Pakistan Tegaskan Penolakan atas Tuduhan India dan Peringatan Terkait Perjanjian Air Indus

Pada Jumat, Senat Pakistan mengesahkan sebuah resolusi yang menanggapi tuduhan India tentang keterlibatan Islamabad dalam serangan mematikan terhadap wisatawan di Kashmir. Majelis tinggi Pakistan menyetujui resolusi ini dengan suara bulat, yang diajukan oleh Wakil Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri Ishaq Dar. Dalam resolusi tersebut, Pakistan mengecam segala bentuk terorisme yang menyasar warga sipil dan menolak keras upaya India yang mengaitkan negara mereka dengan serangan yang terjadi di Pahalgam, Kashmir pada Selasa (22/4).

Selama sidang senat, Ishaq Dar menyampaikan langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah Pakistan serta respons dari Komite Keamanan Nasional yang disepakati pada hari yang sama. Dar juga mengutuk pembatalan sepihak Perjanjian Air Indus oleh India dan memperingatkan bahwa jika India mencoba untuk mengalihkan atau menghentikan aliran air ke Pakistan, hal tersebut akan dianggap sebagai tindakan perang. “Pakistan memiliki senjata nuklir dan rudal, dan jika India berniat buruk terhadap kami, mereka akan menghadapi balasan yang setimpal,” ujar Dar dalam pidatonya yang disiarkan langsung.

Ketegangan antara kedua negara bertetangga semakin meningkat setelah serangan yang menewaskan 26 orang, termasuk 25 wisatawan asal India, di Pahalgam. India menuduh serangan tersebut sebagai aksi teror lintas batas yang melibatkan Pakistan. Namun, Islamabad membantah tuduhan tersebut dan menyatakan keprihatinannya terhadap korban serta keluarga mereka. India kemudian memutuskan untuk menangguhkan Perjanjian Air Indus, yang mengatur pembagian air sungai antara kedua negara, yang langsung direspons oleh Pakistan dengan peringatan keras terhadap India.

Hamas Serukan Persiapan Gencatan Senjata, Israel Ingin Perpanjang Durasi

Perbedaan pandangan antara Israel dan Hamas kembali memanas mengenai masa depan gencatan senjata, terutama setelah berakhirnya fase pertama yang dilaksanakan pada Sabtu (1/3). Isu ini semakin mencuat setelah Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyetujui proposal dari Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang menawarkan perpanjangan gencatan senjata hingga akhir Ramadan dan Paskah Yahudi pada pertengahan April. Netanyahu menerima rencana yang disusun oleh utusan Presiden AS, Steve Witkoff, yang bertujuan untuk menjaga ketenangan di wilayah tersebut dalam beberapa bulan mendatang.

Namun, sikap Hamas berbeda jauh. Mereka menolak perpanjangan gencatan senjata tersebut dan lebih memilih untuk melanjutkan pembicaraan menuju fase kedua dari perjanjian gencatan senjata. Fase pertama yang berlangsung dari 19 Januari hingga 3 Maret 2025, mencatatkan pembebasan ratusan warga Palestina oleh Israel, sedangkan Hamas melepaskan 25 warga Israel.

Fase kedua, menurut Hamas, akan menjadi titik balik untuk pelepasan lebih banyak sandera yang masih berada di Gaza serta membuka peluang untuk gencatan senjata permanen. Pemimpin Hamas, Mahmoud Mardawi, menekankan bahwa langkah pertama menuju stabilitas kawasan adalah menuntaskan perjanjian ini dengan implementasi fase kedua.

Ketegangan ini turut mendapat perhatian luas dari berbagai pihak internasional. Para pemimpin dunia khawatir bahwa ketegangan ini bisa kembali memicu perang besar, setelah 15 bulan penderitaan yang dialami oleh warga Gaza dan Palestina. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Antonio Guterres, memperingatkan akan potensi dampak buruk dari kembalinya kekerasan. Ia menegaskan bahwa gencatan senjata permanen serta pelepasan sandera adalah langkah kunci untuk menghindari eskalasi yang lebih parah.

Sementara itu, dukungan militer dari Amerika Serikat kepada Israel tetap berlanjut meskipun gencatan senjata sedang berlangsung. Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, mengungkapkan bahwa mereka akan mempercepat pengiriman bantuan militer senilai US$4 miliar (sekitar Rp66,2 triliun) ke Israel, dengan alasan untuk memastikan stabilitas di kawasan tersebut.

Situasi yang penuh ketegangan ini tentu saja menjadi perhatian besar dunia internasional, yang terus mengawasi perkembangan gencatan senjata antara kedua pihak ini. Keputusan yang diambil dalam beberapa hari ke depan akan sangat menentukan apakah perdamaian dapat tercapai atau ketegangan yang lebih besar akan terjadi.

Trump Mengklaim Putin Ingin Perang Rusia-Ukraina Berakhir Tanpa Korban

Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, baru-baru ini mengungkapkan bahwa ia telah melakukan pembicaraan dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin, melalui telepon untuk membahas kemungkinan menghentikan perang yang telah berlangsung di Ukraina. Dalam wawancara eksklusif yang diterbitkan oleh New York Post pada Jumat, 7 Februari 2025, Trump berbicara tentang isi percakapan mereka dan menyampaikan kekhawatirannya mengenai tingginya jumlah korban jiwa yang terus berjatuhan akibat konflik tersebut.

Trump mengungkapkan, meskipun ia memilih untuk tidak merinci berapa kali keduanya berbicara, ia meyakini bahwa Putin “peduli” dengan hilangnya nyawa di medan perang. “Ia ingin melihat orang-orang berhenti sekarat,” kata Trump, merujuk pada penderitaan yang dialami oleh rakyat Ukraina. Menurut Trump, ribuan orang yang tewas—termasuk remaja dan orang muda—terasa sangat tragis dan tidak bisa diterima. Ia menggambarkan mereka sebagai “anak-anak,” yang berarti kehilangan nyawa mereka tidak pernah memiliki alasan yang jelas dan membebani hati banyak pihak.

Mantan presiden AS ini juga menegaskan bahwa jika ia masih memimpin Amerika Serikat pada tahun 2022, perang ini tidak akan pernah terjadi. Trump mengungkapkan bahwa ia memiliki hubungan baik dengan Putin dan menyalahkan Presiden Joe Biden atas kegagalan untuk menyelesaikan masalah ini, menyebutnya sebagai “memalukan bagi bangsa kita.”

Trump melanjutkan dengan menyatakan bahwa ia memiliki rencana konkret untuk mengakhiri perang Rusia-Ukraina yang telah berlangsung lebih dari tiga tahun. Ia berharap agar konflik ini segera berakhir, mengingat setiap hari ada nyawa yang melayang, terutama di Ukraina yang kini dilanda kehancuran besar. “Perang ini sangat buruk, saya ingin mengakhiri hal terkutuk ini,” tambahnya.

Selain itu, Trump mengungkapkan bahwa ia berencana untuk melakukan negosiasi dengan Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, pada Konferensi Keamanan Munich yang akan berlangsung minggu depan. Dalam pertemuan tersebut, Trump berharap dapat mencapai kesepakatan senilai $500 juta dengan Ukraina, yang melibatkan akses ke mineral dan gas tanah jarang yang ada di negara itu, sebagai bagian dari jaminan keamanan dalam potensi penyelesaian perdamaian yang akan datang.

Pernyataan Trump ini mencerminkan upaya berkelanjutan dari pihaknya untuk mencari solusi atas perang yang telah menciptakan penderitaan besar bagi Ukraina dan dunia internasional. Namun, masih ada ketidakpastian mengenai apakah Putin benar-benar bersedia untuk mengakhiri konflik ini atau lebih memilih untuk melanjutkan ambisi militernya. Sebagai salah satu tokoh yang paling berpengaruh dalam politik dunia, langkah Trump menuju perundingan damai ini akan memengaruhi dinamika geopolitik global dalam waktu dekat.

Penolakan Keras Warga Gaza Terhadap Relokasi Trump: Menghindari Trauma Nakba 1948

Warga Palestina di Jalur Gaza menegaskan bahwa mereka tidak akan pernah meninggalkan tanah kelahiran mereka, meskipun Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengusulkan relokasi ke negara lain. Dalam konferensi pers di Gedung Putih pada Selasa (6/2/2025), Trump, yang didampingi oleh Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, mengusulkan bahwa Amerika Serikat dapat mengambil alih kendali jangka panjang atas Gaza serta mengusulkan pemindahan warga Palestina ke Yordania atau Mesir.

Namun, bagi warga Gaza, opsi meninggalkan tanah mereka bukanlah pilihan. “Kami hanya memiliki dua pilihan: hidup atau mati di sini,” ujar Ahmed Halasa (41), warga Kota Gaza, sambil berdiri di antara reruntuhan bangunan akibat perang. Sejak akhir Januari, ratusan ribu warga yang sebelumnya mengungsi telah kembali ke wilayah Gaza utara yang hancur, meskipun infrastruktur di sana telah luluh lantak dan pasokan kebutuhan dasar sangat terbatas.

“Kami kembali meskipun segalanya telah hancur. Tidak ada air, listrik, atau kebutuhan pokok lainnya,” kata Ahmed Al Minawi (24), yang kembali ke Kota Gaza bersama keluarganya. “Tapi satu hal yang pasti, kami menolak untuk diusir dari tanah kami.”

Banyak warga yang mendapati rumah mereka telah rata dengan tanah, namun mereka tetap bertahan dengan membangun tenda seadanya di antara puing-puing. Badri Akram (36) menegaskan bahwa usulan relokasi dari Trump tidak akan mengubah keputusan mereka. “Lihatlah rumah saya, sudah hancur. Tapi saya tetap memilih tidur di atas puing-puing ini daripada meninggalkan tanah saya,” tegasnya.

Trump juga sempat mengusulkan rencana pembangunan kembali Gaza menjadi “Riviera di Timur Tengah”. Namun bagi warga Palestina, yang lebih mereka khawatirkan adalah ancaman pengusiran paksa. Banyak yang membandingkan wacana ini dengan peristiwa “Nakba” atau “malapetaka” pada 1948, ketika ratusan ribu warga Palestina dipaksa meninggalkan tanah mereka setelah berdirinya Israel. “Kami sudah berjuang melawan pengusiran sejak 1948. Kami tidak akan pernah pergi,” ujar Minawi.

Badan Pangan Dunia PBB (WFP) mencatat bahwa dalam beberapa hari terakhir, sekitar 500.000 warga telah kembali ke Gaza utara. Pada Rabu (5/2/2025), suasana di Kota Gaza mulai menunjukkan tanda-tanda kehidupan, dengan pedagang kembali berjualan, kendaraan melintas, serta warga yang berjalan di antara puing-puing bangunan.

Penolakan terhadap gagasan relokasi juga datang dari warga Palestina di Tepi Barat yang masih berada di bawah pendudukan Israel. “Kami tidak akan meninggalkan tanah ini, bahkan jika mereka membawa semua tank di dunia,” tegas Umm Muhammad Al Baytar, warga Ramallah. “Serangan udara sekalipun tidak akan mampu mengusir kami dari tanah kami,” tambahnya.

Bagi warga Palestina, bertahan di tanah kelahiran mereka adalah bentuk perlawanan terhadap segala bentuk penindasan. Meski dihantui ketidakpastian, mereka tetap berpegang teguh pada hak mereka untuk tinggal dan berjuang di tanah yang telah mereka huni selama berabad-abad.

Iran: Israel Gagal di Medan Perang, Terpaksa Berunding dengan Hamas

Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, menegaskan bahwa Israel tidak berhasil mencapai satu pun dari tujuan militernya selama agresi di Jalur Gaza yang telah berlangsung selama 16 bulan. Ia juga menyoroti bagaimana rezim Zionis akhirnya terpaksa berunding dengan kelompok pejuang Palestina, Hamas.

Pernyataan ini disampaikan Araghchi dalam konferensi bertajuk “Badai Al-Aqsa dan Gaza: Realitas dan Narasi” yang digelar di Teheran pada Selasa (4/2). Dalam kesempatan tersebut, ia menekankan pentingnya narasi dalam kebijakan luar negeri, khususnya dalam konflik Palestina-Israel.

Peran Diplomasi, Media, dan Operasi Lapangan

Araghchi menjelaskan bahwa diplomasi dan operasi lapangan merupakan dua aspek yang tidak bisa dipisahkan dan harus berjalan secara terpadu. Ia juga menegaskan bahwa media memiliki pengaruh besar dalam membentuk persepsi publik terhadap konflik yang terjadi.

“Kita bisa saja menang dalam diplomasi maupun pertempuran di lapangan, tetapi jika kita gagal dalam perang media, maka kemenangan itu bisa berubah menjadi kekalahan. Begitu juga sebaliknya,” ujarnya, dikutip dari kantor berita IRNA.

Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa selama bertugas di Kementerian Luar Negeri Iran, pihaknya selalu mengoordinasikan strategi diplomasi dan operasi lapangan dengan baik.

“Diplomasi kami adalah bagian dari pertempuran di lapangan, begitu pula sebaliknya. Media juga menjadi bagian penting dalam perjuangan ini,” tambahnya.

Perlawanan Palestina dan Kegagalan Israel di Gaza

Araghchi menyoroti Operasi Badai Al-Aqsa yang dilakukan oleh kelompok perlawanan Palestina, yang menurutnya menjadi bukti bahwa Israel tidak mampu mencapai tujuannya di Gaza. Ia menegaskan bahwa perlawanan di Palestina bukan sekadar perjuangan militer, tetapi sebuah gerakan ideologis yang tidak dapat dihancurkan hanya dengan serangan udara atau kekerasan.

“Perlawanan adalah sebuah cita-cita dan sekolah pemikiran yang tidak bisa diberantas hanya dengan bom atau senjata,” katanya. “Senjata utama perlawanan bukanlah persenjataan konvensional, melainkan semangat pengorbanan para pejuangnya.”

Israel Dipaksa Berunding dengan Hamas

Araghchi juga menyoroti bahwa setelah 16 bulan melakukan serangan terhadap Gaza, Israel di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu akhirnya harus bernegosiasi dengan Hamas.

Selain itu, ia juga menyinggung tekanan yang dihadapi oleh Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) dalam menyelidiki dugaan kejahatan perang yang dilakukan oleh Israel. Araghchi menekankan bahwa upaya diplomasi terus dilakukan agar dunia internasional mengakui pelanggaran hukum yang terjadi di Gaza.

Konflik di Jalur Gaza masih berlangsung dan terus menjadi sorotan dunia, dengan berbagai pihak menyerukan gencatan senjata dan solusi damai.

Ledakan Dahsyat Di Kilang Minyak Rusia, Dihantam Rudal Ukraina

Sebuah kilang minyak di Rusia dilaporkan mengalami ledakan hebat setelah dihantam oleh rudal yang diluncurkan oleh pasukan Ukraina. Insiden ini terjadi di wilayah Saratov dan menyebabkan kebakaran besar yang terlihat dari jarak jauh. Ledakan ini menambah daftar serangan yang dilakukan Ukraina terhadap fasilitas-fasilitas strategis Rusia dalam upaya membalas agresi militer yang terus berlangsung. Ini menunjukkan bahwa konflik antara kedua negara semakin intensif dan meluas.

Kilang minyak yang terkena serangan adalah salah satu fasilitas penting bagi produksi energi di Rusia. Ledakan tersebut menghasilkan bola api raksasa dan asap tebal yang membumbung tinggi ke udara, mengakibatkan kerusakan signifikan pada infrastruktur sekitarnya. Menurut laporan awal, tidak ada korban jiwa yang dilaporkan, namun kerugian material diperkirakan mencapai jutaan dolar. Ini mencerminkan dampak langsung dari serangan tersebut terhadap industri energi Rusia.

Pemerintah Rusia segera merespons insiden ini dengan mengutuk serangan tersebut sebagai tindakan agresi yang tidak dapat diterima. Mereka berjanji akan meningkatkan sistem pertahanan udara untuk melindungi fasilitas-fasilitas vital dari serangan lebih lanjut. Ini menunjukkan bahwa Rusia berusaha untuk memperkuat keamanan nasionalnya di tengah ancaman yang terus meningkat dari Ukraina.

Serangan ini merupakan bagian dari strategi militer Ukraina yang lebih luas untuk menghancurkan kapasitas militer dan industri energi Rusia. Dalam beberapa minggu terakhir, Ukraina telah melancarkan serangkaian serangan terhadap pabrik-pabrik dan fasilitas energi di dalam wilayah Rusia, menggunakan rudal balistik dan drone untuk mencapai target-target yang dianggap penting. Ini mencerminkan upaya Ukraina untuk mengubah arah perang dengan menyerang infrastruktur musuh secara langsung.

Insiden ini mendapatkan perhatian luas dari komunitas internasional, dengan banyak negara mengecam kekerasan yang terus berlangsung antara Rusia dan Ukraina. Beberapa negara mendukung Ukraina dalam haknya untuk membela diri, sementara yang lain menyerukan agar kedua belah pihak kembali ke meja perundingan untuk mengakhiri konflik. Ini menunjukkan bahwa situasi di kawasan tersebut memiliki implikasi global yang lebih besar.

Dengan ledakan dahsyat di kilang minyak Rusia ini, semua pihak kini diajak untuk menyaksikan bagaimana ketegangan antara Rusia dan Ukraina terus meningkat. Serangan ini bukan hanya berdampak pada kedua negara tetapi juga berpotensi mempengaruhi stabilitas regional dan global. Ini menjadi momen penting bagi masyarakat internasional untuk terus memantau perkembangan situasi dan mencari solusi damai demi menghindari eskalasi lebih lanjut dalam konflik ini.

Ketegangan AS-Denmark Meningkat Setelah Trump Mengusulkan Penguasaan Greenland

Ketegangan antara Amerika Serikat dan Denmark semakin meningkat setelah Presiden terpilih Donald Trump mengisyaratkan keinginannya untuk menguasai Greenland. Dalam sebuah konferensi pers, Trump tidak menutup kemungkinan menggunakan kekuatan militer untuk merebut wilayah otonomi Denmark tersebut, yang dianggapnya penting untuk keamanan nasional AS.

Dalam pernyataannya, Trump menegaskan bahwa Greenland sangat strategis bagi kepentingan Amerika Serikat. Ia menyebutkan bahwa penguasaan atas pulau tersebut adalah “keharusan” untuk menjaga keamanan global dan kebebasan. Pernyataan ini mengundang reaksi tajam dari pemerintah Denmark, yang dengan tegas menyatakan bahwa Greenland tidak tersedia untuk dijual. Ini menunjukkan bahwa retorika politik yang agresif dapat memicu ketegangan diplomatik antara negara-negara sekutu.

Pemerintah Denmark, melalui Perdana Menteri Mette Frederiksen, menanggapi usulan Trump dengan menyebutnya “absurd.” Frederiksen menekankan bahwa masa depan Greenland harus ditentukan oleh penduduk setempat, bukan oleh tekanan dari negara lain. Sikap ini mencerminkan pentingnya kedaulatan dan hak penentuan nasib sendiri bagi wilayah otonom seperti Greenland.

Tindakan Trump ini berpotensi merusak hubungan transatlantik yang telah terjalin lama antara AS dan Eropa. Banyak pemimpin Eropa khawatir bahwa retorika Trump dapat melemahkan NATO dan menciptakan ketidakpastian di kawasan. Ini menunjukkan bahwa tindakan sepihak dalam kebijakan luar negeri dapat memiliki dampak luas terhadap stabilitas regional.

Ketertarikan Trump terhadap Greenland juga menarik perhatian Rusia, yang menyatakan akan memantau situasi ini dengan cermat. Kremlin melihat potensi upaya AS untuk menguasai Greenland sebagai sinyal ambisi ekspansionis yang lebih besar di kawasan Arktik. Ini menunjukkan bahwa ketegangan di satu wilayah dapat memicu reaksi berantai di tingkat internasional.

Penduduk Greenland sendiri merasa bingung dan cemas dengan pernyataan Trump. Pemimpin Greenland, Mute Egede, menegaskan bahwa pulau tersebut adalah milik rakyat Greenland dan tidak ingin terjebak dalam konflik politik antara AS dan Denmark. Ini mencerminkan keinginan masyarakat lokal untuk menjaga kedaulatan mereka tanpa campur tangan asing.

Dengan meningkatnya ketegangan antara AS dan Denmark terkait Greenland, semua pihak kini diajak untuk merenungkan pentingnya diplomasi dalam menyelesaikan konflik internasional. Retorika yang provokatif dapat memperburuk hubungan antarnegara dan memicu ketidakstabilan di kawasan. Keberhasilan dalam mengelola situasi ini akan sangat bergantung pada kemampuan pemimpin dunia untuk berkomunikasi secara konstruktif dan menghormati kedaulatan negara lain.

Rusia Menghadapi Kehilangan Besar Di Kursk: Lebih Dari 38.000 Pasukan Tewas

Pada tanggal 2 Januari 2025, laporan terbaru mengindikasikan bahwa Rusia mengalami kehilangan besar di wilayah Kursk, dengan lebih dari 38.000 pasukan tewas sejak dimulainya konflik dengan Ukraina. Data ini mencerminkan dampak signifikan dari pertempuran yang berkepanjangan dan intensitas serangan yang terjadi di kawasan tersebut.

Kursk telah menjadi salah satu titik pertempuran paling sengit dalam konflik Rusia-Ukraina. Sejak serangan balasan Ukraina pada Agustus 2024, wilayah ini telah menjadi medan tempur utama, dengan kedua belah pihak terlibat dalam pertempuran yang berkepanjangan. Sumber militer Ukraina melaporkan bahwa Rusia telah mengerahkan sekitar 59.000 tentara untuk mempertahankan posisi mereka di Kursk, tetapi kehilangan yang dialami sangat besar.

Kehilangan lebih dari 38.000 tentara menunjukkan tantangan besar bagi militer Rusia dalam mempertahankan kekuatan mereka di lapangan. Angka ini mencakup prajurit yang tewas dalam pertempuran langsung serta mereka yang mengalami cedera berat. Situasi ini dapat mempengaruhi moral pasukan dan kemampuan Rusia untuk melanjutkan operasi militer secara efektif.

Ukraina terus melancarkan serangan untuk merebut kembali wilayah yang hilang, dan laporan menunjukkan bahwa mereka berhasil menangkis banyak serangan dari pasukan Rusia. Dengan strategi yang terfokus pada penggangguan alur pasokan dan serangan balik yang terencana, militer Ukraina berusaha memanfaatkan kelemahan lawan mereka. Ini menunjukkan bahwa meskipun mengalami kerugian, Ukraina tetap berkomitmen untuk mempertahankan wilayahnya.

Kehilangan besar-besaran di Kursk menarik perhatian komunitas internasional, dengan banyak negara mengecam tindakan agresi Rusia terhadap Ukraina. Para pemimpin dunia menyerukan penyelesaian damai dan mendesak agar semua pihak menghormati hak asasi manusia serta perlindungan warga sipil selama konflik berlangsung. Ini menunjukkan bahwa situasi di Kursk tidak hanya berdampak pada kedua negara tetapi juga memiliki implikasi global.

Dengan lebih dari 38.000 pasukan Rusia tewas di Kursk, semua pihak kini diharapkan untuk merenungkan dampak dari konflik berkepanjangan ini. Tahun 2025 menjadi tahun penting bagi kedua negara untuk mencari solusi damai dan mengurangi penderitaan yang dialami oleh masyarakat sipil. Kehilangan besar ini juga menunjukkan perlunya pendekatan baru dalam menyelesaikan konflik yang telah berlangsung terlalu lama, demi masa depan yang lebih baik bagi rakyat Ukraina dan Rusia.

Keterlibatan Tentara Korut di Perang Rusia-Ukraina Berujung Kematian

Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, mengungkapkan bahwa sejumlah tentara Korea Utara yang dikirim untuk membantu Rusia dalam perang melawan Ukraina meninggal setelah ditangkap oleh pasukan Ukraina. Dalam pidatonya, Zelensky menuding Rusia memberikan perlindungan yang sangat minim terhadap para tentara dari Korea Utara tersebut.

Tentara Korut Tewas Akibat Cedera Parah

“Hari ini, kami menerima laporan bahwa beberapa tentara dari Korea Utara telah ditangkap oleh pasukan kami. Sayangnya, mereka mengalami luka yang sangat parah dan tidak dapat diselamatkan,” ujar Zelensky dalam pidato malamnya yang diunggah di media sosial, dikutip oleh AFP, Sabtu (28/12/2024).

Zelensky tidak menjelaskan secara rinci jumlah tentara Korea Utara yang tewas setelah ditangkap. Namun, ia menegaskan bahwa keputusan Korea Utara mengirimkan tentara untuk mendukung Rusia adalah langkah yang merugikan negara tersebut.

“Kehadiran mereka (tentara Korea Utara) di medan perang membawa kerugian besar. Kami juga melihat bahwa Rusia dan pengawas dari Korea Utara tidak memberikan perhatian pada keselamatan para tentara ini,” tambah Zelensky.

Tuduhan Minimnya Perlindungan bagi Tentara Korut

Menurut Zelensky, Rusia mengerahkan tentara Korea Utara untuk operasi penyerangan dengan perlindungan yang sangat minim. Hal ini, katanya, menunjukkan kurangnya kepedulian terhadap kelangsungan hidup mereka di medan perang.

“Rusia hanya memanfaatkan mereka untuk menyerang tanpa memberikan perlindungan memadai,” katanya.

Seruan Zelensky kepada China

Dalam pidatonya, Zelensky juga mendesak China untuk menggunakan pengaruhnya terhadap Pyongyang. Ia menyebut bahwa hubungan erat antara China, Korea Utara, dan Rusia seharusnya dapat dimanfaatkan untuk menghentikan eskalasi perang lebih lanjut.

“Jika China benar-benar tulus dalam pernyataan mereka bahwa perang tidak boleh meluas, maka mereka perlu memengaruhi Pyongyang dengan serius,” tegasnya.

Informasi dari Badan Intelijen Korea Selatan

Sebelumnya, badan intelijen Korea Selatan melaporkan bahwa salah satu tentara Korea Utara yang ditangkap Ukraina meninggal akibat luka-lukanya. Korea Utara diketahui telah mengirim ribuan tentara untuk membantu Rusia dalam perang, terutama di wilayah perbatasan Kursk barat.

Wilayah Kursk, yang menjadi salah satu lokasi utama serangan Ukraina pada Agustus lalu, kini menjadi bagian penting dari eskalasi konflik. Zelensky menyebut pengiriman tentara dari Korea Utara sebagai eskalasi besar dalam perang yang telah berlangsung hampir tiga tahun.

Kesimpulan

Keterlibatan tentara Korea Utara dalam perang Rusia-Ukraina menjadi sorotan dunia. Dengan minimnya perlindungan yang diberikan Rusia dan tekanan internasional terhadap Pyongyang, konflik ini terus memicu kekhawatiran akan eskalasi lebih lanjut.

Runtuhnya Rezim Al Assad: Kronologi Pemberontakan Milisi Suriah

Pada Minggu (8/12), rezim otoriter Presiden Bashar Al Assad resmi terguling setelah serangan kilat yang dilancarkan oleh kelompok milisi berhasil menguasai sebagian besar wilayah Suriah, termasuk ibu kota Damaskus. Militer Suriah menyatakan kepada para perwiranya bahwa pemerintahan Assad telah berakhir setelah kehilangan kendali atas wilayah strategis.

Kronologi Jatuhnya Rezim Bashar Al Assad

Runtuhnya pemerintahan Presiden Bashar Al Assad dimulai dengan pemberontakan besar-besaran yang dipimpin oleh kelompok milisi Hayat Tahrir al-Sham (HTS) pada akhir November. Serangan pertama mereka menargetkan kota Aleppo, yang sebelumnya berada di bawah kendali pemerintah Suriah sejak perang saudara berakhir pada tahun 2011.

HTS berhasil merebut Aleppo, mendorong Presiden Assad berjanji akan merebut kembali kota tersebut dengan bantuan milisi sekutu dari Irak, seperti Badr dan Nujaba, yang didukung oleh Iran.

Pada awal November, sekitar 300 anggota milisi Badr dan Nujaba dilaporkan bergerak menuju Suriah melalui jalur terpencil untuk menghindari serangan udara milisi pemberontak. Namun, upaya ini tidak cukup untuk membendung serangan berlanjut dari HTS.

Pada 5 November, HTS kembali melancarkan serangan terhadap kota Hama, yang memiliki posisi strategis di antara Aleppo dan Damaskus. Mereka bahkan berhasil merebut penjara utama di Hama dan membebaskan para tahanan. Kekalahan ini semakin melemahkan posisi militer Suriah.

Rezim Assad Akhirnya Tumbang

Pada 8 November, milisi pemberontak berhasil memasuki Damaskus dan menggulingkan rezim Bashar Al Assad. Penaklukan ibu kota ini menjadi puncak keberhasilan pemberontak setelah bertahun-tahun konflik berkepanjangan.

Bersamaan dengan runtuhnya rezim Assad, sejumlah warga lokal menyerbu kediamannya di Damaskus. Barang-barang berharga, termasuk lukisan mewah, senjata, uang tunai, hingga mobil mewah seperti Porsche, Ferrari, dan Mercedes-Benz, dilaporkan dijarah oleh massa.

Pelarian dan Permintaan Suaka Politik Assad

Setelah kehilangan kendali atas negaranya, Bashar Al Assad melarikan diri ke Rusia untuk mencari perlindungan politik. Pada hari yang sama ketika Damaskus jatuh, ia dilaporkan tiba di Moskow dan menerima suaka dari pemerintah Rusia.

Pemberian suaka ini menegaskan hubungan erat antara Rusia dan Suriah, yang telah berlangsung sejak awal 2000-an. Assad juga telah menyerukan transisi pemerintahan di Suriah untuk mengakhiri konflik yang melanda negara tersebut.

Pemimpin Sementara Ditunjuk

Sebagai langkah awal transisi, milisi Suriah menunjuk Mohammed Ghazi Al Jalali, mantan Perdana Menteri, sebagai pemimpin sementara. Pemimpin HTS, Abu Mohammed Al Julani, menyatakan bahwa Al Jalali akan mengisi posisi tersebut hingga pemerintahan baru terbentuk secara resmi.

Dengan berakhirnya rezim Bashar Al Assad, Suriah kini memasuki babak baru yang penuh tantangan untuk membangun kembali stabilitas politik dan sosial.