Israel Tertangkap Berbohong Tentang Terowongan Hamas di Koridor Philadelphia

Penyelidikan yang dilakukan oleh lembaga penyiaran publik Israel, KAN, mengungkapkan bahwa militer Israel telah mengubah fakta terkait penemuan terowongan besar yang diklaim dibangun oleh Hamas di Koridor Philadelphia, yang terletak di perbatasan Gaza-Mesir, pada Agustus tahun lalu. Mantan Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant, membenarkan hasil penyelidikan KAN, sebagaimana dilaporkan oleh Anadolu Agency dan Palestine Chronicle pada Rabu (23/4/2025). Ia menyatakan bahwa informasi tersebut sengaja dibuat untuk menunda tercapainya gencatan senjata di Gaza.

Menurut hasil penyelidikan KAN, struktur yang sebelumnya disebut-sebut sebagai terowongan itu sebenarnya hanya sebuah saluran air dangkal dengan kedalaman sekitar satu meter.

Pada Agustus 2024, militer Israel mengeluarkan foto-foto yang diklaim sebagai bukti adanya terowongan di area demiliterisasi yang membentang di sepanjang perbatasan Gaza-Mesir. Pada waktu itu, Tel Aviv mengklaim bahwa penemuan tersebut adalah bukti adanya terowongan besar bertingkat yang diduga dibangun oleh Hamas.

KAN dalam laporannya menyebutkan bahwa “itu bukanlah terowongan, melainkan kanal yang tertutup tanah,” dan tujuan dari klaim tersebut, menurut KAN, adalah untuk memperbesar pentingnya Koridor Philadelphi dan menunda kesepakatan pembebasan sandera.

Gallant mendukung hasil penyelidikan itu dan mengungkapkan bahwa klaim mengenai terowongan tersebut dimaksudkan untuk menghalangi tercapainya kesepakatan gencatan senjata. Ia menjelaskan bahwa foto-foto tersebut digunakan untuk melebih-lebihkan signifikansi strategis Koridor Philadelphi dan memperlambat kemajuan dalam negosiasi pertukaran sandera.

Saat foto-foto itu dirilis, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menegaskan bahwa pasukan Israel tidak akan mundur dari Koridor Philadelphi, meskipun terdapat perbedaan pandangan dari kalangan keamanan dan militer Israel.

Kondisi Rumah Sakit Anak di Gaza Kritis, UNICEF Serukan Gencatan Senjata dan Akses Bantuan

Dana Anak-Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) menyuarakan keprihatinan mendalam terhadap kondisi rumah sakit yang merawat anak-anak di Jalur Gaza, yang kini disebut berada dalam situasi sangat memprihatinkan. Dalam pernyataan resmi yang dirilis pada Sabtu (19/4), UNICEF menegaskan bahwa fasilitas kesehatan di Gaza menghadapi kekurangan alat medis yang sangat serius di tengah terus berlanjutnya serangan dari Israel hingga memasuki bulan ke-19 konflik. Lewat unggahan di akun X resminya, UNICEF menyoroti bahwa kelangsungan hidup anak-anak di wilayah tersebut sangat tergantung pada gencatan senjata dan distribusi bantuan kemanusiaan yang tanpa hambatan.

Kondisi rumah sakit, khususnya yang menangani bayi dan anak-anak, digambarkan berada di ambang kehancuran. Kekurangan peralatan vital, minimnya tenaga medis, serta kelelahan staf akibat tekanan berkepanjangan, diperparah oleh lingkungan yang tidak aman karena serangan udara yang terus berulang. Dalam situasi seperti ini, UNICEF kembali menyerukan kepada komunitas internasional untuk segera membuka jalur bantuan kemanusiaan menuju Gaza, guna menyelamatkan sistem layanan kesehatan yang hampir runtuh.

Bersamaan dengan itu, Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) juga menyampaikan peringatan serupa. Menurut UNRWA, pengepungan terbaru oleh pasukan Israel dinilai lebih brutal dibandingkan pekan-pekan awal usai serangan 7 Oktober 2023. Sejak 18 Maret 2025, tercatat lebih dari 420.000 warga Gaza kembali mengungsi akibat meningkatnya intensitas serangan di berbagai wilayah.

Serangan Israel di Gaza Tewaskan Seorang Anak di Rumah Sakit yang Rusak

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan bahwa seorang anak kehilangan nyawa setelah serangan udara Israel menghantam salah satu rumah sakit yang masih berfungsi di Jalur Gaza. Serangan ini terjadi di tengah peringatan dari Israel bahwa operasi militer akan diperluas apabila kelompok Hamas tidak segera membebaskan para sandera yang tersisa.

Sejak konflik kembali memanas pada Oktober 2024, ribuan warga Gaza mengungsi ke area rumah sakit, karena banyak fasilitas kesehatan rusak parah akibat konflik bersenjata.

Pada hari Minggu (13 April), sebuah serangan udara mengenai Rumah Sakit Al-Ahli yang terletak di Gaza bagian utara. Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, menyatakan bahwa insiden tersebut menyebabkan satu anak meninggal dunia karena gangguan dalam layanan medis.

“Seorang anak tewas karena tidak mendapatkan perawatan yang dibutuhkan,” tulis Ghebreyesus dalam unggahannya di platform media sosial X (sebelumnya Twitter).

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa ruang gawat darurat, laboratorium, mesin sinar-X, serta apotek di rumah sakit tersebut mengalami kerusakan berat. Akibatnya, 50 pasien harus dipindahkan ke fasilitas medis lain, sementara 40 pasien dalam kondisi kritis tidak dapat dievakuasi.

Militer Israel menyatakan bahwa serangan tersebut ditujukan pada “pusat komando dan kontrol” milik Hamas yang diklaim berada di sekitar kompleks rumah sakit. Namun, klaim tersebut langsung dibantah oleh pihak Hamas.

Tragedi di Gaza: Serangan Udara Israel Tewaskan Puluhan Warga Sipil

Serangan udara Israel kembali mengguncang Gaza, menewaskan sedikitnya 25 warga Palestina dan melukai puluhan lainnya pada Rabu (19/3). Serangan yang menghantam sebuah rumah di lingkungan Sabra, Gaza City, ini menambah daftar panjang korban jiwa akibat konflik yang terus berlanjut. Di antara para korban, terdapat wanita dan anak-anak yang menjadi sasaran serangan tanpa peringatan sebelumnya. Tim medis setempat berupaya mengevakuasi para korban ke rumah sakit, sementara keluarga yang selamat berusaha mencari perlindungan di tengah reruntuhan bangunan.

Sumber keamanan Palestina mengonfirmasi bahwa pesawat tempur Israel meluncurkan sedikitnya satu rudal yang menghantam rumah tersebut. Militer Israel dalam pernyataannya mengklaim bahwa serangan tersebut menargetkan fasilitas militer Hamas di Gaza utara, yang diduga tengah mempersiapkan peluncuran proyektil ke wilayah Israel. Namun, rekaman yang beredar di media sosial menunjukkan warga sipil yang terluka dan ketakutan berusaha menyelamatkan diri di tengah puing-puing bangunan yang hancur akibat serangan.

Di saat yang sama, puluhan keluarga Palestina terpaksa meninggalkan rumah mereka menyusul perintah evakuasi dari tentara Israel. Wilayah-wilayah seperti Beit Hanoun di Gaza utara serta Khirbet Khuza’a, Abasan al-Kabira, dan Abasan al-Jadida di Gaza selatan ditetapkan sebagai zona berbahaya. Militer Israel memperingatkan bahwa operasi militer akan semakin intensif, sehingga warga sipil diminta mengungsi ke posko perlindungan di bagian barat Gaza City dan Khan Younis. Sejak Selasa dini hari, serangan udara Israel telah merenggut lebih dari 400 nyawa dan menggagalkan upaya gencatan senjata yang sebelumnya telah berlangsung selama dua bulan.

Trump Tegaskan Tidak Akan Ada Pengusiran Warga Palestina dari Gaza

Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, pada Rabu (12/3), menegaskan bahwa tidak ada warga Palestina yang akan dipaksa keluar dari Jalur Gaza, meskipun ia tetap melanjutkan rencananya untuk mengambil kendali atas wilayah tersebut. Saat menjamu Perdana Menteri Irlandia, Michael Martin, di Ruang Oval, Trump menegaskan bahwa rakyat Palestina akan tetap berada di Gaza, membantah laporan yang menyebut adanya rencana pengusiran massal.

Pernyataan ini muncul setelah Menteri sayap kanan Israel, Bezalel Smotrich, mengungkapkan bahwa pemerintah Israel sedang membentuk kantor ‘Otoritas Emigrasi’ di bawah Kementerian Pertahanan. Kantor ini bertujuan untuk mengatur pemindahan paksa warga Palestina dari Gaza, sebuah langkah yang disebutnya mendapat dukungan dari pemerintahan Trump. Smotrich bahkan mengklaim bahwa pejabat AS mengatakan mereka tidak ingin “2 juta Nazi tinggal di luar pagar,” merujuk pada warga Palestina yang bermukim di Gaza.

Smotrich juga menyatakan bahwa gagasan mengenai pemindahan warga Gaza, yang dulu dianggap tabu, kini mulai dipandang sebagai solusi yang realistis. Ia menegaskan bahwa pemerintah Israel sedang bekerja sama dengan AS untuk menentukan negara yang bersedia menerima para pengungsi dari Gaza. Rencana kontroversial ini semakin memicu kecaman internasional, terutama setelah pada Februari lalu, Trump mengusulkan untuk mengambil alih Gaza, mengusir penduduk aslinya, dan memindahkan mereka ke wilayah lain.

Usulan tersebut menuai kritik tajam dari berbagai negara yang menilainya sebagai bentuk pembersihan etnis. Banyak pihak menegaskan bahwa langkah semacam ini tidak hanya melanggar hak asasi manusia tetapi juga berpotensi memperburuk ketegangan di Timur Tengah.