seluruh kota dan kota kecil. Xizang juga mencatat peningkatan angka harapan hidup dari 68,17 tahun pada 2010 menjadi 72,19 tahun pada 2020. CPC terus mengutamakan pendekatan berbasis rakyat dalam perlindungan HAM, mengoordinasikan hak-hak sipil, politik, ekonomi, dan sosial demi mencapai kesejahteraan bersama. Kini, Xizang menikmati stabilitas politik, harmoni sosial, dan hubungan antaragama yang baik. Buku putih tersebut juga menegaskan bahwa tuduhan tentang memburuknya situasi HAM di Xizang hanyalah kebohongan bermotif politik yang bertujuan menciptakan ketidakstabilan. Kemajuan yang telah dicapai oleh masyarakat Xizang di era baru ini tidak akan terhenti oleh propaganda yang menyesatkan.

Davao Bergolak: Ribuan Pendukung Tuntut Pemulangan Duterte dari ICC

Sekitar 20.000 orang turun ke jalan di Kota Davao, Filipina, pada Minggu untuk menuntut pembebasan serta pemulangan mantan Presiden Rodrigo Duterte. Aksi ini terjadi bertepatan dengan peringatan hari jadi ke-88 kota kelahiran Duterte, yang oleh para pendukungnya diubah menjadi ajang demonstrasi besar-besaran. Mereka meneriakkan yel-yel dan menggelar doa bersama di Rizal Park, dekat balai kota, sebagai bentuk dukungan terhadap mantan presiden yang kini menghadapi persidangan di Mahkamah Pidana Internasional (ICC).

Duterte ditangkap pada Rabu (12/3) di Bandara Internasional Manila setelah kembali dari Hong Kong. Ia dibawa ke Den Haag untuk diadili atas tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan terkait ribuan pembunuhan di luar hukum selama perang narkoba yang ia canangkan saat menjabat dari 2016 hingga 2022. Sidang awal yang berlangsung pada Jumat (14/3) dipimpin oleh Hakim Julia Antoanella Motoc. Dalam persidangan yang diselenggarakan melalui tautan video, ICC mengonfirmasi identitas Duterte, memberitahukan hak-haknya, serta menetapkan jadwal untuk sidang konfirmasi dakwaan.

Wakil Presiden Filipina, Sara Duterte, yang juga putri mantan presiden, menyampaikan pesan dari ayahnya kepada para pendukungnya yang berkumpul di luar gedung ICC. Ia menenangkan massa dengan mengatakan bahwa Duterte meminta mereka untuk tetap tenang dan meyakini bahwa segalanya akan menemukan akhirnya. Pernyataan tersebut mengisyaratkan keyakinan Duterte terhadap jalannya persidangan.

Selama masa kepemimpinannya, sedikitnya 6.252 orang tewas dalam operasi antinarkoba yang dilakukan kepolisian Filipina. Namun, kelompok hak asasi manusia mengklaim bahwa jumlah korban sebenarnya jauh lebih tinggi, mencapai sekitar 27.000 orang akibat eksekusi di luar hukum yang dilakukan dalam perang narkoba Duterte.

Trump Tegaskan Tidak Akan Ada Pengusiran Warga Palestina dari Gaza

Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, pada Rabu (12/3), menegaskan bahwa tidak ada warga Palestina yang akan dipaksa keluar dari Jalur Gaza, meskipun ia tetap melanjutkan rencananya untuk mengambil kendali atas wilayah tersebut. Saat menjamu Perdana Menteri Irlandia, Michael Martin, di Ruang Oval, Trump menegaskan bahwa rakyat Palestina akan tetap berada di Gaza, membantah laporan yang menyebut adanya rencana pengusiran massal.

Pernyataan ini muncul setelah Menteri sayap kanan Israel, Bezalel Smotrich, mengungkapkan bahwa pemerintah Israel sedang membentuk kantor ‘Otoritas Emigrasi’ di bawah Kementerian Pertahanan. Kantor ini bertujuan untuk mengatur pemindahan paksa warga Palestina dari Gaza, sebuah langkah yang disebutnya mendapat dukungan dari pemerintahan Trump. Smotrich bahkan mengklaim bahwa pejabat AS mengatakan mereka tidak ingin “2 juta Nazi tinggal di luar pagar,” merujuk pada warga Palestina yang bermukim di Gaza.

Smotrich juga menyatakan bahwa gagasan mengenai pemindahan warga Gaza, yang dulu dianggap tabu, kini mulai dipandang sebagai solusi yang realistis. Ia menegaskan bahwa pemerintah Israel sedang bekerja sama dengan AS untuk menentukan negara yang bersedia menerima para pengungsi dari Gaza. Rencana kontroversial ini semakin memicu kecaman internasional, terutama setelah pada Februari lalu, Trump mengusulkan untuk mengambil alih Gaza, mengusir penduduk aslinya, dan memindahkan mereka ke wilayah lain.

Usulan tersebut menuai kritik tajam dari berbagai negara yang menilainya sebagai bentuk pembersihan etnis. Banyak pihak menegaskan bahwa langkah semacam ini tidak hanya melanggar hak asasi manusia tetapi juga berpotensi memperburuk ketegangan di Timur Tengah.

Perintah Eksekutif Trump Picu Kekhawatiran Terhadap Kebijakan Anti-Muslim di AS

Presiden Donald Trump mengeluarkan perintah eksekutif yang menimbulkan kekhawatiran akan munculnya kebijakan diskriminatif terhadap umat Muslim di Amerika Serikat. Kebijakan ini berpotensi mempengaruhi individu dari negara-negara dengan mayoritas Muslim, serta mahasiswa internasional yang mendukung hak-hak Palestina. Banyak yang melihat ini sebagai pengulangan dari larangan perjalanan yang pernah diberlakukan pada masa kepresidenannya sebelumnya.

Perintah eksekutif yang baru ini dikeluarkan setelah Trump terpilih kembali sebagai presiden. Dalam keterangannya, Trump menyatakan bahwa kebijakan tersebut bertujuan untuk meningkatkan keamanan nasional dengan memperketat pemeriksaan bagi individu dari beberapa negara. Ia berpendapat kebijakan ini dapat membantu menanggulangi ancaman terorisme, meski banyak yang menilai kebijakan ini sebagai bentuk diskriminasi terhadap komunitas Muslim. Kebijakan tersebut menyoroti bahwa stigma negatif terhadap kelompok tertentu masih memengaruhi kebijakan imigrasi di AS.

Para aktivis hak asasi manusia dan pengamat politik langsung mengkritik keputusan ini. Mereka berpendapat kebijakan ini tidak hanya membatasi akses bagi warga negara Muslim, tetapi juga berpotensi berdampak pada mereka yang telah berada di AS secara sah. Deepa Alagesan, pengacara dari International Refugee Assistance Project, menyebut kebijakan ini lebih berbahaya dibandingkan larangan perjalanan sebelumnya, karena dapat memicu deportasi bagi individu yang dianggap berisiko. Hal ini memperlihatkan ketidakpastian dan kecemasan di kalangan komunitas imigran.

Salah satu bagian yang paling kontroversial dari kebijakan ini adalah dampaknya terhadap mahasiswa internasional yang mendukung hak-hak Palestina. Banyak di antara mereka yang khawatir bahwa sikap politik mereka dapat membuat mereka menjadi sasaran dalam prosedur imigrasi. Kebijakan ini berpotensi menghambat pertukaran budaya dan akademik antara AS dan negara-negara Muslim, serta menciptakan ketidakpercayaan di kalangan mahasiswa internasional. Kebijakan ini menunjukkan bagaimana keputusan politik dapat memengaruhi hubungan internasional dan dinamika sosial di kampus-kampus.

Berbagai organisasi hak asasi manusia, termasuk American-Arab Anti-Discrimination Committee (ADC), mengutuk perintah eksekutif ini sebagai langkah mundur bagi nilai-nilai kebebasan berpendapat dan inklusivitas di AS. Mereka mengingatkan bahwa tindakan ini justru memperburuk stigma terhadap komunitas Muslim dan dapat meningkatkan ketegangan sosial. Ini menegaskan perlunya dialog terbuka tentang keberagaman dan penerimaan dalam masyarakat.

Dengan adanya perintah eksekutif ini, yang membuka jalan bagi kebijakan anti-Muslim, harapan untuk perlindungan hak asasi manusia di AS tampak semakin pudar. Diharapkan masyarakat sipil dan organisasi hak asasi manusia akan terus berjuang melawan diskriminasi dan memastikan perlakuan adil bagi semua individu, tanpa melihat latar belakang agama atau etnis. Tantangan besar bagi pemerintahan Trump adalah mencapai keadilan sosial di tengah situasi ini.

Kebijakan Baru Trump Picu Kekhawatiran terhadap Diskriminasi Muslim di AS

Donald Trump, Presiden Amerika Serikat, mengeluarkan perintah eksekutif yang menimbulkan kekhawatiran terkait potensi kebijakan anti-Muslim di negara tersebut. Kebijakan ini dinilai berpotensi menyasar warga dari negara-negara dengan mayoritas penduduk Muslim, termasuk mahasiswa internasional yang mendukung isu-isu seperti hak-hak Palestina. Banyak yang melihat langkah ini sebagai bentuk pengulangan dari larangan perjalanan yang sempat diterapkan pada masa kepresidenannya sebelumnya.

Perintah eksekutif ini diumumkan tak lama setelah Trump kembali menjabat sebagai presiden. Dalam pernyataannya, ia mengungkapkan bahwa langkah tersebut bertujuan untuk memperketat pemeriksaan terhadap individu dari negara-negara tertentu demi keamanan nasional. Meski disebut-sebut dapat mengurangi risiko terorisme, banyak pihak memandang kebijakan ini sebagai tindakan diskriminatif terhadap komunitas Muslim. Kebijakan tersebut menunjukkan bahwa pandangan negatif terhadap kelompok tertentu masih memengaruhi pendekatan imigrasi di Amerika Serikat.

Tanggapan keras langsung muncul dari aktivis hak asasi manusia dan pengamat politik. Mereka menilai kebijakan ini tidak hanya membatasi akses bagi warga negara dari kawasan mayoritas Muslim, tetapi juga berpotensi memengaruhi individu yang sudah menetap secara legal di AS. Menurut Deepa Alagesan, seorang pengacara dari International Refugee Assistance Project, kebijakan ini berisiko lebih besar daripada larangan perjalanan sebelumnya, karena dapat membuka jalan bagi deportasi terhadap orang-orang yang dianggap berisiko. Situasi ini memicu ketidakpastian dan ketakutan di kalangan komunitas imigran.

Salah satu isu paling sensitif dalam kebijakan ini adalah dampaknya terhadap mahasiswa internasional yang mendukung perjuangan Palestina. Mereka khawatir dukungan mereka terhadap isu-isu tertentu dapat mempersulit status imigrasi mereka. Kebijakan ini dikhawatirkan menghambat pertukaran budaya dan pendidikan antara Amerika Serikat dan negara-negara Muslim, serta menciptakan suasana ketidakpercayaan di lingkungan kampus. Hal ini menyoroti bagaimana kebijakan pemerintah bisa memengaruhi hubungan antarnegara dan dinamika sosial.

Berbagai organisasi hak asasi manusia, termasuk American-Arab Anti-Discrimination Committee (ADC), mengecam perintah eksekutif ini, menyebutnya sebagai ancaman terhadap prinsip kebebasan berpendapat dan inklusi. Mereka berpendapat bahwa kebijakan tersebut hanya akan memperburuk stereotip negatif terhadap komunitas Muslim dan meningkatkan ketegangan sosial. Situasi ini menunjukkan pentingnya dialog yang terbuka untuk mendorong keberagaman dan penerimaan dalam masyarakat.

Keluarnya perintah eksekutif yang membuka peluang kebijakan anti-Muslim ini mencerminkan semakin surutnya harapan terhadap perlindungan hak asasi manusia di Amerika Serikat. Namun, organisasi masyarakat sipil dan para pegiat hak asasi manusia diharapkan terus berupaya melawan diskriminasi dan memperjuangkan kesetaraan bagi semua individu, tanpa memandang agama atau latar belakang etnis. Mewujudkan keadilan sosial menjadi tantangan besar yang harus dihadapi oleh pemerintahan Trump di masa mendatang.