Tanpa Bantuan Intelijen AS, Pertahanan Ukraina Dikabarkan Melemah

Senator Mark Kelly dari Partai Demokrat mengkritik keputusan pemerintahan Donald Trump yang menghentikan pertukaran informasi intelijen dengan Ukraina. Menurutnya, kebijakan tersebut telah melemahkan kemampuan pertahanan Ukraina dalam menghadapi agresi Rusia.

Kelly, yang baru saja kembali dari lawatan ke Ukraina, menanggapi tuduhan dari Elon Musk, penasihat Trump, yang menyebutnya sebagai “pengkhianat”. Ia menyatakan tidak menganggap serius tuduhan tersebut.

“Seratus persen,” ujar Kelly pada Senin (10/3/2025) ketika ditanya apakah situasi di medan perang bisa berbeda jika Ukraina tetap menerima intelijen dari AS. “Jika ada informasi yang mereka butuhkan tetapi tidak mereka dapatkan, tentu itu akan berdampak pada kemampuan mereka dalam mempertahankan diri.”

Kelly juga menyebut bahwa serangan besar Rusia terjadi pada Jumat dan Sabtu saat ia berada di sana, tetapi ia tidak memberikan rincian lebih lanjut terkait laporan tersebut.

Rusia Intensifkan Serangan ke Infrastruktur Ukraina

Serangan Rusia terhadap Ukraina terus meningkat dalam beberapa hari terakhir. Sejak Kamis lalu, militer Rusia meluncurkan serangan udara, rudal, dan drone yang menargetkan infrastruktur energi dan gas Ukraina.

Laporan dari otoritas setempat menyebutkan bahwa setidaknya 14 orang tewas dan 37 lainnya terluka akibat serangan tersebut. Pada Senin malam, ibu kota Ukraina, Kyiv, kembali menjadi sasaran serangan udara besar-besaran.

Sebagai anggota Komite Dinas Bersenjata Senat, Kelly mengunjungi Ukraina dari Sabtu hingga Minggu guna menunjukkan dukungan kepada rakyat negara tersebut serta menilai situasi terkini di lapangan.

Trump Tekan Zelensky dengan Hentikan Intelijen dan Bantuan Militer

Langkah pemerintahan Trump menghentikan pertukaran informasi intelijen ini disebut sebagai bagian dari strategi untuk menekan Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky agar bersedia berunding dengan Rusia.

Selain itu, Washington juga menghentikan bantuan militer ke Kyiv, semakin memperlemah posisi Ukraina di medan perang. Keputusan ini diambil setelah konfrontasi panas antara Trump dan Zelensky dalam sebuah pertemuan di Gedung Putih.

Wakil Presiden AS JD Vance, yang selama ini menolak kebijakan bantuan untuk Ukraina, turut hadir dalam pertemuan tersebut.

Saat ini, Zelensky berada di Arab Saudi untuk bertemu Putra Mahkota Mohammed bin Salman sebelum dijadwalkan bertemu dengan pejabat AS pada Selasa mendatang. Washington berharap pertemuan ini dapat membuka jalan bagi solusi diplomatik guna mengakhiri konflik yang berkepanjangan.

Dukungan AS terhadap Ukraina Terpecah

Sikap AS terhadap Ukraina semakin terpecah sejak Trump kembali menjabat sebagai Presiden pada 20 Januari 2025.

Sebelumnya, dukungan terhadap Ukraina mendapat persetujuan dari kedua partai di Kongres. Namun, kini Partai Republik mulai menunjukkan sikap yang lebih skeptis.

Ketua DPR dari Partai Republik, Mike Johnson, bahkan menyatakan bahwa tidak ada urgensi untuk mengajukan rancangan undang-undang bantuan baru bagi Ukraina.

Sebagai bentuk ketegangan politik yang semakin meruncing, Elon Musk menyerang Kelly dengan menyebutnya sebagai “pengkhianat” di platform media sosial X (sebelumnya Twitter). Tuduhan ini muncul setelah Kelly mengunggah pengalamannya selama kunjungan ke Ukraina dan menuding Trump berusaha melemahkan posisi negara tersebut menjelang perundingan damai.

Menanggapi serangan tersebut, Kelly, yang merupakan mantan astronot dan pilot tempur Angkatan Laut AS, memberikan jawaban tegas:

“Jelas, dia bukan orang yang bisa dianggap serius.”

Di media sosial X, Kelly juga membalas Musk dengan pernyataan tajam:

“Pengkhianat? Elon, jika kamu tidak memahami bahwa membela kebebasan adalah prinsip utama yang menjadikan Amerika kuat dan aman, lebih baik serahkan urusan ini kepada kami yang benar-benar mengerti.”

Kunjungan ini merupakan yang ketiga bagi Kelly ke Ukraina sejak 2023, sebagai bagian dari komitmennya dalam mendukung negara tersebut melawan agresi Rusia.

Kekhawatiran AS Terhadap Penggunaan Rudal Jarak Jauh Ukraina

Badan intelijen Amerika Serikat (AS) mengekspresikan keprihatinan terkait kemungkinan Ukraina menggunakan rudal jarak jauh yang dipasok oleh Washington untuk menyerang dalam wilayah Rusia. Mereka khawatir bahwa langkah ini dapat memicu serangan balasan dari Rusia terhadap pangkalan militer AS di berbagai belahan dunia. Dalam penilaian yang dirilis oleh New York Times pada Kamis (27/9/2024), meskipun Ukraina diberi izin untuk menggunakan rudal tersebut, dampaknya terhadap perang mungkin tidak signifikan mengingat jumlahnya yang terbatas.

Lebih jauh lagi, setelah serangan awal Ukraina menggunakan misil jarak jauh, Rusia diperkirakan akan memindahkan fungsi militer yang penting ke lokasi yang lebih aman, menyulitkan Ukraina untuk mencapai tujuan militer mereka. Penilaian intelijen AS menyatakan bahwa keputusan ini berisiko tinggi, karena dapat memicu “serangan berbahaya dari Moskow terhadap aset militer AS di seluruh dunia.” Respons Rusia yang mungkin terjadi bisa berkisar dari aksi sabotase di fasilitas Eropa hingga serangan langsung terhadap pangkalan militer AS dan Eropa.

Para pejabat AS percaya bahwa jika Rusia memutuskan untuk membalas, mereka kemungkinan akan melakukannya secara “diam-diam,” menghindari serangan terbuka demi meminimalkan risiko konflik yang lebih luas. Aliansi internasional telah menyuplai Ukraina dengan tiga tipe sistem rudal jarak jauh: ATACMS yang diproduksi di negeri Paman Sam, Storm Shadows buatan Inggris, dan rudal SCALP asal Prancis. Kyiv telah berulang kali memanfaatkan sistem ini untuk menyerang infrastruktur dan menimbulkan ketakutan di kalangan warga sipil di Crimea serta wilayah-wilayah lain yang dikuasai Rusia.