Inggris Teguh Pertahankan Pasokan Komponen Jet Tempur F-35 ke Israel Meski Digunakan di Gaza

LONDON – Perdana Menteri Inggris, Keir Starmer, menghadapi tekanan internasional setelah menolak untuk menghentikan pasokan komponen jet tempur F-35 ke Israel, meskipun jet tempur tersebut telah digunakan dalam serangan terhadap Gaza. Keputusan ini menimbulkan kontroversi di tengah seruan untuk menghentikan dukungan militer Inggris kepada Israel.

Dalam sesi Parlemen pada hari Rabu, Brendan O’Hara, anggota Parlemen dari Partai Nasional Skotlandia, mengkritik keputusan pemerintah Inggris. O’Hara menekankan bahwa penggunaan jet tempur F-35, yang disuplai oleh Inggris, untuk menjatuhkan bom berat di daerah padat penduduk adalah pelanggaran hukum internasional. “Menjatuhkan bom seberat 2.000 pon di area sipil adalah tindakan kejahatan. Israel jelas menggunakan F-35 dalam operasi tersebut,” katanya.

Perdebatan Hukum Internasional dan Kebijakan Pemerintah

O’Hara menyoroti bahwa pemerintah Inggris telah memilih untuk mengecualikan komponen F-35 dari penangguhan lisensi senjata yang diberlakukan pada 2 September. Penangguhan tersebut mencakup 30 dari 350 lisensi ekspor senjata ke Israel, namun tidak termasuk komponen jet tempur F-35. “Pemerintah seharusnya mengatakan bahwa Israel tidak dapat menjadi pengguna akhir komponen buatan Inggris,” tegasnya.

Menanggapi kritik ini, Perdana Menteri Starmer menegaskan bahwa keputusan pemerintah masih mematuhi hukum internasional. “Kami telah mengemukakan alasan kami dengan jelas, dan saya yakin semua anggota Parlemen yang berpikiran adil akan memahami keputusan ini,” ujar Starmer. Ia menambahkan bahwa prioritas saat ini adalah mendukung gencatan senjata dan memastikan bantuan kemanusiaan sampai ke Gaza.

Diskusi dengan AS dan Upaya Humaniter

Starmer juga menyebutkan bahwa ia akan membahas isu ini dengan Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, pada hari Jumat mendatang. Starmer berkomitmen untuk terus bekerja menuju solusi dua negara sebagai jalan menuju perdamaian yang berkelanjutan. “Kami berupaya keras agar sandera di Gaza dapat dibebaskan dan bantuan kemanusiaan dapat diterima,” tambahnya.

Keputusan pemerintah Inggris untuk tidak menangguhkan ekspor komponen F-35 menjadi sorotan publik dan internasional. Beberapa pihak merasa bahwa keputusan ini mencerminkan dilema antara menjaga hubungan militer strategis dengan Israel dan tanggung jawab moral serta hukum internasional.

ICC Menghentikan Proses Hukumnya Kepada Ismail Haniyeh

Mahkamah Pidana Internasional (ICC) merupakan lembaga yang bertugas untuk mengadili individu atas kejahatan berat seperti genosida, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Dalam beberapa tahun terakhir, ICC telah menarik perhatian dunia dengan berbagai kasus yang ditanganinya, termasuk yang melibatkan pemimpin-pemimpin negara dan kelompok bersenjata.

Salah satu kasus yang cukup mencuri perhatian adalah proses hukum terhadap Ismail Haniyeh, pemimpin Hamas.

Baru-baru ini, ICC mengumumkan keputusan untuk menghentikan proses hukum terhadap Ismail Haniyeh.

Keputusan ini mengejutkan banyak pihak, terutama mengingat latar belakang konflik yang melibatkan Hamas dan Israel.

ICC menyatakan bahwa mereka tidak memiliki cukup bukti untuk melanjutkan penyelidikan lebih lanjut terhadap Haniyeh, yang sebelumnya dituduh terlibat dalam berbagai tindakan yang dianggap sebagai kejahatan perang.

Ismail Haniyeh adalah tokoh penting dalam politik Palestina dan dikenal sebagai salah satu pemimpin Hamas.

Di bawah kepemimpinannya, Hamas telah terlibat dalam berbagai konflik dengan Israel, yang sering kali mengakibatkan banyak korban jiwa, baik dari pihak Palestina maupun Israel.

Haniyeh telah menjadi simbol perlawanan bagi banyak orang Palestina, tetapi juga menjadi sasaran kritik karena metode yang digunakan oleh kelompoknya dalam menghadapi Israel.

Keputusan ICC untuk menghentikan proses hukum ini menimbulkan berbagai spekulasi.

Beberapa analis berpendapat bahwa kurangnya bukti yang cukup kuat menjadi alasan utama, sementara yang lain beranggapan bahwa faktor politik internasional berperan dalam keputusan ini.

Dalam konteks geopolitik yang kompleks, keputusan ICC sering kali dipengaruhi oleh hubungan antarnegara dan dinamika politik yang lebih luas.

Dengan dihentikannya proses hukum terhadap Ismail Haniyeh, banyak pihak berharap ini dapat membuka jalan bagi dialog yang lebih konstruktif antara Israel dan Palestina.

Kontroversi Memuncak: Video Tentara Israel Selfie dengan Tahanan Palestina Mengguncang Komunitas Internasional

Tel Aviv – Rekaman video yang diperoleh dan diverifikasi oleh Al Jazeera Arabic baru-baru ini menampilkan adegan kontroversial di mana seorang tentara Israel terlihat berswafoto dengan seorang tahanan Palestina yang sedang diinterogasi di Nablus, Tepi Barat yang diduduki. Klip pendek ini telah menimbulkan kecaman luas dari berbagai kalangan, baik domestik maupun internasional.

Klip Video yang Mengguncang Publik

Rekaman berdurasi singkat ini menunjukkan dua pria Palestina yang tampaknya sedang dalam keadaan terikat dan ditutup matanya. Dalam video tersebut, tampak seorang tentara Israel memegang ponsel pintar sambil mengarahkan kameranya ke arah tahanan yang tampaknya sudah diborgol dan sedang digiring pergi oleh beberapa tentara lainnya. Sementara tentara lainnya mengawal tahanan pertama, tentara yang berswafoto terlihat melingkarkan lengannya dengan kasar di sekitar tahanan kedua. Dengan santai, ia mengambil beberapa foto selfie secara berturut-turut, seolah-olah kejadian tersebut adalah momen yang bisa dibanggakan.

Kritik Terhadap Praktik Dokumentasi Militer Israel

Praktik dokumentasi semacam ini bukanlah hal baru, menurut para pemantau hak asasi manusia. Pasukan Israel sering kali terdokumentasi melakukan tindakan serupa di Gaza, di mana mereka memposting gambar dan video ke media sosial yang menunjukkan tindakan-tindakan kontroversial seperti perusakan infrastruktur sipil, vandalisme, dan penyiksaan terhadap tahanan. Penggunaan ponsel untuk mendokumentasikan kejahatan perang telah menjadi kekhawatiran utama bagi para aktivis hak asasi manusia dan organisasi internasional.

Konteks dan Dampak Rekaman Video

Video ini menggarisbawahi kekhawatiran yang lebih luas mengenai tindakan pasukan Israel terhadap warga Palestina di wilayah yang diduduki. Telah tercatat bahwa konflik di Gaza telah mengakibatkan kematian lebih dari 40.800 warga Palestina, termasuk banyak wanita dan anak-anak. Kekerasan yang terus berlangsung dan pelanggaran hak asasi manusia semakin menambah ketegangan di wilayah tersebut.

Para aktivis dan organisasi hak asasi manusia mengecam tindakan tersebut sebagai bentuk penghinaan terhadap martabat manusia dan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia. “Selfie” dengan tahanan yang sedang dalam kondisi terikat menunjukkan sikap meremehkan terhadap penderitaan manusia dan berpotensi memperburuk citra militer Israel di mata dunia internasional.

Respon dan Tindakan yang Diharapkan

Sejauh ini, belum ada tanggapan resmi dari pihak militer Israel terkait video ini. Namun, banyak pihak mendesak agar segera dilakukan investigasi mendalam terhadap tindakan tersebut. Mereka mengharapkan agar pihak berwenang Israel mengambil langkah tegas untuk menangani insiden semacam ini dan mencegah terulangnya kasus serupa di masa depan.

Di sisi lain, masyarakat internasional juga diharapkan untuk terus menekan pemerintah dan lembaga-lembaga internasional agar lebih aktif dalam memantau dan mengevaluasi tindakan-tindakan militer yang melanggar hak asasi manusia. Pemantauan yang ketat dan tindakan preventif merupakan langkah penting untuk memastikan perlindungan terhadap hak-hak manusia di wilayah konflik.

Penutup

Rekaman video ini merupakan pengingat keras tentang kebutuhan mendesak untuk reformasi dan pengawasan terhadap tindakan militer dalam konflik. Dengan meningkatnya kesadaran global mengenai pelanggaran hak asasi manusia, diharapkan akan ada langkah-langkah nyata yang diambil untuk menanggulangi dan mencegah kejahatan perang, serta melindungi martabat dan hak asasi setiap individu, terutama dalam situasi konflik yang penuh ketegangan seperti yang terjadi di Tepi Barat dan Gaza.

Mesir Perketat Perbatasan Gaza, Langkah Berani dari Panglima Militer

Gaza – Letnan Jenderal Ahmed Fathy Khalifa, Panglima Militer Mesir, baru-baru ini melakukan kunjungan mendalam yang tidak terduga ke perbatasan Mesir dengan Gaza. Kunjungan ini, yang melibatkan peninjauan langsung ke zona penyangga yang memisahkan kedua wilayah, menimbulkan spekulasi tentang tujuannya yang mungkin terkait dengan tekanan terhadap Israel.

Kunjungan Strategis dan Pengecekan Keamanan

Kunjungan Khalifa ke perbatasan, yang membentang sepanjang 12 kilometer dengan Gaza dan dibagi oleh zona penyangga selebar 100 meter yang dikenal sebagai Koridor Philadelphia, bertujuan untuk memeriksa langkah-langkah keamanan di area tersebut. Menurut laporan dari Al Ahram, kunjungan ini termasuk tur inspeksi terhadap pasukan Mesir yang bertugas di penyeberangan perbatasan Rafah, yang merupakan salah satu titik kritis dalam pengawasan keamanan regional.

Selama inspeksi, Khalifa menekankan pentingnya tugas Angkatan Bersenjata Mesir dalam menjaga perbatasan negara dengan efektif dan profesional. “Angkatan bersenjata kami memiliki kemampuan untuk mempertahankan perbatasan tanah air, dari generasi ke generasi,” ujarnya dengan tegas. Kunjungan ini menyoroti komitmen Mesir untuk memastikan keamanan dan stabilitas di area yang penuh ketegangan ini.

Dialog dan Evaluasi Kondisi Personel

Selama kunjungannya, Khalifa juga terlibat dalam dialog langsung dengan personel militer, mendengarkan pendapat dan pertanyaan mereka terkait berbagai aspek operasional. Selain itu, ia memeriksa kondisi kehidupan dan administrasi personel militer, serta sistem keamanan di sepanjang garis perbatasan timur laut. Evaluasi ini juga melibatkan penjelasan terperinci mengenai pekerjaan dan koordinasi antara berbagai unit untuk memastikan kendali penuh atas perbatasan internasional.

Kontroversi dan Konteks Politik

Kunjungan Panglima Militer Mesir ini datang pada saat ketegangan tinggi terkait kehadiran Israel di sepanjang Koridor Philadelphia. Israel telah lama mempertahankan kehadirannya di wilayah ini, yang menurut Mesir dan beberapa pihak lain, melanggar Perjanjian Camp David. Konflik ini juga menjadi isu utama dalam negosiasi gencatan senjata antara berbagai pihak.

Hamas, yang menguasai Gaza, juga menentang kontrol keamanan Israel atas koridor tersebut, menjadikannya sebagai titik kritis dalam upaya diplomasi dan penyelesaian konflik. Kunjungan Khalifa bisa jadi merupakan langkah simbolis untuk menunjukkan keteguhan Mesir dalam menanggapi isu-isu yang berkaitan dengan keamanan dan kedaulatan nasional.

Implikasi Strategis dan Masa Depan

Langkah Letnan Jenderal Khalifa ini menandai dorongan kuat Mesir dalam mengamankan perbatasan dan menunjukkan komitmen negara tersebut dalam menghadapi tantangan regional. Dengan situasi di Gaza yang terus berkembang dan ketegangan dengan Israel, kunjungan ini dapat mempengaruhi dinamika diplomatik dan strategi keamanan di masa depan.

Kunjungan ini juga menggambarkan bagaimana Mesir, dengan posisi geografis dan strategisnya, berperan sebagai pemain kunci dalam stabilitas kawasan Timur Tengah. Seiring dengan perkembangan situasi di Gaza dan perbatasan, perhatian internasional akan tetap tertuju pada bagaimana negara-negara di kawasan ini menanggapi tantangan dan konflik yang ada.

Hamas: Israel Dituding Sebagai Penyebab Kematian 6 Tawanan

Pejabat tinggi Hamas, Izzat al-Risheq, menyatakan bahwa enam sandera Israel yang ditemukan tewas di sebuah terowongan di wilayah selatan Jalur Gaza pada Sabtu, meninggal akibat serangan udara yang dilancarkan oleh Israel.

Al-Risheq juga menuding Amerika Serikat atas “bias, dukungan, dan kolaborasinya” dalam konflik yang telah berlangsung selama 11 bulan di kawasan yang terkepung tersebut. Salah satu sandera berkewarganegaraan ganda AS-Israel, sementara yang lainnya memegang kewarganegaraan Rusia-Israel.

Menurut laporan dari Al Jazeera, Al-Risheq mengatakan bahwa Hamas lebih peduli terhadap keselamatan para sandera dibandingkan Presiden Biden, menekankan bahwa kelompok tersebut telah menyetujui usulan dan resolusi dari Dewan Keamanan PBB.

Namun, Netanyahu menolak resolusi tersebut, dan pemerintahannya mendukung permintaan perdana menteri, yang menurut Al-Risheq bertujuan untuk menghambat tercapainya kesepakatan demi mempertahankan kekuasaan.

Sementara itu, juru bicara militer Israel, Daniel Hagari, menyampaikan bahwa para anggota Hamas telah membunuh enam sandera dengan brutal sebelum mereka dapat diselamatkan di Rafah.

“Mereka diculik dalam kondisi hidup-hidup pada pagi hari 7 Oktober oleh kelompok teror Hamas,” kata Hagari, dikutip oleh The Times of Israel.

“Jenazah mereka ditemukan selama pertempuran di Rafah, di sebuah terowongan, sekitar satu kilometer dari lokasi di mana Farhan al-Qadi berhasil kami selamatkan beberapa hari sebelumnya,” tambahnya dalam sebuah konferensi pers, merujuk pada sandera Israel yang ditemukan hidup-hidup di Gaza pekan lalu.

Militer Israel kemudian mengonfirmasi melalui pernyataan di platform X bahwa jenazah yang dievakuasi dari Gaza adalah milik enam sandera tersebut.