Hussein al-Sheikh Ditunjuk Sebagai Wakil Presiden Palestina, Memicu Protes dari Faksi Hamas

Pada hari Sabtu, Komite Eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) menyetujui pengangkatan Hussein al-Sheikh, Sekretaris Jenderal komite PLO, sebagai Wakil Presiden Palestina. Keputusan ini diambil berdasarkan usulan dari Presiden Mahmoud Abbas, yang diajukan pada sidang ke-32 Dewan Pusat Palestina yang digelar pada 24 April. Abbas menyatakan komitmennya untuk memulai dialog nasional yang komprehensif, melibatkan berbagai faksi Palestina guna mencapai rekonsiliasi dan memperkuat persatuan nasional.

Dalam kesempatan tersebut, Hussein al-Sheikh juga mengirimkan surat terima kasih kepada Presiden Abbas atas pencalonannya. Selain itu, Komite Eksekutif PLO dijadwalkan untuk bertemu kembali pada minggu depan untuk memilih sekretaris jenderal yang baru. Abbas, dalam pengarahan kepada komite, juga menekankan pentingnya upaya politik yang akan datang untuk menghentikan tindakan Israel di Tepi Barat dan Gaza. Ia menyuarakan kebutuhan untuk mempercepat bantuan kemanusiaan dan medis ke Gaza, serta memperjuangkan penarikan Israel secara menyeluruh.

Keputusan pengangkatan Hussein al-Sheikh ini diputuskan dalam sebuah pemungutan suara yang dilakukan oleh 170 anggota Dewan Pusat Palestina, dengan satu anggota menentang dan satu lainnya abstain. Meskipun demikian, pertemuan Dewan Pusat ini mendapat kritik tajam dari faksi-faksi besar dalam organisasi, termasuk Front Populer, Front Demokratik, dan Inisiatif Nasional Palestina, yang memboikot pertemuan tersebut. Hamas juga mengkritik hasil pertemuan itu, dengan menyatakan bahwa keputusan tersebut mengabaikan upaya persatuan nasional dan menyerukan reformasi politik dalam tubuh PLO.

Buku yang Dulu Menjadi Sumber Ilmu, Kini Dibakar untuk Bertahan Hidup di Gaza

Akibat habisnya pasokan bahan bakar, warga Gaza terpaksa menggunakan buku-buku sebagai sumber api untuk menghangatkan diri dan memasak. Dalam situasi yang semakin buruk akibat serangan Israel, mereka kekurangan bahan bakar dan bantuan.
Blokade yang diterapkan Israel membatasi akses terhadap makanan, bahan bakar, dan bantuan untuk dua juta penduduk Gaza, yang menyebabkan banyak keluarga di Palestina kehilangan harapan.

Buku-buku yang dibakar ini berasal dari perpustakaan dan sekolah-sekolah, yang menggambarkan betapa parahnya kondisi yang dihadapi warga Palestina akibat serangan dan blokade yang dilakukan oleh Israel.

Seperti yang dilaporkan oleh Mehr News Agency pada Minggu (13/4/2025), warga Gaza menggambarkan situasi yang begitu sulit, di mana bertahan hidup menjadi lebih penting daripada menjaga warisan budaya mereka.
Berbagai organisasi hak asasi manusia telah mengutuk blokade Israel dan mendesak adanya intervensi internasional yang segera.

Krisis ini menekankan kerusakan besar yang ditimbulkan oleh konflik, serta pentingnya tindakan cepat untuk membantu warga Gaza dan meringankan penderitaan mereka.

Asap dari buku yang dibakar bercampur dengan debu dan bau bahan peledak yang selalu menyelimuti kawasan itu, menciptakan aroma yang pahit dan menghancurkan Gaza.
Dokter dan tenaga medis kini kewalahan, berjuang dengan persediaan yang semakin menipis, sementara mereka melaporkan lonjakan penyakit pernapasan akibat asap beracun.

Sementara itu, PBB juga memperingatkan potensi bencana kesehatan yang akan datang, karena penghentian sistem pemurnian air dan kerusakan sanitasi akibat blokade Israel.

Pembakaran buku kini menjadi simbol dari keputusasaan warga Gaza. Akademisi dan lembaga budaya di seluruh dunia mengutuk tindakan ini sebagai kekejaman Israel yang dipaksakan kepada penduduk yang kelaparan dan kekurangan kebutuhan dasar.

Dr. Fayez Abu Shamaleh, seorang profesor dan penulis Palestina, menyatakan penyesalannya karena harus membakar kumpulan puisi untuk menyalakan api. Ia menyesali pembakaran karya penyair Arab terkenal, Nazik Al-Malaika, dan menganggapnya sebagai tindakan yang merusak budaya, sejarah, dan kemanusiaan demi bertahan hidup.

Menurut laporan media India, ETV Bharat, Universitas Islam Gaza yang dulunya menjadi pusat pendidikan terkemuka kini menjadi tempat berlindung bagi banyak orang. Buku-buku di universitas tersebut digunakan sebagai bahan bakar untuk kompor darurat. Banyak anak-anak yang mencari buku-buku di reruntuhan gedung universitas untuk membantu orang tua mereka memasak dan mendapatkan makanan.

Tragisnya Penderitaan Warga Gaza di Bulan Ramadan, Korban Tewas Meningkat Hingga 50 Ribu

Warga Gaza terus mengalami penderitaan. Dalam laporan terbaru, otoritas kesehatan Gaza menyebutkan bahwa serangan selama 24 jam terakhir di wilayah tersebut mengakibatkan 41 orang Palestina tewas dan 61 lainnya terluka. Angka ini menambah daftar korban sejak serangan Israel dimulai pada 7 Oktober 2023. Menurut WAFA, pada Senin (24/3/2025), otoritas kesehatan Gaza melaporkan total korban tewas kini mencapai 50.021 orang, dengan lebih dari 113.000 lainnya menderita luka-luka, sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak.

Selain itu, layanan darurat di Gaza masih kesulitan menjangkau banyak korban yang terjebak di bawah reruntuhan atau berada di jalanan akibat terus berlanjutnya serangan Israel, yang juga menargetkan ambulans dan tim pertahanan sipil.

Serangan Israel ini terus berlanjut meskipun ada seruan dari Dewan Keamanan PBB untuk menghentikan pertempuran dan peringatan dari Mahkamah Internasional mengenai potensi genosida di Gaza. Meskipun sempat ada kesepakatan gencatan senjata pada Januari 2025, serangan kembali terjadi setelah kesepakatan tersebut dilanggar.

Pada Maret 2025, yang bertepatan dengan bulan Ramadan, serangan Israel kembali memakan banyak korban jiwa. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menegaskan bahwa tujuan utama dari konflik ini adalah untuk menghancurkan Hamas sebagai entitas militer dan pemerintahan.

Sementara itu, sebuah survei dari Palestinian Centre for Public Opinion (PCPO) mengungkapkan bahwa lebih dari dua pertiga warga Palestina merasa negara-negara Arab dan Islam tidak cukup membantu Gaza. Banyak yang merasa bahwa negara-negara tersebut lebih fokus pada kepentingan politik dan diplomatik daripada memberikan dukungan nyata untuk perjuangan Palestina. Normalisasi hubungan antara beberapa negara Arab dan Israel juga memperburuk ketidakpercayaan ini di kalangan warga Palestina.

Serangan Israel di Gaza, Sekjen PBB Mengecam dan Serukan Gencatan Senjata

Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB, Antonio Guterres, mengungkapkan keterkejutannya atas serangan udara Israel di Gaza yang menelan ratusan korban jiwa. Serangan ini menjadi yang paling mematikan sejak gencatan senjata diterapkan pada Januari lalu.

“Sekjen sangat terkejut dengan serangan udara Israel di Gaza,” ujar juru bicara PBB, Rolando Gomez, dalam konferensi pers di Jenewa, seperti dikutip dari AFP, Selasa (18/3/2025).

Ia juga menyerukan agar gencatan senjata dihormati, bantuan kemanusiaan dapat kembali disalurkan tanpa hambatan, serta pembebasan para sandera yang masih ditahan dilakukan tanpa syarat.

Sementara itu, pemerintah Israel pada Selasa (18/3) menegaskan akan terus melakukan operasi militer di Jalur Gaza hingga seluruh sandera berhasil dikembalikan. Pernyataan tersebut disampaikan seiring dengan meningkatnya serangan ke wilayah tersebut sejak gencatan senjata mulai diberlakukan pada 19 Januari.

Menurut laporan dari Kementerian Kesehatan di Gaza, yang saat ini berada di bawah kendali Hamas, sedikitnya 413 orang tewas akibat serangan terbaru tersebut.

Di sisi lain, Hamas menuduh Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, sengaja mengorbankan para sandera dengan melanjutkan operasi militer besar-besaran di wilayah Palestina itu. Kelompok tersebut juga menuding Netanyahu telah membatalkan kesepakatan gencatan senjata, sehingga masa depan 59 sandera yang masih berada di Gaza menjadi tidak jelas.

Seorang pejabat senior Hamas, Izzat al-Rishq, menyatakan bahwa keputusan Netanyahu untuk melanjutkan perang sama dengan menjatuhkan hukuman mati bagi para sandera yang masih ditahan. Ia juga menilai bahwa konflik ini dimanfaatkan sebagai alat politik untuk mengalihkan perhatian dari permasalahan dalam pemerintahannya.

Sementara itu, kantor Netanyahu menegaskan bahwa serangan udara dilakukan sebagai respons terhadap penolakan Hamas untuk membebaskan sandera dan menolak berbagai proposal yang diajukan oleh mediator, termasuk utusan Presiden Amerika Serikat, Steve Witkoff.

Seorang pejabat Israel mengatakan kepada AFP bahwa operasi militer ini akan terus berlanjut selama diperlukan dan tidak terbatas pada serangan udara saja.

AS-Israel Diduga Rencanakan Relokasi Warga Gaza ke Afrika

Amerika Serikat (AS) dan Israel dilaporkan sedang berupaya memindahkan warga Palestina dari Jalur Gaza ke wilayah Afrika. Menurut sumber anonim dari AS dan Israel yang berbicara kepada Associated Press, Washington dan Tel Aviv telah menghubungi pejabat dari tiga negara di Afrika Timur untuk membahas kemungkinan penggunaan wilayah mereka sebagai tempat relokasi warga Gaza.

Sumber tersebut menyebutkan bahwa pejabat dari Sudan, Somalia, dan wilayah Somaliland yang memisahkan diri telah diajak berdiskusi mengenai rencana ini. Namun, Sudan dilaporkan menolak usulan tersebut, sementara Somalia dan Somaliland membantah adanya komunikasi terkait dengan AS dan Israel mengenai hal ini.

Hingga saat ini, Gedung Putih dan Departemen Luar Negeri AS belum memberikan tanggapan resmi terkait laporan ini.

Sementara itu, awal bulan ini, para pemimpin negara-negara Arab telah menyetujui rencana rekonstruksi Jalur Gaza senilai 53 miliar dolar AS yang disusun oleh Mesir, yang bertujuan untuk menghindari penggusuran massal warga Palestina dari wilayah tersebut.

Rencana Mesir ini bertentangan dengan gagasan mantan Presiden AS Donald Trump yang membayangkan Gaza sebagai “Riviera Timur Tengah” setelah pertempuran sengit selama 17 bulan antara Israel dan Hamas yang menyebabkan kehancuran besar dan banyak korban jiwa.

Usulan Trump untuk relokasi permanen warga Gaza mendapat penolakan luas dari masyarakat internasional, karena meningkatkan ketakutan warga Palestina akan pengusiran paksa dari tanah mereka.

Trump Dikabarkan Pertimbangkan Relokasi Warga Gaza ke Indonesia, Begini Respons Kemlu RI

Presiden terpilih Amerika Serikat (AS), Donald J. Trump, dikabarkan tengah mempertimbangkan rencana untuk sementara waktu memindahkan sebagian dari sekitar 2 juta warga Palestina di Gaza ke Indonesia. Wacana ini masih dalam tahap pembahasan oleh berbagai pihak terkait.

Informasi tersebut pertama kali disampaikan oleh salah satu anggota tim transisi Trump dalam sebuah wawancara dengan NBC News. Menurut laporan tersebut, utusan Trump untuk Timur Tengah, Steve Witkoff, berencana mengunjungi Jalur Gaza guna membantu menjaga kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Hamas.

Selain itu, Witkoff juga dikatakan akan secara aktif berada di kawasan tersebut dalam beberapa minggu hingga bulan ke depan guna menangani berbagai permasalahan yang mungkin muncul. Tim Trump menduga bahwa ada pihak-pihak tertentu yang ingin menggagalkan kesepakatan gencatan senjata serta menghambat upaya pembebasan sandera.

“Seseorang harus tetap mengawasi situasi dan siap merespons jika terjadi permasalahan,” ujar pejabat tersebut, dikutip dari NBC News pada Senin (20/1/2025).

NBC News juga melaporkan bahwa selain mengelola tahap kesepakatan yang sedang berjalan, Trump dan timnya tengah mencari solusi jangka panjang bagi permasalahan di Gaza.

“Jika kita tidak membantu warga Gaza dan tidak memberikan mereka kehidupan yang lebih baik serta harapan, maka kemungkinan besar akan terjadi pemberontakan,” ungkap pejabat tim transisi itu.

Salah satu opsi yang sedang dipertimbangkan adalah relokasi sementara warga Gaza ke negara lain. NBC News menyebut bahwa tim transisi Trump saat ini tengah mendiskusikan kemungkinan pemindahan sekitar 2 juta warga Palestina ke beberapa negara, termasuk Indonesia.

“Pertanyaan mengenai bagaimana membangun kembali Gaza masih terus didiskusikan, begitu pula dengan kemungkinan relokasi sementara sekitar 2 juta warga Palestina. Salah satu negara yang menjadi bahan pertimbangan dalam pembahasan ini adalah Indonesia,” kata pejabat tersebut dalam laporan NBC News.

Namun, NBC News juga menyoroti bahwa belum ada kejelasan apakah warga Gaza bersedia untuk direlokasi atau tidak. Selain itu, ide pemindahan ini dianggap kontroversial, terutama di kalangan warga Palestina dan negara-negara Arab lainnya.

Kabar ini juga telah diberitakan oleh media Israel. The Times of Israel bahkan mempublikasikan laporan berjudul “Tim Trump Mempertimbangkan Relokasi Warga Gaza Selama Pembangunan Pasca-Perang,” yang menyebut Indonesia sebagai salah satu negara yang dipertimbangkan untuk menampung warga Gaza sementara waktu.

Menanggapi kabar ini, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (Kemlu RI) menyatakan bahwa pemerintah Indonesia belum pernah menerima informasi terkait rencana tersebut.

“Pemerintah RI tidak memiliki informasi apa pun mengenai hal ini,” kata Juru Bicara Kemlu RI, Rolliansyah Soemirat, kepada wartawan.

Misteri di Balik Serangan Israel ke Gaza Meski Gencatan Senjata Telah Disepakati

Puluhan warga Gaza dilaporkan tewas akibat serangan Israel hanya beberapa jam setelah diumumkannya gencatan senjata antara Hamas dan Israel. Jumlah korban terus meningkat.

Berdasarkan laporan dari sumber medis yang dikutip oleh kantor berita WAFA, jumlah korban jiwa di Jalur Gaza sejak Kamis (16/1/2025) dini hari telah mencapai 50 orang. Serangan udara Israel pada Kamis sore menghantam kamp pengungsian di Zeitoun, Gaza bagian selatan, yang menyebabkan sejumlah warga Palestina tewas dan terluka.

Serangan Meluas ke Berbagai Wilayah
Serangan udara juga terjadi di Jabalia, kawasan utara Jalur Gaza. Sebuah rumah di sekitar bundaran an-Nazleh menjadi sasaran jet tempur, menewaskan lima warga sipil, termasuk dua anak-anak dan dua perempuan. Sebelumnya, Israel juga meluncurkan serangan terhadap sebuah rumah di lingkungan Shuja’iyya, yang terletak di bagian timur Kota Gaza.

Sejak Qatar mengumumkan gencatan senjata pada Rabu (15/1/2025), yang dijadwalkan mulai berlaku pada Minggu (19/1/2025), Israel telah melancarkan delapan serangan udara dalam kurun waktu 24 jam terakhir. Akibatnya, 81 orang dilaporkan tewas, sementara 188 lainnya mengalami luka-luka.

Jumlah Korban Terus Bertambah
Otoritas kesehatan setempat mencatat bahwa sejak 7 Oktober 2023, jumlah korban jiwa akibat serangan Israel telah mencapai 46.788 orang, sementara 110.453 lainnya mengalami luka-luka. Sebagian besar korban adalah perempuan dan anak-anak.

Gencatan Senjata Tertunda Akibat Perbedaan Pandangan
Media Saudi Gazette melaporkan bahwa Israel menunda pemungutan suara dalam kabinetnya terkait perjanjian gencatan senjata. Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, pada Kamis (16/1/2025) menyatakan bahwa terdapat “hambatan menit terakhir” dengan Hamas yang menghalangi persetujuan kesepakatan tersebut, termasuk pembebasan sandera.

Menurut pernyataan dari kantor Netanyahu, kabinetnya tidak akan mengadakan pertemuan untuk menyetujui kesepakatan hingga Hamas memenuhi persyaratan yang telah disepakati. Namun, tanpa memberikan rincian lebih lanjut, Netanyahu menuduh Hamas mencoba mengubah isi perjanjian demi mendapatkan keuntungan tambahan.

Sementara itu, salah satu pejabat senior Hamas, Izzat al-Rishq, menegaskan bahwa pihaknya tetap berkomitmen pada perjanjian gencatan senjata yang telah diumumkan oleh para mediator.

Di tengah negosiasi yang berlangsung, Netanyahu menghadapi tekanan dalam negeri yang besar untuk membawa pulang para sandera. Namun, kelompok sayap kanan dalam koalisinya mengancam akan menarik dukungan terhadap pemerintahannya jika ia memberikan terlalu banyak konsesi kepada Hamas.

Menurut laporan Euronews, Hamas menyatakan bahwa mereka tidak akan melepaskan sandera yang tersisa kecuali Israel menyetujui gencatan senjata permanen serta menarik seluruh pasukan IDF dari Gaza. Di sisi lain, Israel bertekad untuk terus melanjutkan operasi militernya hingga Hamas dibubarkan dan kontrol keamanan di wilayah tersebut tetap berada di tangan mereka.

Hamas Serukan Persiapan Gencatan Senjata, Israel Ingin Perpanjang Durasi

Perbedaan pandangan antara Israel dan Hamas kembali memanas mengenai masa depan gencatan senjata, terutama setelah berakhirnya fase pertama yang dilaksanakan pada Sabtu (1/3). Isu ini semakin mencuat setelah Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyetujui proposal dari Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang menawarkan perpanjangan gencatan senjata hingga akhir Ramadan dan Paskah Yahudi pada pertengahan April. Netanyahu menerima rencana yang disusun oleh utusan Presiden AS, Steve Witkoff, yang bertujuan untuk menjaga ketenangan di wilayah tersebut dalam beberapa bulan mendatang.

Namun, sikap Hamas berbeda jauh. Mereka menolak perpanjangan gencatan senjata tersebut dan lebih memilih untuk melanjutkan pembicaraan menuju fase kedua dari perjanjian gencatan senjata. Fase pertama yang berlangsung dari 19 Januari hingga 3 Maret 2025, mencatatkan pembebasan ratusan warga Palestina oleh Israel, sedangkan Hamas melepaskan 25 warga Israel.

Fase kedua, menurut Hamas, akan menjadi titik balik untuk pelepasan lebih banyak sandera yang masih berada di Gaza serta membuka peluang untuk gencatan senjata permanen. Pemimpin Hamas, Mahmoud Mardawi, menekankan bahwa langkah pertama menuju stabilitas kawasan adalah menuntaskan perjanjian ini dengan implementasi fase kedua.

Ketegangan ini turut mendapat perhatian luas dari berbagai pihak internasional. Para pemimpin dunia khawatir bahwa ketegangan ini bisa kembali memicu perang besar, setelah 15 bulan penderitaan yang dialami oleh warga Gaza dan Palestina. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Antonio Guterres, memperingatkan akan potensi dampak buruk dari kembalinya kekerasan. Ia menegaskan bahwa gencatan senjata permanen serta pelepasan sandera adalah langkah kunci untuk menghindari eskalasi yang lebih parah.

Sementara itu, dukungan militer dari Amerika Serikat kepada Israel tetap berlanjut meskipun gencatan senjata sedang berlangsung. Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, mengungkapkan bahwa mereka akan mempercepat pengiriman bantuan militer senilai US$4 miliar (sekitar Rp66,2 triliun) ke Israel, dengan alasan untuk memastikan stabilitas di kawasan tersebut.

Situasi yang penuh ketegangan ini tentu saja menjadi perhatian besar dunia internasional, yang terus mengawasi perkembangan gencatan senjata antara kedua pihak ini. Keputusan yang diambil dalam beberapa hari ke depan akan sangat menentukan apakah perdamaian dapat tercapai atau ketegangan yang lebih besar akan terjadi.

Israel Ambil Alih Pengelolaan Masjid Ibrahimi dari Palestina

Otoritas Israel yang menguasai wilayah kolonial telah memberi tahu pihak administrasi Masjid Ibrahimi di Hebron, Tepi Barat bagian selatan, bahwa pengelolaan masjid kini dialihkan dari Kementerian Wakaf Otoritas Palestina ke Otoritas Perencanaan Sipil Israel. Menurut laporan Quds Press, keputusan ini memungkinkan kelanjutan pembangunan atap di area yang dikenal sebagai “halaman” di dalam Masjid Ibrahimi.

Sekitar 20 tahun lalu, pemukim Yahudi mendirikan tenda di halaman tersebut, menjadikannya sebagai tempat ibadah yang masih digunakan hingga saat ini. Mereka mendesak agar area tersebut diberikan atap permanen untuk diubah menjadi ruang doa tertutup. Pada 9 Juli tahun lalu, pasukan Israel mulai membangun atap di halaman tersebut, namun proyek dihentikan dua hari kemudian setelah aksi protes masyarakat Hebron, termasuk aksi duduk dan demonstrasi.

Kementerian Wakaf Palestina dengan tegas menolak langkah Israel ini dan tetap menegaskan otoritasnya atas Masjid Ibrahimi. Sementara itu, Hamas mengutuk keputusan tersebut, menyebutnya sebagai “serangan terang-terangan terhadap status Masjid Ibrahimi” serta bagian dari rangkaian tindakan terhadap situs suci Islam. Dalam pernyataan terbaru, Hamas menyoroti bahwa keputusan ini bertepatan dengan peringatan 31 tahun tragedi di Masjid Ibrahimi, yang menurut mereka mengungkap niat Israel untuk melanjutkan proses Yahudisasi, membagi area masjid, serta memperketat kendali mereka atas tempat ibadah ini.

Iran: Israel Gagal di Medan Perang, Terpaksa Berunding dengan Hamas

Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, menegaskan bahwa Israel tidak berhasil mencapai satu pun dari tujuan militernya selama agresi di Jalur Gaza yang telah berlangsung selama 16 bulan. Ia juga menyoroti bagaimana rezim Zionis akhirnya terpaksa berunding dengan kelompok pejuang Palestina, Hamas.

Pernyataan ini disampaikan Araghchi dalam konferensi bertajuk “Badai Al-Aqsa dan Gaza: Realitas dan Narasi” yang digelar di Teheran pada Selasa (4/2). Dalam kesempatan tersebut, ia menekankan pentingnya narasi dalam kebijakan luar negeri, khususnya dalam konflik Palestina-Israel.

Peran Diplomasi, Media, dan Operasi Lapangan

Araghchi menjelaskan bahwa diplomasi dan operasi lapangan merupakan dua aspek yang tidak bisa dipisahkan dan harus berjalan secara terpadu. Ia juga menegaskan bahwa media memiliki pengaruh besar dalam membentuk persepsi publik terhadap konflik yang terjadi.

“Kita bisa saja menang dalam diplomasi maupun pertempuran di lapangan, tetapi jika kita gagal dalam perang media, maka kemenangan itu bisa berubah menjadi kekalahan. Begitu juga sebaliknya,” ujarnya, dikutip dari kantor berita IRNA.

Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa selama bertugas di Kementerian Luar Negeri Iran, pihaknya selalu mengoordinasikan strategi diplomasi dan operasi lapangan dengan baik.

“Diplomasi kami adalah bagian dari pertempuran di lapangan, begitu pula sebaliknya. Media juga menjadi bagian penting dalam perjuangan ini,” tambahnya.

Perlawanan Palestina dan Kegagalan Israel di Gaza

Araghchi menyoroti Operasi Badai Al-Aqsa yang dilakukan oleh kelompok perlawanan Palestina, yang menurutnya menjadi bukti bahwa Israel tidak mampu mencapai tujuannya di Gaza. Ia menegaskan bahwa perlawanan di Palestina bukan sekadar perjuangan militer, tetapi sebuah gerakan ideologis yang tidak dapat dihancurkan hanya dengan serangan udara atau kekerasan.

“Perlawanan adalah sebuah cita-cita dan sekolah pemikiran yang tidak bisa diberantas hanya dengan bom atau senjata,” katanya. “Senjata utama perlawanan bukanlah persenjataan konvensional, melainkan semangat pengorbanan para pejuangnya.”

Israel Dipaksa Berunding dengan Hamas

Araghchi juga menyoroti bahwa setelah 16 bulan melakukan serangan terhadap Gaza, Israel di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu akhirnya harus bernegosiasi dengan Hamas.

Selain itu, ia juga menyinggung tekanan yang dihadapi oleh Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) dalam menyelidiki dugaan kejahatan perang yang dilakukan oleh Israel. Araghchi menekankan bahwa upaya diplomasi terus dilakukan agar dunia internasional mengakui pelanggaran hukum yang terjadi di Gaza.

Konflik di Jalur Gaza masih berlangsung dan terus menjadi sorotan dunia, dengan berbagai pihak menyerukan gencatan senjata dan solusi damai.