Hussein al-Sheikh Ditunjuk Sebagai Wakil Presiden Palestina, Memicu Protes dari Faksi Hamas

Pada hari Sabtu, Komite Eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) menyetujui pengangkatan Hussein al-Sheikh, Sekretaris Jenderal komite PLO, sebagai Wakil Presiden Palestina. Keputusan ini diambil berdasarkan usulan dari Presiden Mahmoud Abbas, yang diajukan pada sidang ke-32 Dewan Pusat Palestina yang digelar pada 24 April. Abbas menyatakan komitmennya untuk memulai dialog nasional yang komprehensif, melibatkan berbagai faksi Palestina guna mencapai rekonsiliasi dan memperkuat persatuan nasional.

Dalam kesempatan tersebut, Hussein al-Sheikh juga mengirimkan surat terima kasih kepada Presiden Abbas atas pencalonannya. Selain itu, Komite Eksekutif PLO dijadwalkan untuk bertemu kembali pada minggu depan untuk memilih sekretaris jenderal yang baru. Abbas, dalam pengarahan kepada komite, juga menekankan pentingnya upaya politik yang akan datang untuk menghentikan tindakan Israel di Tepi Barat dan Gaza. Ia menyuarakan kebutuhan untuk mempercepat bantuan kemanusiaan dan medis ke Gaza, serta memperjuangkan penarikan Israel secara menyeluruh.

Keputusan pengangkatan Hussein al-Sheikh ini diputuskan dalam sebuah pemungutan suara yang dilakukan oleh 170 anggota Dewan Pusat Palestina, dengan satu anggota menentang dan satu lainnya abstain. Meskipun demikian, pertemuan Dewan Pusat ini mendapat kritik tajam dari faksi-faksi besar dalam organisasi, termasuk Front Populer, Front Demokratik, dan Inisiatif Nasional Palestina, yang memboikot pertemuan tersebut. Hamas juga mengkritik hasil pertemuan itu, dengan menyatakan bahwa keputusan tersebut mengabaikan upaya persatuan nasional dan menyerukan reformasi politik dalam tubuh PLO.

Serangan Udara Israel di Gaza: Lebih dari 200 Serangan dalam Tiga Hari Terakhir

Pada Senin (21/4), militer Israel mengklaim telah melancarkan lebih dari 200 serangan udara di Jalur Gaza dalam tiga hari terakhir. Serangan ini dipicu oleh eskalasi konflik yang terjadi antara Israel dan kelompok militan yang beroperasi di Gaza. Salah satu korban yang tewas dalam serangkaian serangan tersebut adalah Ahmad Mansour, seorang anggota kelompok Jihad yang diketahui terlibat dalam serangan mendadak Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober 2023. Setelah serangan tersebut, Mansour dilaporkan mengarahkan tembakan roket selama berlangsungnya perang yang sedang terjadi antara kedua pihak.

Militer Israel menyebutkan bahwa serangan-serangan udara tersebut difokuskan untuk menargetkan berbagai infrastruktur militan, seperti sel-sel militan, fasilitas peluncuran roket, lokasi penembak jitu, serta depot senjata dan pusat komando. Selain itu, pasukan Israel juga mengeksploitasi wilayah baru yang dikenal dengan nama Koridor Morag, yang membelah Rafah dan Khan Younis di Gaza, untuk menemukan dan menghancurkan senjata serta infrastruktur Hamas, sementara beberapa militan lainnya dilaporkan tewas dalam pertempuran tersebut.

Di bagian utara Gaza, tentara Israel meluncurkan serangan udara terhadap sebuah bangunan yang mereka klaim berisi infrastruktur bawah tanah yang digunakan oleh militan. Dalam operasi tersebut, pasukan Israel juga berhasil menghancurkan pos penembak jitu Hamas yang sebelumnya menargetkan pasukan darat Israel. Meskipun militer Israel menegaskan bahwa serangan ini penting untuk mempertahankan keamanan mereka, serangan tersebut menewaskan sedikitnya delapan orang dan menyebabkan puluhan lainnya terluka, menurut laporan kantor berita Palestina, WAFA. Konflik ini terus berlanjut dengan dampak yang semakin besar bagi warga sipil di kedua belah pihak.

Israel Luncurkan Serangan ke Posisi Hamas dan Kapal di Perairan Gaza

Pasukan militer Israel melancarkan serangan terhadap posisi Hamas di wilayah utara Jalur Gaza. Pemerintah Tel Aviv mengklaim serangan tersebut dilakukan setelah mereka mendeteksi aktivitas persiapan serangan ke wilayah Israel di area tersebut.

Selain itu, sejumlah kapal yang diduga berafiliasi dengan Hamas dan Jihad Islam di perairan Gaza juga menjadi sasaran serangan kapal militer Israel.

Serangan udara Israel terhadap Jalur Gaza terus berlanjut sejak Selasa (18/3). Baik pihak Tel Aviv maupun Hamas saling menyalahkan atas pelanggaran gencatan senjata yang terjadi. Serangan ini mengakhiri masa tenang yang telah berlangsung hampir dua bulan di wilayah tersebut.

Berdasarkan laporan dari pejabat kesehatan Gaza, seperti dikutip Reuters dan Al Arabiya pada Rabu (19/3/2025), sedikitnya lima warga Palestina dilaporkan tewas akibat serangan Israel di Jalur Gaza pada hari yang sama.

Tiga korban tewas akibat serangan udara yang menghantam sebuah rumah di kawasan pinggiran Sabra, Gaza City. Sementara itu, dua lainnya meninggal akibat serangan Israel di kota Beit Hanoun, Gaza utara. Serangan tersebut juga menyebabkan enam orang mengalami luka-luka.

Militer Israel menyatakan bahwa serangan mereka menargetkan fasilitas militer Hamas yang berlokasi di utara Jalur Gaza.

Di sisi lain, kapal-kapal Angkatan Laut Israel melancarkan serangan terhadap sejumlah kapal yang diklaim Tel Aviv sebagai bagian dari rencana aksi “teroris” oleh Hamas dan Jihad Islam. Beberapa warga Gaza melaporkan bahwa drone militer Israel menembaki kapal nelayan di pantai Gaza City, menyebabkan kapal-kapal tersebut terbakar.

Tak hanya melakukan serangan udara dan laut, militer Israel juga menyebarkan selebaran di Beit Hanoun dan Khan Younis pada Rabu (19/3).

Dalam selebaran tersebut, warga Gaza diperintahkan untuk segera meninggalkan rumah mereka, dengan peringatan bahwa mereka berada dalam zona pertempuran yang berbahaya.

“Tetap berada di tempat penampungan atau tenda saat ini bisa membahayakan nyawa Anda dan keluarga. Segeralah mengungsi,” demikian isi selebaran yang dijatuhkan oleh pesawat militer Israel.

Serangan udara Israel yang terjadi sejak Selasa (18/3) telah menyebabkan lebih dari 400 korban jiwa, menurut otoritas kesehatan Gaza. Serangan ini dilakukan di tengah kebuntuan perundingan mengenai perpanjangan gencatan senjata.

Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menegaskan bahwa serangan-serangan ini “baru permulaan”.

Sementara itu, Hamas menuduh Netanyahu telah “menjatuhkan hukuman mati” terhadap 59 sandera yang masih berada di Jalur Gaza.

Penjelasan: Peristiwa Penting dalam Fase Pertama Gencatan Senjata di Gaza

Dalam tahap awal gencatan senjata di Gaza yang berlangsung selama enam minggu atau 42 hari, Hamas membebaskan 25 sandera Israel serta menyerahkan jenazah delapan sandera sebagai pertukaran dengan hampir 2.000 warga Palestina yang ditahan oleh Israel, menurut laporan Al Jazeera.

Israel memberikan izin bagi sebagian bantuan kemanusiaan untuk masuk, tetapi periode ini diwarnai dengan berbagai pelanggaran yang berulang dari pihak Israel.

Serangan udara Israel mengakibatkan puluhan warga Palestina tewas. Militer Israel mengklaim bahwa mereka yang menjadi korban berada terlalu dekat dengan pasukan atau memasuki area yang dianggap melanggar gencatan senjata.

Terkait tempat penampungan, dari total 200.000 tenda yang direncanakan untuk masuk dalam fase pertama, hanya sekitar 10 persen yang berhasil dikirimkan, sementara 60.000 rumah mobil yang dijanjikan sama sekali belum diterima oleh warga Gaza.

Hamas menyebut penghentian bantuan oleh Israel pada hari ini sebagai bentuk pelanggaran lain, mengingat gencatan senjata dan distribusi bantuan seharusnya tetap berlangsung selama proses negosiasi tahap kedua kesepakatan berjalan.

Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) menyatakan bahwa ada indikasi kuat Israel menggunakan “kelaparan sebagai metode peperangan” dalam keputusannya mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Netanyahu tahun lalu.

Trump Frustrasi dengan Gencatan Senjata Israel-Hamas setelah Melihat Kondisi Sandera

Donald Trump merasa frustrasi dengan kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Hamas setelah menyaksikan rekaman kondisi fisik sandera Israel yang sangat kekurangan gizi pasca-pembebasan mereka. Ia membandingkan kondisi mereka dengan para penyintas Holocaust, menyiratkan bahwa Amerika Serikat bisa segera kehilangan kesabaran dengan perjanjian ini.

Trump mengacu pada tiga sandera Israel—Ohad Ben Ami, Eli Sharabi, dan Or Levy—yang dibebaskan pada 8 Februari 2025, sebagai bagian dari kesepakatan gencatan senjata antara Hamas dan Israel. Ia mengungkapkan kekhawatirannya atas kondisi mereka yang tampak sangat lemah dan kurus, bahkan lebih buruk daripada sandera lain yang telah dibebaskan sebelumnya.

Presiden AS tersebut juga menegaskan kembali komitmennya untuk memastikan kontrol AS atas Gaza, dengan menekankan bahwa wilayah tersebut harus dipulihkan dan dikendalikan dengan tujuan agar Hamas mundur.

Reaksi Negara-Negara Timur Tengah Atas Gencatan Senjata Israel-Hamas

Kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Hamas mendapatkan respons beragam dari negara-negara di Timur Tengah, termasuk Arab Saudi, Turki, dan Uni Emirat Arab (UEA). Kesepakatan ini diharapkan dapat menghentikan konflik berkepanjangan yang telah menyebabkan penderitaan besar bagi warga Gaza.

Kementerian Luar Negeri Arab Saudi menyambut baik gencatan senjata ini dan menekankan pentingnya mematuhi perjanjian tersebut. Mereka menyerukan penghentian agresi Israel di Gaza serta penarikan penuh pasukan pendudukan dari semua wilayah Palestina. Pernyataan ini menunjukkan komitmen Saudi untuk mendukung perjuangan Palestina dan mengakhiri kekerasan yang telah berlangsung lama di kawasan tersebut.

Turki juga memberikan dukungan terhadap gencatan senjata ini. Presiden Recep Tayyip Erdoğan menyatakan bahwa langkah ini merupakan kesempatan untuk mengakhiri penderitaan rakyat Palestina dan memperbaiki kondisi kemanusiaan di Gaza. Turki berjanji akan terus memberikan bantuan kemanusiaan kepada warga Gaza dan mendukung upaya diplomatik untuk mencapai perdamaian yang berkelanjutan di wilayah tersebut.

Sementara itu, UEA menyatakan bahwa mereka mendukung setiap upaya yang bertujuan untuk mengakhiri konflik dan memulihkan stabilitas di kawasan. Mereka menekankan pentingnya dialog antara pihak-pihak yang terlibat untuk mencapai solusi damai yang adil bagi semua pihak. UEA juga mengingatkan bahwa bantuan kemanusiaan harus segera disalurkan ke Gaza untuk membantu masyarakat yang terdampak.

Gencatan senjata ini tidak hanya menjadi harapan bagi warga Gaza, tetapi juga menjadi momentum bagi negara-negara Arab untuk bersatu dalam mendukung Palestina. Dengan adanya dukungan dari negara-negara besar seperti Saudi, Turki, dan UEA, diharapkan proses perdamaian dapat berjalan lebih lancar dan efektif.

Dengan berbagai reaksi positif dari negara-negara Timur Tengah, gencatan senjata ini memberikan harapan baru bagi rakyat Palestina setelah bertahun-tahun konflik. Namun, tantangan besar masih ada dalam implementasi kesepakatan ini. Semua pihak diharapkan dapat bekerja sama untuk memastikan bahwa gencatan senjata ini tidak hanya bersifat sementara, tetapi juga menjadi langkah awal menuju perdamaian yang lebih permanen di kawasan yang telah lama dilanda konflik.