Trump Frustrasi dengan Gencatan Senjata Israel-Hamas setelah Melihat Kondisi Sandera

Donald Trump merasa frustrasi dengan kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Hamas setelah menyaksikan rekaman kondisi fisik sandera Israel yang sangat kekurangan gizi pasca-pembebasan mereka. Ia membandingkan kondisi mereka dengan para penyintas Holocaust, menyiratkan bahwa Amerika Serikat bisa segera kehilangan kesabaran dengan perjanjian ini.

Trump mengacu pada tiga sandera Israel—Ohad Ben Ami, Eli Sharabi, dan Or Levy—yang dibebaskan pada 8 Februari 2025, sebagai bagian dari kesepakatan gencatan senjata antara Hamas dan Israel. Ia mengungkapkan kekhawatirannya atas kondisi mereka yang tampak sangat lemah dan kurus, bahkan lebih buruk daripada sandera lain yang telah dibebaskan sebelumnya.

Presiden AS tersebut juga menegaskan kembali komitmennya untuk memastikan kontrol AS atas Gaza, dengan menekankan bahwa wilayah tersebut harus dipulihkan dan dikendalikan dengan tujuan agar Hamas mundur.

Iran: Israel Gagal di Medan Perang, Terpaksa Berunding dengan Hamas

Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, menegaskan bahwa Israel tidak berhasil mencapai satu pun dari tujuan militernya selama agresi di Jalur Gaza yang telah berlangsung selama 16 bulan. Ia juga menyoroti bagaimana rezim Zionis akhirnya terpaksa berunding dengan kelompok pejuang Palestina, Hamas.

Pernyataan ini disampaikan Araghchi dalam konferensi bertajuk “Badai Al-Aqsa dan Gaza: Realitas dan Narasi” yang digelar di Teheran pada Selasa (4/2). Dalam kesempatan tersebut, ia menekankan pentingnya narasi dalam kebijakan luar negeri, khususnya dalam konflik Palestina-Israel.

Peran Diplomasi, Media, dan Operasi Lapangan

Araghchi menjelaskan bahwa diplomasi dan operasi lapangan merupakan dua aspek yang tidak bisa dipisahkan dan harus berjalan secara terpadu. Ia juga menegaskan bahwa media memiliki pengaruh besar dalam membentuk persepsi publik terhadap konflik yang terjadi.

“Kita bisa saja menang dalam diplomasi maupun pertempuran di lapangan, tetapi jika kita gagal dalam perang media, maka kemenangan itu bisa berubah menjadi kekalahan. Begitu juga sebaliknya,” ujarnya, dikutip dari kantor berita IRNA.

Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa selama bertugas di Kementerian Luar Negeri Iran, pihaknya selalu mengoordinasikan strategi diplomasi dan operasi lapangan dengan baik.

“Diplomasi kami adalah bagian dari pertempuran di lapangan, begitu pula sebaliknya. Media juga menjadi bagian penting dalam perjuangan ini,” tambahnya.

Perlawanan Palestina dan Kegagalan Israel di Gaza

Araghchi menyoroti Operasi Badai Al-Aqsa yang dilakukan oleh kelompok perlawanan Palestina, yang menurutnya menjadi bukti bahwa Israel tidak mampu mencapai tujuannya di Gaza. Ia menegaskan bahwa perlawanan di Palestina bukan sekadar perjuangan militer, tetapi sebuah gerakan ideologis yang tidak dapat dihancurkan hanya dengan serangan udara atau kekerasan.

“Perlawanan adalah sebuah cita-cita dan sekolah pemikiran yang tidak bisa diberantas hanya dengan bom atau senjata,” katanya. “Senjata utama perlawanan bukanlah persenjataan konvensional, melainkan semangat pengorbanan para pejuangnya.”

Israel Dipaksa Berunding dengan Hamas

Araghchi juga menyoroti bahwa setelah 16 bulan melakukan serangan terhadap Gaza, Israel di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu akhirnya harus bernegosiasi dengan Hamas.

Selain itu, ia juga menyinggung tekanan yang dihadapi oleh Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) dalam menyelidiki dugaan kejahatan perang yang dilakukan oleh Israel. Araghchi menekankan bahwa upaya diplomasi terus dilakukan agar dunia internasional mengakui pelanggaran hukum yang terjadi di Gaza.

Konflik di Jalur Gaza masih berlangsung dan terus menjadi sorotan dunia, dengan berbagai pihak menyerukan gencatan senjata dan solusi damai.

Reaksi Negara-Negara Timur Tengah Atas Gencatan Senjata Israel-Hamas

Kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Hamas mendapatkan respons beragam dari negara-negara di Timur Tengah, termasuk Arab Saudi, Turki, dan Uni Emirat Arab (UEA). Kesepakatan ini diharapkan dapat menghentikan konflik berkepanjangan yang telah menyebabkan penderitaan besar bagi warga Gaza.

Kementerian Luar Negeri Arab Saudi menyambut baik gencatan senjata ini dan menekankan pentingnya mematuhi perjanjian tersebut. Mereka menyerukan penghentian agresi Israel di Gaza serta penarikan penuh pasukan pendudukan dari semua wilayah Palestina. Pernyataan ini menunjukkan komitmen Saudi untuk mendukung perjuangan Palestina dan mengakhiri kekerasan yang telah berlangsung lama di kawasan tersebut.

Turki juga memberikan dukungan terhadap gencatan senjata ini. Presiden Recep Tayyip Erdoğan menyatakan bahwa langkah ini merupakan kesempatan untuk mengakhiri penderitaan rakyat Palestina dan memperbaiki kondisi kemanusiaan di Gaza. Turki berjanji akan terus memberikan bantuan kemanusiaan kepada warga Gaza dan mendukung upaya diplomatik untuk mencapai perdamaian yang berkelanjutan di wilayah tersebut.

Sementara itu, UEA menyatakan bahwa mereka mendukung setiap upaya yang bertujuan untuk mengakhiri konflik dan memulihkan stabilitas di kawasan. Mereka menekankan pentingnya dialog antara pihak-pihak yang terlibat untuk mencapai solusi damai yang adil bagi semua pihak. UEA juga mengingatkan bahwa bantuan kemanusiaan harus segera disalurkan ke Gaza untuk membantu masyarakat yang terdampak.

Gencatan senjata ini tidak hanya menjadi harapan bagi warga Gaza, tetapi juga menjadi momentum bagi negara-negara Arab untuk bersatu dalam mendukung Palestina. Dengan adanya dukungan dari negara-negara besar seperti Saudi, Turki, dan UEA, diharapkan proses perdamaian dapat berjalan lebih lancar dan efektif.

Dengan berbagai reaksi positif dari negara-negara Timur Tengah, gencatan senjata ini memberikan harapan baru bagi rakyat Palestina setelah bertahun-tahun konflik. Namun, tantangan besar masih ada dalam implementasi kesepakatan ini. Semua pihak diharapkan dapat bekerja sama untuk memastikan bahwa gencatan senjata ini tidak hanya bersifat sementara, tetapi juga menjadi langkah awal menuju perdamaian yang lebih permanen di kawasan yang telah lama dilanda konflik.

Meski Ada Gencatan Senjata, Pengungsi Israel Masih Enggan Pulang

Meski kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Hizbullah telah diberlakukan sejak Rabu (27/11), ribuan warga Israel yang mengungsi akibat konflik masih menolak untuk kembali ke rumah mereka. Situasi yang masih dinilai tidak sepenuhnya aman membuat banyak dari mereka enggan mengambil risiko.

Rakhel Revach, salah seorang pengungsi, mengungkapkan bahwa ia belum merasa cukup aman untuk kembali. Dalam kunjungannya singkat ke Israel untuk mengambil barang-barang pribadi, ia menegaskan bahwa jaminan keamanan menjadi syarat utama baginya untuk pulang.

“Saya tidak akan kembali tinggal di sana jika keamanan belum sepenuhnya terjamin. Selama masih ada ledakan dan keberadaan tentara, saya tidak mau pulang,” ujar Revach, seperti dilaporkan oleh France 24 pada Minggu (1/12).

Ribuan Warga Tetap Mengungsi

Revach adalah satu dari lebih dari 60 ribu warga Israel yang memilih tetap mengungsi meskipun konflik telah mereda. Sebaliknya, hampir 900 ribu warga sipil Lebanon yang sebelumnya mengungsi telah mulai kembali ke rumah mereka setelah kesepakatan gencatan senjata tercapai.

Warga berusia 57 tahun itu tinggal di Kiryat Shmona, sebuah kota di Israel utara yang terkena dampak besar akibat konflik dengan Hizbullah. Serangan yang terjadi selama konflik menyebabkan kerusakan parah, termasuk jendela pecah, tembok runtuh, dan kendaraan terbakar.

Zona Militer Tertutup

Juru bicara pemerintah Kiryat Shmona, Doron Shnaper, menyebutkan bahwa banyak penduduk daerah tersebut enggan kembali ke rumah mereka. Kota itu sebelumnya telah dinyatakan sebagai zona militer tertutup, membuatnya tidak aman untuk dihuni oleh warga sipil.

“Mereka tidak akan kembali sampai perang benar-benar dinyatakan berakhir,” ujar Shnaper.

Gencatan Senjata dan Upaya Stabilitas

Gencatan senjata antara Israel dan Hizbullah dimediasi oleh Amerika Serikat dan Prancis. Perjanjian ini mengatur bahwa tentara Lebanon akan dikerahkan di sepanjang perbatasan selatan, dibantu oleh pasukan penjaga perdamaian PBB.

Sebagai bagian dari kesepakatan, pasukan Israel juga akan secara bertahap menarik diri dari Lebanon selatan dalam kurun waktu 60 hari.

Sekretaris Jenderal Hizbullah, Naim Qassem, menyatakan bahwa pihaknya akan bekerja sama dengan tentara Lebanon untuk memastikan perjanjian gencatan senjata berjalan lancar.

“Kami akan bekerja sama untuk meningkatkan kapasitas pertahanan Lebanon dan mencegah musuh (Israel) memanfaatkan kelemahan kami,” ujar Qassem dalam pidato publiknya, seperti dilaporkan oleh Al Jazeera.

Harapan Perdamaian

Meskipun gencatan senjata telah disepakati, ketegangan yang masih tersisa membuat warga kedua negara tetap waspada. Baik Israel maupun Hizbullah diharapkan dapat memanfaatkan momen ini untuk menjaga stabilitas kawasan dan menghindari eskalasi konflik lebih lanjut.

Palestina Kritik Pembela Penjahat Perang Israel Sebagai Cerminan Rasisme Ekstrem

Pemerintah Palestina baru-baru ini mengecam pernyataan beberapa pihak yang membela tindakan tentara Israel dalam konfrontasi terbaru dengan Palestina. Palestina menilai pembelaan tersebut sebagai cerminan dari fenomena rasial ekstrem yang merugikan dan memperburuk ketegangan yang sudah ada di kawasan tersebut. Dalam pernyataan resmi yang dikeluarkan, mereka menegaskan bahwa perilaku kekerasan yang dilakukan oleh beberapa individu Israel dalam konflik yang berlangsung dapat digolongkan sebagai kejahatan perang.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Palestina menegaskan bahwa pembelaan terhadap individu-individu yang terlibat dalam tindakan kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia memperburuk kondisi perdamaian yang sudah sangat rapuh di Timur Tengah. Menurut Palestina, tindakan tersebut semakin memperjelas adanya sikap rasis dan ekstrem yang berkembang di dalam negara Israel, yang turut memicu ketegangan yang berkepanjangan. Pembelaan terhadap tentara yang terlibat dalam pelanggaran ini, kata mereka, tidak hanya menunjukkan ketidakpedulian terhadap prinsip-prinsip kemanusiaan, tetapi juga memperburuk potensi perdamaian di masa depan.

Isu rasial dalam konflik Israel-Palestina memang telah lama menjadi topik yang sangat sensitif. Palestina berpendapat bahwa ada kecenderungan untuk mengabaikan hak-hak mereka sebagai bangsa yang dijajah, sementara pihak-pihak tertentu di Israel seringkali melakukan pembenaran atas kekerasan yang terjadi terhadap warga Palestina. Dalam banyak kasus, pengadilan dan tindakan hukum terhadap pelanggaran hak asasi manusia oleh pihak Israel sering dianggap tidak adil dan tidak transparan. Keadaan ini memperburuk ketidakpercayaan dan meningkatkan ketegangan antara kedua belah pihak.

Pemerintah Palestina mendesak Israel untuk segera mengusut dan mengambil tindakan tegas terhadap individu-individu yang terbukti melakukan kejahatan perang atau pelanggaran hak asasi manusia selama konflik. Mereka meminta komunitas internasional untuk tidak lagi membiarkan pembelaan terhadap penjahat perang yang dapat merusak upaya perdamaian. Palestina juga menginginkan adanya pengakuan internasional yang lebih besar terhadap hak mereka untuk hidup dalam kedamaian dan tanpa penindasan.

Pernyataan Palestina mengenai pembelaan terhadap penjahat perang Israel mencerminkan keprihatinan besar terhadap situasi kemanusiaan di wilayah tersebut. Mereka menganggap bahwa rasime dan pembelaan terhadap kekerasan ini hanya akan memperburuk ketegangan yang sudah ada dan menghambat upaya-upaya perdamaian di masa depan. Diharapkan dengan desakan tersebut, lebih banyak pihak akan terlibat dalam mendesak penyelesaian damai yang lebih adil di Timur Tengah.

Starbucks Hadapi Dampak Boikot Anti-Israel Di Malaysia

Pada 23 November 2024, Starbucks mengumumkan penutupan 50 gerai di Malaysia sebagai dampak dari maraknya kampanye boikot anti-Israel yang berlangsung di negara tersebut. Boikot ini dipicu oleh ketegangan politik yang semakin intens terkait konflik Israel-Palestina, yang membuat sejumlah konsumen di Malaysia menghindari produk dari perusahaan-perusahaan yang dianggap memiliki hubungan dengan Israel. Starbucks, yang sebelumnya menjadi salah satu merek internasional yang cukup populer di Malaysia, kini harus menghadapi dampak sosial dan politik tersebut.

Starbucks menyatakan bahwa penutupan gerai-gerai tersebut disebabkan oleh penurunan signifikan dalam jumlah pengunjung akibat boikot yang berlangsung. Selain itu, perusahaan juga mengonfirmasi bahwa keputusan ini merupakan bagian dari evaluasi bisnis yang mempertimbangkan berbagai faktor sosial dan ekonomi yang terjadi di pasar Malaysia. Meski demikian, pihak Starbucks menekankan bahwa keputusan ini tidak terkait dengan kebijakan politik perusahaan, melainkan lebih pada kebutuhan untuk menyesuaikan operasional dengan kondisi pasar yang ada.

Kampanye boikot anti-Israel yang terjadi di Malaysia sudah berlangsung beberapa bulan, setelah pernyataan politik yang dianggap mendukung kebijakan Israel terhadap Palestina. Aktivis di Malaysia mendorong warga untuk menghindari produk dari perusahaan-perusahaan yang terlibat dengan Israel, termasuk Starbucks. Kampanye ini menyebar dengan cepat melalui media sosial dan berdampak pada sejumlah merek internasional yang beroperasi di negara tersebut.

Pihak Starbucks mengungkapkan bahwa mereka berkomitmen untuk tetap mendukung keberagaman dan inklusivitas, serta menghormati berbagai pandangan yang ada di setiap negara tempat mereka beroperasi. Meskipun demikian, perusahaan menegaskan bahwa mereka tidak akan terlibat dalam politik domestik negara manapun, dan penutupan gerai ini merupakan langkah yang diambil berdasarkan dinamika pasar dan preferensi konsumen setempat.

Dengan penutupan 50 gerai di Malaysia, Starbucks dihadapkan pada tantangan besar untuk mempertahankan citranya sebagai perusahaan yang inklusif dan berorientasi pada pelanggan. Namun, langkah ini juga membuka peluang bagi perusahaan untuk mengevaluasi strategi bisnisnya di pasar Asia Tenggara, dengan mempertimbangkan dinamika sosial dan politik yang semakin kompleks. Starbucks berharap dapat kembali beroperasi dengan lancar di masa depan, setelah memulihkan hubungan dengan konsumen di Malaysia.

Keputusan Starbucks untuk menutup 50 gerai di Malaysia merupakan bukti nyata dari pengaruh kampanye boikot terhadap bisnis internasional. Meski demikian, perusahaan berharap dapat kembali menyesuaikan diri dengan preferensi pasar dan menghadapi tantangan yang ada dengan lebih bijaksana di masa depan.

Israel Perkuat Angkatan Udara dengan 25 Jet Tempur F-15 AS di Tengah Konflik Gaza

Israel baru saja menandatangani kesepakatan untuk membeli 25 jet tempur F-15 generasi terbaru dari Amerika Serikat (AS) di tengah berlangsungnya konflik di Jalur Gaza, Palestina.

Kementerian Pertahanan Israel mengumumkan pada Kamis bahwa kontrak senilai USD5,2 miliar telah disepakati dengan Boeing, produsen pesawat tersebut. Dana untuk pembelian puluhan jet tempur ini didukung oleh bantuan militer dari AS.

Berdasarkan keterangan kementerian, pengiriman jet tempur F-15 tersebut akan dimulai pada tahun 2031 dengan alokasi pengiriman sebanyak empat hingga enam pesawat per tahun.

“Jet tempur F-15IA akan dilengkapi dengan teknologi persenjataan terkini, termasuk integrasi teknologi canggih buatan Israel,” jelas kementerian itu, seperti dilansir dari The New Arab, Jumat (8/11/2024).

Pesawat tempur ini didesain dengan peningkatan kemampuan jangkauan, kapasitas muatan yang lebih besar, serta performa optimal untuk berbagai skenario operasional, tambah Kementerian Pertahanan Israel.

Sejak awal konflik di Gaza, Israel dilaporkan telah menyepakati pembelian senjata senilai hampir USD40 miliar. Hal ini diungkapkan oleh Eyal Zamir, Direktur Jenderal di Kementerian Pertahanan Israel.

“Selain berfokus pada kebutuhan mendesak akan persenjataan dan amunisi canggih dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya, kami juga berinvestasi dalam kemampuan strategis jangka panjang,” kata Zamir.

Israel telah melakukan serangan udara di Jalur Gaza sejak Oktober tahun lalu, menyebabkan kerusakan besar pada infrastruktur, termasuk rumah sakit, sekolah, dan permukiman warga. Serangan ini telah menewaskan ribuan warga sipil dan menyebabkan banyak orang mengungsi.

Selain itu, Israel juga memperluas operasinya ke Lebanon, menyerang sejumlah desa dan menewaskan warga sipil. Israel melakukan serangan terhadap Iran pada 26 Oktober, beberapa minggu setelah Teheran melepaskan hampir 200 rudal ke Israel pada 1 Oktober. Serangan tersebut merupakan respons setelah operasi yang menargetkan tokoh penting dari Hamas, Hizbullah, dan seorang jenderal Iran.

Israel memberitahu pada akhir bulan september dia usdah mendapat bantuan militer baru dari AS USD8.7miliar

Bos Houthi Bilang Donald Trump Akan Gagal Akhiri Konflik Israel-Palestina

Pada 8 November 2024, pemimpin Houthi Yaman, Abdul-Malik al-Houthi, mengomentari hasil pemilu Presiden AS yang baru saja dimenangkan oleh Donald Trump. Al-Houthi menyatakan bahwa Trump, meskipun kembali terpilih, akan gagal dalam upayanya untuk mengakhiri konflik Israel-Palestina, yang telah berlangsung lebih dari tujuh dekade. Ia menilai kebijakan luar negeri Trump yang sebelumnya cenderung mendukung Israel, tidak akan membawa penyelesaian yang adil bagi Palestina.

Abdul-Malik al-Houthi, yang telah lama dikenal sebagai pengkritik keras Amerika Serikat, menilai bahwa kebijakan luar negeri Trump selama masa jabatannya tidak menunjukkan tanda-tanda mendekati solusi yang menguntungkan bagi Palestina. Sebelumnya, Trump memindahkan kedutaan besar AS ke Yerusalem pada 2018, yang memicu protes besar dari negara-negara Arab dan Palestina. Al-Houthi menekankan bahwa kebijakan seperti itu justru memperburuk ketegangan di Timur Tengah dan memperburuk situasi kemanusiaan Palestina.

Houthi menyatakan bahwa konflik Israel-Palestina akan terus berlanjut selama tidak ada upaya nyata untuk mencapai perdamaian yang berbasis pada hak-hak Palestina. Pemimpin Houthi ini juga mengingatkan bahwa langkah-langkah yang dianggap sepihak, seperti keputusan Trump pada 2017 yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, hanya semakin memperburuk ketidakadilan yang dirasakan oleh rakyat Palestina.

Al-Houthi juga menyerukan agar dunia internasional mengedepankan solusi yang lebih adil bagi Palestina dan Israel. Ia mengusulkan agar kedua belah pihak didorong untuk kembali ke meja perundingan dengan prinsip keamanan bersama, yang menghormati hak-hak warga Palestina dan mengakui eksistensi Israel dalam perbatasan yang sah.

Pernyataan Abdul-Malik al-Houthi tersebut juga mendapat perhatian dari berbagai pihak internasional, termasuk dari negara-negara Arab yang masih terpecah dalam mendukung upaya perdamaian. Namun, banyak yang memandang pandangan Houthi ini sebagai refleksi dari ketegangan yang masih ada di Timur Tengah, di mana konflik dan diplomasi terus berlanjut tanpa solusi yang memuaskan kedua belah pihak.

Iran Ancam Gunakan Senjata Nuklir, Tegaskan Siap Perang Lawan Israel

Pada tanggal 2 November 2024, Iran mengeluarkan pernyataan mengejutkan yang mengancam akan menggunakan senjata nuklir jika menghadapi serangan dari Israel. Ketegangan antara kedua negara semakin meningkat, dengan Iran menegaskan kesiapan militernya untuk berperang. Pernyataan ini memicu kekhawatiran internasional terkait potensi eskalasi konflik di Timur Tengah.

Ancaman penggunaan senjata nuklir ini muncul dalam konteks perkembangan program nuklir Iran yang telah lama menjadi perhatian dunia. Meskipun Iran berulang kali menyatakan bahwa programnya bersifat damai, banyak negara, terutama Israel, menganggapnya sebagai ancaman. Pernyataan terbaru ini menunjukkan bahwa Iran bersikeras mempertahankan kemampuan pertahanannya di tengah situasi yang semakin memburuk.

Kekhawatiran internasional terhadap pernyataan Iran segera mendapatkan respon dari berbagai negara. Banyak pemimpin dunia mengecam ancaman tersebut dan menyerukan untuk menghindari konflik bersenjata. Diplomat dari negara-negara besar, termasuk Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, mendesak Iran untuk kembali ke jalur diplomasi dan dialog guna mengurangi ketegangan.

Ancaman ini diperkirakan akan berdampak signifikan pada stabilitas kawasan Timur Tengah. Para analis khawatir bahwa jika ketegangan terus meningkat, konflik bersenjata antara Iran dan Israel dapat melibatkan negara-negara lain di kawasan tersebut. Hal ini bisa memicu krisis kemanusiaan yang lebih besar dan memperburuk situasi politik yang sudah rumit.

Dalam menghadapi ancaman tersebut, beberapa negara mencoba untuk memfasilitasi dialog antara Iran dan Israel. Upaya diplomasi ini diharapkan dapat meredakan ketegangan dan mencegah konflik terbuka. Namun, keberhasilan upaya ini masih dipertanyakan, mengingat ketidakpercayaan yang mendalam antara kedua pihak. Dalam situasi yang penuh risiko ini, dunia menunggu langkah selanjutnya yang akan diambil oleh Iran dan Israel untuk menghindari perang yang lebih besar.

Israel Usung Perdamaian dengan Negara-negara Arab Pasca Konflik di Gaza

Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menyatakan komitmennya untuk mewujudkan perdamaian dengan negara-negara Arab setelah tahun yang diwarnai konflik di Gaza dan Lebanon yang memicu ketegangan di kawasan Timur Tengah.

Dalam pidatonya kepada anggota Parlemen Israel pada hari Senin, Netanyahu mengungkapkan visi perdamaian jangka panjang di Gaza yang didukung oleh Washington. Ia menyatakan keinginannya untuk melanjutkan langkah yang dimulai dengan Kesepakatan Abraham pada 2020, di mana negara-negara seperti Bahrain, Uni Emirat Arab, dan Maroko menjalin hubungan resmi dengan Israel.

“Saya berharap bisa melanjutkan proses yang telah kita mulai beberapa tahun lalu, dengan harapan mencapai perdamaian yang lebih luas di dunia Arab,” ucap Netanyahu di hadapan Parlemen.

Kesepakatan Abraham: Perdamaian dan Kekuatan di Timur Tengah

Kesepakatan Abraham, yang diinisiasi Amerika Serikat, membuka jalan bagi negara-negara Teluk untuk bekerja sama dengan Israel. Netanyahu menyebutnya sebagai “perdamaian demi perdamaian dan perdamaian demi kekuatan” yang mencakup negara-negara penting di kawasan tersebut.

Mereka juga memiliki visi yang sama untuk Timur Tengah yang stabil dan aman.”

Peran Amerika Serikat dalam Upaya Normalisasi Hubungan

Kesepakatan Abraham merupakan salah satu pencapaian penting selama pemerintahan mantan Presiden AS, Donald Trump. Saat ini, Amerika Serikat berusaha memperluas normalisasi hubungan Israel dengan Arab Saudi. Kesepakatan ini memerlukan jaminan keamanan dari AS bagi Arab Saudi. Namun, Riyadh menginginkan pengakuan negara Palestina yang merdeka sebagai bagian dari persyaratan—syarat yang belum dipenuhi Israel.

Sementara Arab Saudi belum bergabung dengan Kesepakatan Abraham dan tidak mengakui negara Israel, negosiasi terus berjalan, meskipun ketegangan meningkat setelah serangan di Israel pada 7 Oktober lalu yang memicu konflik besar di Gaza.

Langkah Amerika Serikat Menuju Perdamaian di Timur Tengah

Minggu lalu, Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken, bertemu dengan pejabat Arab Saudi untuk mendorong normalisasi hubungan dengan Israel. Blinken terbang langsung dari Tel Aviv ke Riyadh, beberapa hari sebelum pemilu AS, menunjukkan komitmen AS untuk perdamaian di kawasan tersebut.

“Meski dengan situasi yang terjadi, peluang luar biasa masih terbuka untuk mengubah arah kawasan ini,” ujar Blinken menjelang keberangkatannya dari Israel. Ia menambahkan bahwa peran Arab Saudi sangat penting dalam upaya ini, termasuk kemungkinan normalisasi dengan Israel.