PBB Mendesak Negara Anggota Hindari Retorika Provokatif Terkait Ketegangan dengan Iran

PBB menyerukan kepada seluruh negara anggotanya untuk menghindari pernyataan yang bisa memicu ketegangan lebih lanjut, setelah Presiden AS Donald Trump mengancam akan menyerang Iran jika kesepakatan mengenai senjata nuklir gagal tercapai. Juru bicara PBB, Stephane Dujarric, menekankan pentingnya menjaga diplomasi dalam menangani perselisihan internasional. Dalam pengarahan pada Selasa (1/4), Dujarric menyatakan bahwa Piagam PBB jelas menggarisbawahi bahwa semua konflik harus diselesaikan secara damai dan melalui jalur diplomasi, bukan dengan retorika yang dapat memperburuk situasi. Dia juga menambahkan bahwa penting bagi negara-negara untuk berkomunikasi secara terbuka dan dengan hati-hati dalam menghadapi perbedaan, agar tidak menyebabkan kerusakan lebih lanjut yang dapat berujung pada ketegangan yang lebih besar di kawasan yang sudah penuh dengan ketidakpastian dan konflik.

Pernyataan Trump yang mengancam Iran dengan “pengeboman yang belum pernah mereka lihat sebelumnya” diungkapkan dalam wawancara dengan NBC News pada Minggu (30/3). Ancaman ini muncul di tengah negosiasi yang belum mencapai titik kesepakatan mengenai program nuklir Iran, yang telah menjadi sumber ketegangan internasional selama bertahun-tahun. Trump mengindikasikan bahwa jika Iran tidak bersedia mencapai kesepakatan, AS siap untuk mengambil tindakan militer sebagai pilihan terakhir. Namun, pernyataan ini langsung menuai reaksi keras dari berbagai pihak, yang memperingatkan bahwa ancaman semacam itu hanya akan memperburuk ketegangan dan memperpanjang krisis.

Sebagai respons terhadap ancaman tersebut, Presiden Iran, Masoud Pezeshkian, mengeluarkan pernyataan yang menegaskan bahwa Iran tidak akan melakukan negosiasi langsung dengan AS di bawah tekanan semacam itu. Pezeshkian menyatakan bahwa Iran lebih memilih untuk membahas isu nuklir melalui mediasi pihak ketiga yang netral, yang dapat memfasilitasi dialog antara kedua negara tanpa melibatkan langsung Washington dalam perundingan. Pendekatan ini diharapkan dapat membuka jalan bagi solusi yang lebih konstruktif dan menghindari eskalasi lebih lanjut.

Dengan ketegangan yang terus meningkat di kawasan tersebut, PBB menekankan pentingnya untuk menghindari kata-kata yang memperburuk situasi dan mengutamakan jalur diplomatik dalam menyelesaikan masalah tersebut. Dujarric mengingatkan bahwa perdamaian dan stabilitas hanya dapat tercapai jika semua pihak mengedepankan prinsip-prinsip Piagam PBB, yang menekankan penyelesaian konflik secara damai. Dalam hal ini, keterlibatan komunitas internasional, termasuk pihak ketiga yang dapat dipercaya, sangat diperlukan untuk membantu mewujudkan kesepakatan yang menguntungkan semua pihak dan mencegah potensi konfrontasi yang lebih luas.

Serangan Israel di Gaza, Sekjen PBB Mengecam dan Serukan Gencatan Senjata

Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB, Antonio Guterres, mengungkapkan keterkejutannya atas serangan udara Israel di Gaza yang menelan ratusan korban jiwa. Serangan ini menjadi yang paling mematikan sejak gencatan senjata diterapkan pada Januari lalu.

“Sekjen sangat terkejut dengan serangan udara Israel di Gaza,” ujar juru bicara PBB, Rolando Gomez, dalam konferensi pers di Jenewa, seperti dikutip dari AFP, Selasa (18/3/2025).

Ia juga menyerukan agar gencatan senjata dihormati, bantuan kemanusiaan dapat kembali disalurkan tanpa hambatan, serta pembebasan para sandera yang masih ditahan dilakukan tanpa syarat.

Sementara itu, pemerintah Israel pada Selasa (18/3) menegaskan akan terus melakukan operasi militer di Jalur Gaza hingga seluruh sandera berhasil dikembalikan. Pernyataan tersebut disampaikan seiring dengan meningkatnya serangan ke wilayah tersebut sejak gencatan senjata mulai diberlakukan pada 19 Januari.

Menurut laporan dari Kementerian Kesehatan di Gaza, yang saat ini berada di bawah kendali Hamas, sedikitnya 413 orang tewas akibat serangan terbaru tersebut.

Di sisi lain, Hamas menuduh Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, sengaja mengorbankan para sandera dengan melanjutkan operasi militer besar-besaran di wilayah Palestina itu. Kelompok tersebut juga menuding Netanyahu telah membatalkan kesepakatan gencatan senjata, sehingga masa depan 59 sandera yang masih berada di Gaza menjadi tidak jelas.

Seorang pejabat senior Hamas, Izzat al-Rishq, menyatakan bahwa keputusan Netanyahu untuk melanjutkan perang sama dengan menjatuhkan hukuman mati bagi para sandera yang masih ditahan. Ia juga menilai bahwa konflik ini dimanfaatkan sebagai alat politik untuk mengalihkan perhatian dari permasalahan dalam pemerintahannya.

Sementara itu, kantor Netanyahu menegaskan bahwa serangan udara dilakukan sebagai respons terhadap penolakan Hamas untuk membebaskan sandera dan menolak berbagai proposal yang diajukan oleh mediator, termasuk utusan Presiden Amerika Serikat, Steve Witkoff.

Seorang pejabat Israel mengatakan kepada AFP bahwa operasi militer ini akan terus berlanjut selama diperlukan dan tidak terbatas pada serangan udara saja.

PBB Kurangi Jatah Makanan Rohingya, Apa Penyebabnya?

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengumumkan rencana pemangkasan bantuan pangan bagi sekitar satu juta pengungsi Rohingya di Bangladesh mulai bulan depan. Program Pangan Dunia (WFP) PBB dalam surat resmi yang dirilis pada Rabu (5/3/2025) menyebutkan bahwa keterbatasan dana yang parah menjadi penyebab utama kebijakan ini. Sebelumnya, pengungsi menerima bantuan makanan senilai 12,50 dolar AS (sekitar Rp 240.000) per bulan, namun kini jumlah tersebut akan dikurangi menjadi hanya 6 dolar AS (sekitar Rp 98.000) per orang.

“Sayangnya, kami belum memperoleh pendanaan yang mencukupi, dan langkah penghematan yang telah diterapkan masih belum cukup,” demikian pernyataan dalam surat tersebut yang dikutip dari AFP, Kamis (6/3/2025). Perwakilan Badan Pengungsi Bangladesh, Md Shamsud Douza, mengungkapkan bahwa pemerintah akan segera menggelar pertemuan dengan berbagai pihak guna membahas dampak kebijakan tersebut.

Pengumuman ini disampaikan hanya beberapa hari sebelum kunjungan Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, yang dijadwalkan menemui pengungsi Rohingya dalam rangka memperingati bulan suci Ramadhan. Saat ini, sebagian besar komunitas Rohingya yang mengalami diskriminasi dan tidak memiliki kewarganegaraan tinggal di kamp-kamp pengungsian yang padat di Bangladesh. Gelombang pengungsi besar-besaran terjadi pada 2017 setelah militer Myanmar melancarkan tindakan keras, yang memaksa sekitar 750.000 warga Rohingya melarikan diri ke Bangladesh dengan membawa kisah-kisah memilukan tentang kekerasan, pembunuhan, dan pembakaran desa-desa mereka.

Bangladesh terus berupaya menampung populasi pengungsi yang besar, meskipun prospek pemulangan ke Myanmar atau relokasi ke negara ketiga masih sangat terbatas. Para pengungsi yang tinggal di kamp-kamp sekitar Cox’s Bazar dilarang bekerja dan bergantung sepenuhnya pada bantuan kemanusiaan yang kini semakin terbatas. Pemangkasan bertahap terhadap bantuan pangan ini semakin memperburuk kondisi mereka, dengan meningkatnya angka malnutrisi di kalangan pengungsi.

Kondisi yang kian sulit mendorong banyak pengungsi untuk mencari jalan keluar dengan menempuh perjalanan laut yang berbahaya demi kehidupan yang lebih baik. Pada Januari lalu, lebih dari 250 pengungsi Rohingya berhasil mencapai Indonesia setelah menempuh perjalanan panjang di lautan yang penuh risiko.

Netanyahu Jadi Buronan ICC, PBB Putuskan Larangan Hubungan Resmi

Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Antonio Guterres, memberikan dukungannya terhadap langkah Mahkamah Kriminal Internasional (International Criminal Court/ICC) yang mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, dan mantan Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant.

Juru bicara Sekjen PBB, Stephane Dujarric, menjelaskan bahwa Antonio Guterres menghormati keputusan independen yang diambil oleh ICC. Menurutnya, semua negara anggota ICC memiliki kewajiban untuk mematuhi putusan tersebut.

“Sekretaris Jenderal sangat menghormati independensi dan peran Mahkamah Kriminal Internasional,” kata Dujarric, seperti dilansir dari Middle East Monitor (MEMO).

Kewajiban Negara Anggota untuk Mematuhi Putusan ICC

Dujarric menambahkan bahwa negara-negara yang telah menandatangani perjanjian dengan ICC wajib mematuhi ketetapan hukum internasional. Hal ini termasuk pelaksanaan surat perintah penangkapan terhadap Netanyahu dan Gallant.

“Semua negara anggota ICC terikat oleh perjanjian internasional untuk melaksanakan keputusan pengadilan,” jelasnya.

Ia juga mengingatkan bahwa negara-negara yang menandatangani perjanjian internasional, termasuk piagam dan kesepakatan dengan ICC, harus memenuhi kewajiban tersebut tanpa pengecualian.

Pertanyaan Mengenai Kehadiran Netanyahu di PBB

Dalam wawancara dengan media, Dujarric ditanya mengenai kemungkinan Perdana Menteri Netanyahu menghadiri pertemuan di PBB. Ia menegaskan bahwa pejabat PBB tidak akan melakukan hubungan formal dengan individu yang menjadi buronan ICC, termasuk Netanyahu.

“Setiap pertemuan dengan seseorang yang menjadi target ICC harus melibatkan persetujuan dari negara tempat kantor pusat PBB berada. Pejabat PBB tidak diperbolehkan melakukan kontak resmi dengan individu yang menjadi subjek surat perintah penangkapan,” jelas Dujarric.

Namun, ia menambahkan bahwa dalam keadaan darurat, pejabat senior PBB dapat melakukan hubungan dengan buronan ICC, jika diperlukan untuk alasan khusus.

Respons PBB terhadap Agresi Israel di Gaza

Dujarric juga menyoroti agresi Israel di Gaza, meskipun ia tidak secara langsung menyebut tindakan tersebut sebagai genosida. Ia menyampaikan bahwa pejabat PBB sangat prihatin dengan pelanggaran hukum internasional yang terus terjadi.

“Pejabat PBB, termasuk Sekretaris Jenderal dan Komisioner Tinggi untuk Hak Asasi Manusia, telah dengan jelas menyampaikan keprihatinan mereka terhadap pelanggaran serius hukum internasional yang telah terjadi,” ungkap Dujarric.

Latar Belakang Surat Perintah Penangkapan Netanyahu

Mahkamah Kriminal Internasional mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Benjamin Netanyahu dan Yoav Gallant pada Rabu (20/11). Keputusan ini didasarkan pada dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang yang terjadi sejak Oktober 2023 hingga Mei 2024.

“[Pengadilan] telah mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Tn. Benjamin Netanyahu dan Tn. Yoav Gallant atas dugaan keterlibatan dalam kejahatan terhadap kemanusiaan serta kejahatan perang,” demikian pernyataan resmi ICC.

Surat perintah ini muncul di tengah meningkatnya tekanan internasional atas tindakan Israel di Gaza, yang terus memicu kritik global.

Kesimpulan

Dukungan Sekjen PBB terhadap keputusan ICC menegaskan pentingnya penghormatan terhadap hukum internasional. Kasus ini menjadi pengingat bahwa keadilan internasional harus ditegakkan tanpa memandang siapa pun yang terlibat.

Menteri Israel Kecam Pasukan Perdamaian PBB Di Tengah Konflik Dengan Hizbullah

Jakarta — Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant, mengeluarkan pernyataan keras yang mengkritik pasukan perdamaian PBB di Lebanon, di tengah meningkatnya ketegangan antara Israel dan Hizbullah. Pernyataan ini mencerminkan frustrasi Israel terhadap apa yang dianggapnya sebagai kurangnya efektivitas pasukan PBB dalam menjaga keamanan di wilayah tersebut.

Gallant menilai bahwa pasukan perdamaian PBB, yang dikenal sebagai UNIFIL, gagal dalam tugas mereka untuk menjaga stabilitas di perbatasan Israel-Lebanon. “UNIFIL seharusnya menjadi pelindung perdamaian, tetapi kenyataannya mereka tidak mampu mencegah serangan dari Hizbullah,” ujarnya dalam sebuah konferensi pers. Ia menegaskan bahwa Israel tidak akan membiarkan situasi ini terus berlanjut dan siap untuk mengambil tindakan lebih lanjut.

Kritikan tersebut muncul setelah serangkaian serangan roket oleh Hizbullah yang menyasar wilayah Israel. Serangan ini dianggap sebagai provokasi yang serius dan meningkatkan ketegangan di wilayah yang sudah rentan. “Hizbullah terus menerus mengancam keamanan kami, dan PBB seharusnya bertindak lebih tegas untuk menghentikan tindakan tersebut,” tambah Gallant.

Sementara itu, PBB menyatakan bahwa mereka terus memantau situasi dan berkomitmen untuk melaksanakan mandat mereka. Juru bicara UNIFIL menegaskan pentingnya dialog untuk meredakan ketegangan. “Kami meminta semua pihak untuk menahan diri dan menghindari eskalasi lebih lanjut,” ungkapnya. Komunitas internasional juga menyerukan penyelesaian damai untuk menghindari konflik yang lebih besar.

Ketegangan ini berdampak langsung pada kehidupan masyarakat di perbatasan. Banyak warga yang merasa terancam dan khawatir akan keselamatan mereka. “Kami hanya ingin hidup dalam kedamaian, tetapi situasi ini membuat kami sangat cemas,” kata seorang warga desa di dekat perbatasan. Dalam kondisi yang tidak menentu ini, kebutuhan akan perlindungan dan bantuan kemanusiaan semakin mendesak.

Dengan meningkatnya ketegangan antara Israel dan Hizbullah, serta kritik terhadap peran pasukan perdamaian PBB, situasi di kawasan tersebut semakin kompleks. Keduanya harus menemukan cara untuk mengurangi ketegangan dan bekerja sama demi keamanan regional. Dalam konteks ini, penting untuk menegakkan dialog dan diplomasi agar konflik yang lebih besar dapat dihindari.

PBB: Serangan Penyerang Di Lebanon Melanggar Hukum Internasional

Pada 21 September 2024, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan pernyataan resmi menanggapi serangkaian serangan yang terjadi di Lebanon baru-baru ini. PBB mengecam tindakan tersebut sebagai pelanggaran hukum internasional, menggarisbawahi bahwa tindakan agresi yang menargetkan warga sipil dan infrastruktur sipil tidak dapat dibenarkan dalam konteks hukum internasional.

Konteks Serangan yang Terjadi

Serangan tersebut dilaporkan melibatkan penggunaan senjata berat di beberapa wilayah di Lebanon, termasuk daerah padat penduduk. Banyak warga sipil yang terjebak dalam konflik ini, mengakibatkan korban jiwa dan luka-luka. PBB menekankan pentingnya perlindungan bagi warga sipil selama konflik bersenjata dan menyerukan agar semua pihak terlibat menghormati prinsip-prinsip kemanusiaan.

Seruan untuk Penyelidikan Internasional

Dalam pernyataan tersebut, PBB juga meminta penyelidikan independen dan transparan terkait serangan ini. Mereka menekankan bahwa akuntabilitas bagi pelaku kejahatan internasional sangat penting untuk mencegah terulangnya pelanggaran serupa di masa depan. PBB menyerukan kepada semua pihak untuk menahan diri dari tindakan yang dapat memperburuk situasi dan meningkatkan ketegangan di wilayah tersebut.

Dukungan untuk Masyarakat Lebanon

PBB mengungkapkan solidaritasnya dengan rakyat Lebanon yang tengah berjuang dalam situasi yang sulit ini. Pihaknya berjanji untuk terus mendukung upaya kemanusiaan di wilayah tersebut dan memperkuat kerja sama dengan organisasi non-pemerintah untuk memberikan bantuan kepada mereka yang terdampak oleh kekerasan. PBB berharap untuk melihat segera langkah-langkah diplomatik yang dapat mengurangi ketegangan dan mendorong dialog konstruktif antara semua pihak yang terlibat.

Pernyataan ini menegaskan kembali komitmen PBB dalam mempromosikan perdamaian dan keamanan internasional, serta perlindungan bagi warga sipil dalam situasi konflik.