Jurnalis Palestina yang Meninggal Dunia Setelah Diancam Oleh Pasukan Israel

Gaza — Dunia jurnalisme berduka setelah kabar meninggalnya Hassan Hamad, seorang jurnalis Palestina yang dikenal berani melaporkan kondisi terkini di wilayah konflik. Kepergiannya menyisakan duka mendalam di kalangan rekan-rekannya dan menjadi sorotan internasional terkait perlindungan bagi jurnalis di daerah konflik.

Penyebab Meninggalnya dan Ancaman yang Diterima
Hassan dilaporkan meninggal dunia setelah mengalami serangan jantung akibat tekanan psikologis yang dialaminya setelah menerima ancaman dari pasukan Israel. Sebelum kejadian tragis ini, ia sering mendapatkan intimidasi dan pengawasan ketat saat meliput peristiwa-peristiwa penting, termasuk protes dan serangan militer di Gaza.

Perjuangan Sebagai Jurnalis di Wilayah Konflik
Sebagai jurnalis, Hassan berkomitmen untuk menyampaikan suara rakyat Palestina melalui laporan-laporan yang akurat dan berimbang. Ia percaya bahwa liputan yang baik dapat membantu meningkatkan kesadaran internasional tentang situasi di Gaza. Rekan-rekan Hassan mengingatnya sebagai sosok yang gigih dan penuh dedikasi dalam menjalankan profesinya.

Reaksi dari Komunitas Jurnalis dan Internasional
Kematian Hassan memicu reaksi keras dari komunitas jurnalis dan organisasi hak asasi manusia di seluruh dunia. Banyak yang menyerukan perlindungan lebih baik bagi jurnalis yang meliput di daerah konflik, serta mendesak pemerintah dan organisasi internasional untuk mengecam tindakan kekerasan terhadap media. Mereka menilai perlindungan jurnalis adalah bagian penting dari hak asasi manusia.

Pentingnya Keadilan dan Perlindungan untuk Jurnalis
Kisah Hassan Hamad mengingatkan kita akan risiko yang dihadapi jurnalis di garis depan. Diperlukan upaya kolektif untuk memastikan bahwa jurnalis dapat melaksanakan tugas mereka tanpa rasa takut akan ancaman atau kekerasan. Keadilan bagi Hassan dan jurnalis lainnya menjadi tantangan yang harus dihadapi oleh masyarakat internasional.

Kesimpulan
Kepergian Hassan Hamad bukan hanya kehilangan bagi keluarga dan rekan-rekannya, tetapi juga menjadi panggilan bagi dunia untuk memperhatikan perlindungan jurnalis di daerah konflik. Kesadaran dan tindakan nyata diperlukan agar suara-suara yang berani dan penting tidak sirna begitu saja.

Israel Serbu Masjid Al-Aqsa Puluhan Kali Selama Bulan September

Jerusalem — Ketegangan kembali meningkat di wilayah Palestina setelah laporan menyebutkan bahwa pasukan Israel melakukan serbuan ke Masjid Al-Aqsa puluhan kali selama bulan September. Aksi ini memicu protes di berbagai wilayah dan meningkatkan kekhawatiran akan eskalasi konflik di kawasan tersebut.

Menurut data dari organisasi hak asasi manusia, selama bulan lalu terdapat lebih dari 50 serbuan oleh pasukan keamanan Israel ke kompleks Masjid Al-Aqsa. Serangan ini sering kali terjadi pada saat jam-jam shalat, yang menyebabkan ketegangan antara jamaah Palestina dan pasukan Israel. Banyak jamaah yang terpaksa keluar dari masjid saat serangan berlangsung.

Serbuan tersebut mendapatkan kecaman dari berbagai pihak internasional, termasuk negara-negara anggota Liga Arab dan organisasi-organisasi hak asasi manusia. Mereka menilai tindakan Israel sebagai pelanggaran terhadap hak-hak beribadah umat Muslim. PBB juga menyatakan keprihatinan dan mendesak agar kedua belah pihak menahan diri untuk mencegah meningkatnya ketegangan.

Aksi serbuan ini tidak hanya berdampak pada aspek keagamaan, tetapi juga menciptakan ketidakpastian dan ketakutan di kalangan warga Palestina. Banyak penduduk merasa terancam dan trauma akibat kekerasan yang terjadi. Anak-anak dan remaja di daerah tersebut sangat terpengaruh oleh situasi ini, yang berdampak pada pendidikan dan kesehatan mental mereka.

Para pemimpin Palestina menyerukan perlunya dialog dan pendekatan diplomatik untuk menyelesaikan konflik yang berkepanjangan. Mereka berharap bahwa melalui komunikasi yang konstruktif, ketegangan yang terjadi di Masjid Al-Aqsa dapat diminimalisir dan langkah-langkah menuju perdamaian bisa direalisasikan.

Serbuan ke Masjid Al-Aqsa mencerminkan tantangan besar yang dihadapi dalam mencapai stabilitas di kawasan Timur Tengah, di mana isu-isu keagamaan dan politik saling terkait.

Menantu Pemimpin Hizbullah Tewas Digempur Israel di Damaskus

Damaskus – Serangan udara Israel di ibu kota Suriah, Damaskus, pada Selasa malam, 3 Oktober 2024, menewaskan sejumlah tokoh penting, termasuk menantu dari pemimpin kelompok Hizbullah, Hassan Nasrallah. Serangan ini menargetkan sebuah bangunan yang diduga menjadi tempat persembunyian beberapa anggota senior Hizbullah dan milisi pro-Iran yang aktif di wilayah tersebut.

Menurut laporan media lokal, serangan udara itu terjadi di wilayah selatan Damaskus, yang selama ini dikenal sebagai basis kuat bagi kelompok Hizbullah dan sekutu-sekutunya. Jet-jet tempur Israel dilaporkan melancarkan beberapa serangan bertubi-tubi yang menyebabkan kerusakan parah pada infrastruktur militer dan beberapa bangunan tempat tinggal di sekitarnya. Salah satu korban yang diidentifikasi dalam serangan tersebut adalah menantu Hassan Nasrallah, seorang tokoh penting dalam struktur kepemimpinan Hizbullah.

“Kami mengonfirmasi bahwa serangan udara Israel telah menewaskan sejumlah anggota penting milisi yang menjadi target operasi militer kami,” kata juru bicara militer Israel, yang menambahkan bahwa operasi ini dilakukan sebagai bagian dari upaya untuk mencegah ancaman keamanan dari Hizbullah dan kelompok-kelompok milisi pro-Iran di Suriah.

Kematian menantu Hassan Nasrallah memicu kemarahan di kalangan Hizbullah dan pendukungnya. Pemimpin Hizbullah, Hassan Nasrallah, dalam pernyataannya mengutuk keras serangan tersebut dan menyatakan bahwa tindakan Israel ini merupakan pelanggaran kedaulatan Suriah serta provokasi besar terhadap gerakan perlawanan. “Mereka yang telah mengorbankan nyawanya demi mempertahankan Suriah dan melawan pendudukan Israel tidak akan pernah dilupakan,” kata Nasrallah.

Pemerintah Suriah juga mengeluarkan kecaman resmi atas serangan udara Israel yang dianggap melanggar hukum internasional. “Ini adalah tindakan agresi yang terus berulang dari Israel yang melanggar hak kedaulatan Suriah,” ujar pernyataan resmi Kementerian Luar Negeri Suriah.

Serangan Israel ini diperkirakan akan semakin memperburuk ketegangan di kawasan Timur Tengah, khususnya antara Israel dan Hizbullah yang sudah lama berkonflik. Hizbullah memiliki sejarah panjang bentrokan dengan Israel, dan serangan ini kemungkinan besar akan memicu pembalasan lebih lanjut dari pihak milisi pro-Iran tersebut.

Pengamat internasional juga menyatakan kekhawatiran bahwa serangan ini dapat memicu eskalasi konflik yang lebih luas di kawasan, mengingat posisi strategis Damaskus dan keterlibatan berbagai kelompok milisi di wilayah tersebut. Israel telah berulang kali menyatakan bahwa mereka akan terus melancarkan serangan ke target-target di Suriah yang mereka anggap sebagai ancaman keamanan.

Dengan tewasnya menantu Nasrallah, situasi di perbatasan Lebanon-Israel kemungkinan akan semakin tegang. Para ahli memperkirakan Hizbullah dapat merespons serangan ini dengan memperkuat operasinya di Lebanon dan Suriah, meningkatkan risiko bentrokan militer yang lebih besar antara kedua pihak.

Meski situasi di Timur Tengah tetap tak terprediksi, banyak yang menantikan respons resmi dari Hizbullah dalam beberapa hari ke depan, yang diperkirakan akan memainkan peran penting dalam menentukan arah eskalasi konflik di kawasan tersebut.

3 Pemimpin Militan Palestina Tewas Dalam Sebuah Serangan Israel Di Beirut

Pada 30 September 2024, tiga pemimpin militan Palestina tewas dalam serangan udara yang dilancarkan oleh Israel di kota Beirut, Lebanon. Serangan ini menargetkan sebuah bangunan di wilayah selatan Beirut yang diduga menjadi tempat persembunyian para pemimpin kelompok militan. Menurut laporan otoritas setempat, serangan tersebut menimbulkan kerusakan besar di area sekitarnya dan menewaskan para pemimpin senior dari faksi militan yang selama ini terlibat dalam perlawanan terhadap Israel.

Para pemimpin militan yang tewas dilaporkan berasal dari kelompok faksi yang berafiliasi dengan Hamas dan Jihad Islam. Mereka dianggap sebagai otak di balik berbagai serangan roket dan operasi militer terhadap Israel dari wilayah Lebanon dan Gaza. Israel telah lama menargetkan kelompok-kelompok ini dalam rangka melemahkan kemampuan militer mereka dan mencegah eskalasi konflik lebih lanjut di kawasan. Identitas ketiga pemimpin tersebut belum dirilis secara resmi, namun mereka diyakini memainkan peran strategis dalam koordinasi serangan lintas batas.

Serangan ini memicu kecaman keras dari faksi-faksi Palestina dan otoritas Lebanon. Hamas dan Jihad Islam mengutuk serangan tersebut dan menyatakan bahwa pembunuhan terhadap pemimpin mereka tidak akan menghentikan perjuangan mereka melawan pendudukan Israel. Di sisi lain, pemerintah Lebanon mengecam pelanggaran kedaulatan negara mereka oleh Israel dan menuntut tanggapan dari komunitas internasional atas tindakan tersebut. Sementara itu, ketegangan di wilayah perbatasan Israel dan Lebanon semakin meningkat, dengan kekhawatiran akan adanya pembalasan dari kelompok militan.

Pasca serangan ini, situasi di wilayah Timur Tengah semakin memanas. Banyak pihak yang khawatir bahwa kematian tiga pemimpin militan ini akan memicu serangan balasan yang lebih besar, baik dari wilayah Gaza maupun dari kelompok-kelompok militan yang berbasis di Lebanon. Konflik yang berkepanjangan ini terus memperburuk kondisi kemanusiaan di kawasan, dengan masyarakat sipil yang menjadi korban utama di tengah ketegangan yang terus meningkat.

AS Mengaku Tak Terlibat Serangan Besar-Besaran Israel Di Markas Hizbullah

Washington, 28 September 2024 — Pemerintah Amerika Serikat mengeluarkan pernyataan resmi mengenai serangan besar-besaran yang dilancarkan Israel terhadap markas Hizbullah di Lebanon. AS menegaskan bahwa mereka tidak terlibat dalam operasi militer tersebut, meskipun ketegangan antara Israel dan kelompok bersenjata meningkat.

Latar Belakang Serangan

Serangan ini dilaporkan terjadi pada dini hari, dengan tujuan menghancurkan fasilitas yang diduga digunakan oleh Hizbullah untuk menyimpan senjata dan melakukan aktivitas militer. Israel menyatakan bahwa tindakan ini sebagai langkah untuk melindungi diri dari ancaman yang semakin mendekat, mengingat peningkatan aktivitas militer Hizbullah di perbatasan.

Respons Internasional dan Regional

Pernyataan dari AS memicu berbagai reaksi di komunitas internasional. Banyak negara mengecam kekerasan yang terus berlanjut di wilayah tersebut, dan menyerukan deeskalasi untuk mencegah konflik yang lebih luas. Beberapa analis politik memperingatkan bahwa serangan ini dapat memicu ketegangan lebih lanjut antara Israel dan negara-negara tetangga.

Kekhawatiran akan Stabilitas Regional

Kekhawatiran akan dampak serangan ini terhadap stabilitas regional semakin meningkat. Negara-negara Arab dan komunitas internasional khawatir bahwa tindakan militer semacam ini dapat mengakibatkan siklus kekerasan yang berkepanjangan dan mengganggu upaya perdamaian yang telah dilakukan sebelumnya.

Peran AS di Timur Tengah

Dalam konteks ini, AS juga diingatkan akan perannya sebagai mediator di Timur Tengah. Beberapa pihak menyerukan agar AS mengambil langkah lebih proaktif dalam meredakan ketegangan dan mendorong dialog antara pihak-pihak yang bertikai. Dengan situasi yang semakin rumit, keberhasilan diplomasi AS sangat diperlukan untuk mencegah eskalasi lebih lanjut di wilayah yang sudah rawan konflik ini.

Israel Larang Azan Di Masjid Ibrahimi 8 Hari Berturut-Turut

Pada 25 September 2024, dilaporkan bahwa otoritas Israel melarang azan di Masjid Ibrahimi, Hebron, Tepi Barat, selama 8 hari berturut-turut. Larangan ini menimbulkan protes keras dari warga Palestina dan organisasi internasional yang menganggap tindakan tersebut sebagai pelanggaran kebebasan beribadah. Masjid Ibrahimi adalah salah satu situs suci umat Islam yang memiliki nilai sejarah dan religius yang tinggi, namun sering kali menjadi pusat ketegangan antara Israel dan Palestina.

Alasan di Balik Larangan Azan

Menurut laporan media setempat, larangan azan ini diterapkan sebagai bagian dari pengamanan terhadap perayaan keagamaan Yahudi yang berlangsung di sekitar Masjid Ibrahimi. Otoritas Israel mengklaim bahwa pembatasan tersebut dilakukan untuk menjaga ketertiban dan keamanan selama periode perayaan. Namun, tindakan ini dianggap berlebihan oleh pihak Palestina, yang menuduh Israel melakukan diskriminasi dan mencederai hak-hak umat Islam untuk menjalankan ibadah mereka.

Reaksi dari Warga Palestina dan Tokoh Agama

Keputusan Israel untuk melarang azan selama delapan hari ini memicu kemarahan di kalangan warga Palestina. Banyak yang melihat larangan ini sebagai bagian dari upaya Israel untuk memperkuat kendali atas tempat-tempat suci di wilayah yang diduduki. “Ini adalah serangan terhadap identitas dan kebebasan beribadah kami,” kata salah satu imam masjid setempat. Demonstrasi kecil juga dilaporkan terjadi di beberapa bagian Hebron sebagai bentuk protes terhadap larangan tersebut.

Kecaman dari Organisasi Internasional

Selain dari pihak Palestina, organisasi internasional seperti UNESCO dan beberapa kelompok hak asasi manusia juga mengutuk tindakan Israel ini. Mereka menilai bahwa pembatasan kebebasan beragama di situs bersejarah seperti Masjid Ibrahimi adalah pelanggaran serius terhadap hukum internasional. UNESCO, yang telah menjadikan Masjid Ibrahimi sebagai situs warisan dunia, menuntut Israel untuk segera mencabut larangan tersebut dan menghormati kebebasan beribadah.

Meningkatnya Ketegangan di Hebron

Larangan azan ini semakin memperuncing ketegangan di Hebron, yang sudah menjadi salah satu wilayah dengan konflik paling sengit di Tepi Barat. Hebron, yang dihuni oleh penduduk Yahudi dan Palestina, kerap menjadi lokasi bentrokan antara kedua pihak. Dengan larangan azan ini, banyak yang khawatir bahwa konflik di Hebron akan semakin memanas, memicu ketidakstabilan lebih lanjut di wilayah tersebut.

Tindakan Israel ini diharapkan segera ditinjau ulang demi menjaga kedamaian dan menghormati hak-hak beragama di kawasan yang penuh ketegangan ini.

Brigade Al-Qassam Lancarkan Serangan dari Lebanon, Israel Dilanda Kepungan Rudal

Al-Qassam – Situasi konflik antara Israel dan kelompok perlawanan semakin tidak terkendali. Pada Senin, 23 September 2024, Brigade Al-Qassam, sayap militer Hamas, mengumumkan serangan besar-besaran terhadap Israel dari wilayah Lebanon. Serangan ini berbeda dari biasanya, karena rudal-rudal Al-Qassam kali ini tidak diluncurkan dari Jalur Gaza, melainkan dari perbatasan Lebanon, sebuah strategi yang menunjukkan persahabatan yang lebih luas dalam konflik ini.

Dalam serangan terbaru ini, Al-Qassam menargetkan wilayah utara Israel dengan 40 rudal. Langkah ini dinilai sebagai balasan terhadap agresi militer Israel yang sebelumnya melancarkan operasi besar di Lebanon, meremehkan ribuan warga sipil. Meningkatnya eskalasi konflik ini menandakan bahwa Palestina dan Lebanon tidak lagi berperang secara terpisah, tetapi menunjukkan kekuatan gabungan di bawah slogan “Unity of Squares”, atau Persatuan Medan Tempur.

Respon Keras dari Hizbullah

Selain serangan dari Brigade Al-Qassam, kelompok perlawanan Lebanon, Hizbullah, juga ikut dalam serangan ini. Mereka meluncurkan serangkaian roket ke pangkalan militer Israel di utara, termasuk markas Korps Utara dan Divisi Galilea, serta gudang logistik di wilayah Zevulun, utara Haifa. Hizbullah juga mengklaim bahwa mereka berhasil menargetkan barak Yoav, markas batalyon rudal dan artileri Israel, dengan puluhan roket.

Serangan yang dilancarkan oleh Hizbullah ini menambah intensitas perang yang berkecamuk di wilayah Lebanon dan Israel. Israel membalas dengan serangan balasan ke beberapa lokasi strategi di Lebanon, namun serangan-serangan ini dinilai belum berhasil menghentikan arus rudal dari wilayah tersebut.

Strategi Penyergapan Al-Qassam

Brigade Al-Qassam menambahkan bahwa pejuangnya berhasil melakukan penyergapan yang telah dipersiapkan secara matang terhadap konvoi militer Israel di dekat Rafah. Mereka berhasil menghancurkan beberapa kendaraan militer Israel, termasuk tiga buldoser militer D9 dan dua tank Merkava. Serangan ini dilakukan dengan menggunakan peluru kendali Al-Yassin 105 dan alat peledak gerilya.

Dalam pernyataan resminya, Brigade Al-Quds yang merupakan sayap militer Jihad Islam Palestina, juga meminta keterlibatannya dalam serangan ini. Mereka bekerja sama dengan kelompok Pasukan Martir Omar Al-Qasim untuk mengebom pasukan dan kendaraan militer Israel dengan mortir kaliber berat, menampilkan koordinasi yang semakin kuat di antara perlawanan kelompok-kelompok ini.

Kecemasan Internasional

Eskalasi ini menimbulkan kekhawatiran internasional, terutama terkait dengan dampak perang yang semakin meluas di kawasan tersebut. Serangan Israel di Lebanon telah memakan banyak korban jiwa, terutama di kalangan warga sipil, dan serangan balasan dari kelompok perlawanan semakin mengirimkan situasi. Organisasi internasional telah mengungkapkan gencatan senjata dan dialog, namun hingga saat ini, kedua belah pihak tampaknya tidak menunjukkan tanda-tanda akan meredakan ketegangan.

Konflik yang berkepanjangan ini bukan hanya pertarungan kekuatan militer, namun juga simbol perjuangan politik dan ideologi yang telah berlangsung selama beberapa dekade. Dengan keterlibatan berbagai kelompok dari Gaza hingga Lebanon, perang ini diprediksi akan semakin memanas dan melibatkan lebih banyak aktor regional di masa mendatang.

Kesimpulan

Serangan terbaru dari Brigade Al-Qassam dan Hizbullah ini menunjukkan bahwa medan perang di Timur Tengah kini semakin kompleks dan melibatkan banyak pihak. Israel menghadapi tantangan besar dalam menghadapi serangan dari berbagai arah, baik dari Jalur Gaza maupun perbatasan Lebanon. Sementara itu, perlawanan kelompok nampaknya semakin solid dalam menghadapi agresi militer Israel, menampilkan persatuan yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Dalam situasi yang penuh ketegangan ini, perdamaian tampaknya masih jauh dari jangkauan, dengan semakin banyak pihak yang terlibat dalam konflik ini. Organisasi internasional dan negara-negara besar di dunia perlu segera mengambil langkah diplomatis agar krisis ini tidak semakin meluas dan membawa dampak yang lebih dahsyat di kawasan tersebut.

PM Lebanon Desak Masyarakat Internasional Bersikap Tegas Kepada Israel

Pada 23 September 2024, Perdana Menteri Lebanon, Najib Mikati, mengeluarkan pernyataan mendesak masyarakat internasional untuk bersikap lebih tegas terhadap Israel terkait meningkatnya ketegangan di perbatasan kedua negara. Mikati menekankan bahwa tindakan Israel yang agresif terus mengancam keamanan regional dan merusak upaya perdamaian di Timur Tengah. Dalam pernyataannya, ia menyerukan intervensi internasional untuk menghentikan pelanggaran terhadap kedaulatan Lebanon.

Ketegangan Meningkat di Perbatasan Lebanon-Israel

Pernyataan ini muncul setelah beberapa insiden di perbatasan yang melibatkan serangan udara Israel dan tembakan balasan dari kelompok milisi Hizbullah yang berbasis di Lebanon. Kedua pihak terlibat dalam bentrokan yang semakin sering terjadi, memperburuk situasi keamanan di kawasan tersebut. Mikati menuding Israel melakukan pelanggaran wilayah udara dan mengklaim serangan-serangan tersebut sebagai tindakan yang tidak beralasan.

Lebanon Menyuarakan Dukungan Terhadap Palestina

Selain mengecam tindakan Israel di perbatasan, Mikati juga menyatakan dukungan penuh Lebanon terhadap perjuangan Palestina. Dia menyebutkan bahwa konflik yang terjadi di wilayah perbatasan adalah bagian dari upaya Israel untuk memperluas pengaruhnya dan menindas rakyat Palestina. PM Lebanon juga menekankan bahwa perdamaian hanya bisa tercapai jika hak-hak Palestina dihormati dan Israel menghentikan kebijakan-kebijakan ekspansifnya.

Desakan PM Lebanon kepada PBB dan Uni Eropa

Mikati mendesak Dewan Keamanan PBB dan Uni Eropa untuk mengambil tindakan segera guna menekan Israel agar menghentikan serangan militer dan mematuhi resolusi-resolusi internasional yang ada. Dia juga meminta adanya langkah-langkah diplomatik yang lebih kuat dari negara-negara besar untuk menjamin stabilitas di Timur Tengah. Mikati menilai bahwa tanggapan internasional selama ini masih belum cukup untuk mengatasi krisis yang berlangsung.

Masyarakat Lebanon Dukung Sikap Tegas PM Mikati

Di dalam negeri, sikap tegas PM Mikati mendapat dukungan luas dari berbagai kalangan, termasuk partai-partai politik dan kelompok masyarakat sipil. Mereka melihat pernyataan ini sebagai langkah penting untuk menunjukkan solidaritas terhadap Palestina serta menjaga kedaulatan Lebanon dari ancaman Israel. Demonstrasi dukungan terhadap Palestina dan kecaman terhadap Israel juga semakin sering terjadi di berbagai kota di Lebanon.

Kesimpulan: Lebanon Minta Tindakan Konkret Internasional

Dengan situasi yang semakin panas di perbatasan, desakan PM Mikati untuk tindakan internasional yang tegas terhadap Israel menjadi semakin relevan. Lebanon berharap adanya langkah konkret dari PBB dan negara-negara besar untuk menghentikan ketegangan dan menciptakan perdamaian di kawasan. Sementara itu, konflik antara Lebanon dan Israel tampaknya masih akan berlanjut tanpa solusi diplomatik yang segera.

Lebanon Tuntut Penangkapan Netanyahu & Menhan Gallant Di Pengadilan Internasional

Pada 21 September 2024, Lebanon secara resmi mengajukan tuntutan penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan Yoav Gallant di Pengadilan Kriminal Internasional (ICC). Pemerintah Lebanon menuduh keduanya bertanggung jawab atas berbagai serangan militer yang dilakukan Israel di wilayah Lebanon, yang disebut sebagai pelanggaran hukum internasional dan hak asasi manusia.

Tudingan Pelanggaran Hukum Humaniter Internasional

Lebanon menyatakan bahwa serangan udara Israel yang dilakukan sejak pertengahan 2024 telah menewaskan banyak warga sipil, menghancurkan infrastruktur vital, serta memicu krisis kemanusiaan di beberapa wilayah. Tindakan ini dianggap melanggar hukum humaniter internasional, termasuk Konvensi Jenewa yang melindungi warga sipil dalam situasi konflik. Tuntutan Lebanon didukung oleh sejumlah negara dan organisasi HAM internasional yang mengutuk tindakan militer tersebut.

Netanyahu dan Gallant Dituduh Bertanggung Jawab Langsung

Dalam dokumen tuntutan yang diajukan ke ICC, Lebanon menuduh Netanyahu dan Gallant bertanggung jawab secara langsung atas keputusan-keputusan militer yang menyebabkan kerusakan besar dan kematian di Lebanon. Pemerintah Lebanon juga menyoroti penggunaan senjata-senjata yang dilarang oleh hukum internasional, seperti bom fosfor, yang diduga digunakan oleh militer Israel dalam beberapa serangan.

Dukungan Internasional Terhadap Langkah Lebanon

Beberapa negara di Timur Tengah, serta organisasi non-pemerintah internasional, telah menyatakan dukungan mereka terhadap langkah Lebanon di Pengadilan Kriminal Internasional. Mereka menegaskan pentingnya menegakkan keadilan bagi para korban serangan militer dan meminta agar Israel bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan selama operasi militernya. Langkah ini dipandang sebagai simbol perlawanan diplomatik terhadap kekuatan militer Israel di kawasan.

Israel Menolak Tuntutan dan Mengkritik Lebanon

Di sisi lain, Israel menolak tuduhan tersebut dan menyebutnya sebagai upaya untuk mencemarkan nama baik negara dan pemimpinnya. Netanyahu dan Gallant menyatakan bahwa operasi militer di Lebanon dilakukan untuk mempertahankan diri dari serangan kelompok Hizbullah yang didukung oleh Iran, dan bahwa Israel tidak melakukan pelanggaran hukum internasional. Israel juga mengkritik langkah Lebanon sebagai tidak berdasar dan politis.

Inggris Teguh Pertahankan Pasokan Komponen Jet Tempur F-35 ke Israel Meski Digunakan di Gaza

LONDON – Perdana Menteri Inggris, Keir Starmer, menghadapi tekanan internasional setelah menolak untuk menghentikan pasokan komponen jet tempur F-35 ke Israel, meskipun jet tempur tersebut telah digunakan dalam serangan terhadap Gaza. Keputusan ini menimbulkan kontroversi di tengah seruan untuk menghentikan dukungan militer Inggris kepada Israel.

Dalam sesi Parlemen pada hari Rabu, Brendan O’Hara, anggota Parlemen dari Partai Nasional Skotlandia, mengkritik keputusan pemerintah Inggris. O’Hara menekankan bahwa penggunaan jet tempur F-35, yang disuplai oleh Inggris, untuk menjatuhkan bom berat di daerah padat penduduk adalah pelanggaran hukum internasional. “Menjatuhkan bom seberat 2.000 pon di area sipil adalah tindakan kejahatan. Israel jelas menggunakan F-35 dalam operasi tersebut,” katanya.

Perdebatan Hukum Internasional dan Kebijakan Pemerintah

O’Hara menyoroti bahwa pemerintah Inggris telah memilih untuk mengecualikan komponen F-35 dari penangguhan lisensi senjata yang diberlakukan pada 2 September. Penangguhan tersebut mencakup 30 dari 350 lisensi ekspor senjata ke Israel, namun tidak termasuk komponen jet tempur F-35. “Pemerintah seharusnya mengatakan bahwa Israel tidak dapat menjadi pengguna akhir komponen buatan Inggris,” tegasnya.

Menanggapi kritik ini, Perdana Menteri Starmer menegaskan bahwa keputusan pemerintah masih mematuhi hukum internasional. “Kami telah mengemukakan alasan kami dengan jelas, dan saya yakin semua anggota Parlemen yang berpikiran adil akan memahami keputusan ini,” ujar Starmer. Ia menambahkan bahwa prioritas saat ini adalah mendukung gencatan senjata dan memastikan bantuan kemanusiaan sampai ke Gaza.

Diskusi dengan AS dan Upaya Humaniter

Starmer juga menyebutkan bahwa ia akan membahas isu ini dengan Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, pada hari Jumat mendatang. Starmer berkomitmen untuk terus bekerja menuju solusi dua negara sebagai jalan menuju perdamaian yang berkelanjutan. “Kami berupaya keras agar sandera di Gaza dapat dibebaskan dan bantuan kemanusiaan dapat diterima,” tambahnya.

Keputusan pemerintah Inggris untuk tidak menangguhkan ekspor komponen F-35 menjadi sorotan publik dan internasional. Beberapa pihak merasa bahwa keputusan ini mencerminkan dilema antara menjaga hubungan militer strategis dengan Israel dan tanggung jawab moral serta hukum internasional.