Rusia Berharap Mencapai Kemajuan dalam Pembicaraan dengan AS di Arab Saudi

Negosiator Rusia mengungkapkan bahwa Moskow berharap dapat mencapai kemajuan dalam setidaknya satu masalah utama selama pembicaraan dengan Amerika Serikat yang akan dilaksanakan pada Senin mendatang di Arab Saudi. Dalam wawancara dengan saluran TV Zvezda Rusia, Grigory Karasin, anggota parlemen senior, mengatakan bahwa mengingat kompleksitas dan banyaknya isu yang harus dibahas, sulit untuk menyelesaikan semua masalah sekaligus. Meskipun demikian, Karasin menyatakan bahwa Rusia datang dengan tekad untuk berusaha mencapai solusi pada salah satu masalah yang menjadi fokus utama. Ia menekankan bahwa meskipun tidak mengharapkan kemajuan dalam seluruh agenda, mereka tetap berharap dapat membuat terobosan dalam satu isu penting, yang diharapkan dapat membawa dampak positif bagi hubungan kedua negara.

Selain itu, Karasin juga menjelaskan bahwa meskipun banyak masalah yang harus dibicarakan, Rusia berharap agar Amerika Serikat dapat menunjukkan kemauan untuk menemukan jalan keluar dari beberapa ketegangan yang ada. “Kami berkomitmen untuk mencari solusi meskipun tantangan yang ada sangat besar,” tambahnya, menunjukkan niat Rusia untuk menjaga saluran komunikasi terbuka meski situasi yang dihadapi cukup rumit.

Di sisi lain, juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia, Maria Zakharova, memberikan peringatan keras bahwa Rusia mungkin akan mencabut moratorium serangan terhadap fasilitas energi jika Ukraina terus melanggar kesepakatan yang telah disepakati sebelumnya. Zakharova menuduh Ukraina melakukan serangan drone terhadap fasilitas energi di wilayah Kursk dan Krasnodar, yang menurutnya jelas melanggar kesepakatan yang telah dicapai setelah proposal dari Presiden AS Donald Trump untuk menahan diri dari serangan terhadap fasilitas tersebut. Dalam pernyataan yang tegas, Zakharova menegaskan bahwa jika Ukraina terus melanjutkan tindakan destruktif tersebut, Rusia akan merespons dengan langkah balasan yang setara. Peringatan ini memperlihatkan ketegangan yang terus meningkat antara kedua negara, yang berpotensi mengarah pada eskalasi konflik yang lebih besar jika serangan semacam itu terus berlangsung.

Putin: Inggris Jadi Target Sempurna bagi Senjata Nuklir Rusia

Keputusan Inggris untuk meningkatkan anggaran pertahanan secara signifikan di tengah ketegangan yang terus berkembang dengan Rusia memicu reaksi keras dari tokoh-tokoh pendukung Presiden Vladimir Putin. Beberapa figur yang dikenal sebagai corong pemerintah Rusia menyuarakan amarah mereka terhadap langkah Inggris ini, bahkan dengan nada yang penuh provokasi, mengancam bahwa negara itu bisa menjadi sasaran uji coba senjata nuklir Rusia.

Pada Selasa (25/2/2025), Perdana Menteri Keir Starmer mengumumkan rencana peningkatan terbesar dalam anggaran pertahanan Inggris sejak Perang Dingin, menyusul meningkatnya ketegangan dengan Rusia akibat invasi ke Ukraina. Starmer menyatakan bahwa Inggris akan mengalokasikan 2,5% dari produk domestik bruto (PDB) untuk pertahanan pada tahun 2027, dan angka itu akan meningkat menjadi 3% dalam dekade berikutnya.

Sebagai respons terhadap pengumuman tersebut, sejumlah tokoh media Rusia mulai memberikan komentar pedas. Sergey Mardan, seorang tokoh media yang cukup berpengaruh di Rusia, menyatakan bahwa Inggris tidak memiliki cukup kekuatan untuk menanggapi ancaman dari Rusia. Ia menyindir bahwa negara-negara seperti Inggris, Wales, Skotlandia, dan Ulster mengalami kesulitan dalam merekrut personel militer yang cukup, mengingat generasi muda di negara itu lebih memilih untuk menghindari tugas militer. “Pemuda Inggris tidak tertarik untuk menjalani tugas militer yang keras,” kata Mardan, sambil menambahkan bahwa Rusia akan menjadi penentu dalam menjaga keseimbangan kekuatan di kawasan tersebut.

Tidak hanya Mardan yang memberikan komentar pedas, namun juga Vladimir Solovyov, seorang penyiar televisi pemerintah Rusia, yang dengan sengaja mengungkit ancaman senjata nuklir Rusia, yaitu Poseidon, kendaraan nirawak bawah laut yang dapat membawa senjata nuklir berkecepatan tinggi. Solovyov mengungkapkan bahwa Inggris adalah tempat yang sempurna untuk menguji senjata tersebut, mengklaim bahwa Poseidon dapat dengan mudah menenggelamkan seluruh wilayah Inggris dalam sekejap. “Inggris adalah pulau yang sempurna untuk uji coba Poseidon,” ujarnya dengan nada sinis. Ia bahkan mempertanyakan berapa lama Keir Starmer—yang saat itu masih menjabat sebagai Perdana Menteri—akan bertahan di permukaan air setelah uji coba Poseidon tersebut.

Serangan verbal ini tidak hanya berhenti di situ. Olga Skabeeva, seorang pembawa acara televisi yang dikenal sebagai “Boneka Besi” yang sering mendukung narasi pemerintah Putin, juga ikut berkomentar. Ia menilai langkah Inggris dalam menanggapi ancaman Rusia sebagai kebijakan yang tidak patriotik, menyebut bahwa untuk menjadi patriot sejati, Inggris seharusnya selalu berperang dengan Rusia. “Patriotisme Inggris yang sejati adalah perang abadi dengan Rusia,” tegas Skabeeva.

Dengan meningkatnya ketegangan antara kedua negara ini, Inggris semakin menunjukkan komitmennya dalam menjaga keamanan nasionalnya dengan memperkuat kemampuan pertahanan. Namun, ancaman yang datang dari pihak Rusia memperlihatkan betapa seriusnya persaingan geopolitik ini, di mana perang kata-kata bisa memanaskan hubungan diplomatik yang sudah tegang.

Iran Dan Rusia Teken Perjanjian Pertahanan Strategis Di Moskow

Presiden Iran Masoud Pezeshkian melakukan kunjungan resmi ke Moskow dan menandatangani perjanjian kemitraan strategis dengan Presiden Rusia Vladimir Putin. Perjanjian ini mencakup berbagai bidang, termasuk pertahanan, dan berlangsung selama 20 tahun. Langkah ini menunjukkan semakin eratnya hubungan antara kedua negara di tengah tekanan sanksi dari Barat.

Kunjungan Pezeshkian ke Rusia merupakan yang pertama sejak ia menjabat sebagai presiden pada Juli 2024. Dalam pertemuan tersebut, kedua pemimpin membahas isu-isu bilateral dan tantangan internasional yang dihadapi oleh masing-masing negara. Ini mencerminkan pentingnya dialog antara Iran dan Rusia dalam menghadapi situasi geopolitik yang kompleks.

Perjanjian yang ditandatangani mencakup kerja sama di bidang militer dan teknologi, serta pengembangan kapasitas pertahanan kedua negara. Meskipun tidak mencakup klausul pertahanan bersama seperti yang ada dalam perjanjian dengan negara lain, kedua pihak sepakat untuk tidak membiarkan wilayah mereka digunakan untuk tindakan yang dapat mengancam satu sama lain. Ini menunjukkan bahwa meskipun ada batasan, kedua negara tetap berkomitmen untuk saling mendukung.

Keberhasilan pertemuan ini memicu kekhawatiran di kalangan negara-negara Barat, yang melihat Iran dan Rusia sebagai ancaman bagi stabilitas global. Juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, menegaskan bahwa hubungan yang semakin dekat ini tidak ditujukan untuk melawan negara lain, tetapi lebih kepada penguatan kerja sama strategis di tengah tekanan sanksi. Ini mencerminkan bagaimana hubungan internasional dapat dipengaruhi oleh dinamika politik global.

Perjanjian ini juga menjadi penting mengingat pengaruh Iran di Timur Tengah yang semakin tergerus setelah kekacauan di Suriah dan konflik dengan Israel. Dengan dukungan Rusia, Iran berharap dapat memperkuat posisinya di kawasan tersebut. Ini menunjukkan bahwa kolaborasi antara kedua negara dapat memberikan dampak signifikan terhadap keseimbangan kekuatan di Timur Tengah.

Dengan penandatanganan perjanjian ini, semua mata kini tertuju pada bagaimana Iran dan Rusia akan melanjutkan kerja sama mereka dalam menghadapi tantangan global. Diharapkan bahwa hubungan ini dapat memberikan stabilitas bagi kedua negara dan membuka peluang baru dalam kerjasama ekonomi serta pertahanan. Keberhasilan atau kegagalan dalam implementasi perjanjian ini akan sangat menentukan arah kebijakan luar negeri masing-masing negara di masa depan.