Tarik Ulur Tarif: Korea Selatan dan AS Bersiap Negosiasi Dagang di Washington

Korea Selatan dan Amerika Serikat dijadwalkan menggelar pertemuan tingkat tinggi di Washington pekan ini untuk membahas kebijakan tarif antar kedua negara. Pemerintah Korea Selatan menyatakan bahwa negosiasi ini diprakarsai oleh pihak Washington dan akan melibatkan para pejabat penting dari kedua negara. Delegasi dari Korea Selatan dipimpin oleh Menteri Keuangan Choi Sang-mok dan Menteri Perdagangan Ahn Duk-geun. Sementara itu, Amerika Serikat akan mengirimkan Menteri Keuangan Scott Bessent bersama Perwakilan Dagang Jamieson Greer sebagai wakil resmi.

Agenda negosiasi ini muncul setelah keputusan kontroversial dari Presiden AS Donald Trump yang memberlakukan tarif resiprokal terhadap sejumlah negara mitra dagang, termasuk tarif sebesar 25 persen atas berbagai produk asal Korea Selatan. Meskipun tarif tersebut sudah diumumkan, pemerintahan Trump juga memutuskan untuk menangguhkan penerapannya selama 90 hari guna memberikan ruang bagi proses negosiasi dan perumusan solusi bersama.

Sebelum pengumuman tarif resiprokal ini, Amerika Serikat sudah lebih dulu menerapkan bea masuk tinggi terhadap impor baja, aluminium, dan kendaraan bermotor, yang memicu kekhawatiran dari berbagai negara, termasuk Korea Selatan. Dalam beberapa bulan terakhir, Seoul dan Washington telah rutin membahas isu-isu perdagangan seperti hambatan non-tarif, kerja sama energi, hingga pengembangan industri galangan kapal. Pertemuan kali ini diharapkan dapat meredakan ketegangan dagang dan menghasilkan kesepakatan yang saling menguntungkan bagi kedua negara.

Inggris Tolak Isolasi Ekonomi China Demi Kesepakatan Tarif dengan AS

Pemerintah Inggris menegaskan bahwa mereka tidak akan memutuskan hubungan ekonomi dengan China hanya demi memperoleh kesepakatan pelonggaran tarif dari Amerika Serikat. Hal tersebut dilaporkan oleh inews pada Rabu (16/4), mengutip pernyataan dari seorang sumber pemerintah. Langkah ini muncul sebagai respons terhadap laporan The Wall Street Journal yang menyebut bahwa AS berencana meminta komitmen dari mitra dagangnya untuk mengisolasi China secara ekonomi sebagai syarat dalam pembahasan tarif impor.

Namun, Inggris menganggap bahwa menyatukan pembicaraan mengenai tarif dan hubungan dengan China dalam satu forum tidaklah tepat. Pemerintah Inggris memilih untuk tetap menjalankan pendekatan yang bersifat pragmatis terhadap Beijing, tanpa mencampurkan tekanan dagang AS ke dalam kebijakan luar negeri mereka terhadap China. Sumber resmi menyatakan bahwa posisi Inggris terhadap China tidak berubah, dan mereka tetap ingin menjaga hubungan yang stabil dengan negara Asia tersebut.

Sementara itu, Presiden AS Donald Trump pada awal April telah menandatangani perintah eksekutif yang menetapkan tarif dasar sebesar 10 persen untuk berbagai produk impor. Tarif lebih tinggi dikenakan kepada 57 negara yang memiliki defisit dagang besar terhadap AS. Pada 9 April, tarif dasar tersebut mulai berlaku untuk lebih dari 75 negara selama 90 hari, dengan pengecualian terhadap China yang masih menjadi pusat ketegangan dagang.

Perang dagang antara dua kekuatan ekonomi besar itu pun terus memanas. Saat ini, tarif AS terhadap produk asal China melonjak hingga 145 persen, sementara China membalas dengan tarif sebesar 125 persen terhadap barang-barang dari Amerika. Inggris, di sisi lain, berusaha menjaga keseimbangan hubungan ekonomi tanpa terseret lebih dalam ke dalam konflik tersebut.

Kebijakan Tarif Trump: Ancaman bagi Ekonomi AS dan Dunia?

Alih-alih membawa dampak positif, kebijakan tarif yang diterapkan oleh Presiden AS Donald Trump justru memunculkan kekhawatiran bagi pasar keuangan, dunia usaha, dan konsumen. Sejak awal masa jabatannya, Gedung Putih secara agresif mengubah kebijakan ekonomi, yang berdampak pada Kanada, Meksiko, Eropa, hingga China. Trump bahkan memberlakukan tarif sebesar 25 persen untuk impor baja dan aluminium, yang memicu respons balik berupa kenaikan tarif dari negara-negara mitra dagang. Akibatnya, ketegangan ekonomi global meningkat, dan istilah “Trumpcession” mulai digunakan untuk memperingatkan potensi dampaknya.

Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, menyatakan bahwa ekonomi AS mungkin akan melambat dalam masa transisi yang disebutnya sebagai “periode detoksifikasi” sebelum keuntungan jangka panjang dapat dirasakan. Namun, ia tidak dapat menjamin bahwa resesi tidak akan terjadi dalam empat tahun pemerintahan Trump. Sementara itu, volatilitas di pasar saham meningkat, dengan Wall Street mencatat penurunan tajam beberapa sesi berturut-turut, yang mencerminkan berkurangnya kepercayaan investor. Sentimen konsumen di AS juga mengalami penurunan, dengan indeks Universitas Michigan merosot ke angka 57,9 pada Maret, level terendah sejak November 2022, akibat inflasi yang meningkat.

Ekonom Martin Wolf dari Financial Times memperkirakan bahwa tarif tinggi akan mendorong kenaikan harga-harga, sementara upaya Trump untuk mengalihkan produksi ke dalam negeri sulit terwujud dalam waktu dekat. Ekonom peraih Nobel, Joseph Stiglitz, juga memperingatkan bahwa kebijakan Trump berisiko bagi ekonomi AS dan global. Tarif balasan dari negara lain menyebabkan berkurangnya pasar ekspor bagi perusahaan AS dan hilangnya lapangan kerja di sektor domestik, dengan petani menjadi pihak yang paling merasakan dampaknya.

Survei yang dilakukan oleh Financial Times terhadap 49 ekonom menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi AS diproyeksikan turun ke angka 1,6 persen pada 2025, dari sebelumnya 2,3 persen. Mayoritas responden menilai bahwa ketidakpastian ekonomi AS akan menghambat pertumbuhan akibat melemahnya belanja konsumen dan investasi perusahaan. Laporan OECD juga merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi global menjadi 3,1 persen pada 2025 dan 3,0 persen pada 2026, dengan hambatan perdagangan sebagai faktor utama.

Stiglitz memperingatkan bahwa kebijakan ini bisa membawa AS ke dalam skenario stagflasi yang merugikan. Beberapa analis bahkan membandingkan kondisi ini dengan Depresi Besar pada 1930-an, yang dipicu oleh Undang-Undang Tarif Smoot-Hawley, yang menaikkan tarif atas ribuan barang impor dan memperburuk krisis ekonomi. Jika kebijakan tarif Trump terus berlanjut, ada kekhawatiran bahwa AS bisa menghadapi situasi yang lebih parah dibandingkan dengan periode kelam tersebut.