Menggali Luka Lama: Penyintas Bom Hiroshima dan Nagasaki Buka Suara di Peringatan 80 Tahun

Memasuki peringatan 80 tahun tragedi bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, para penyintas atau hibakusha mulai kembali membagikan kisah pilu mereka. Pemerintah Jepang, melalui Kementerian Kesejahteraan, meluncurkan upaya nasional untuk mengumpulkan kesaksian dari sekitar 106.000 penyintas yang masih hidup. Ini menjadi kali pertama dalam tiga dekade terakhir pemerintah meminta secara menyeluruh partisipasi dari seluruh penyintas untuk mendokumentasikan pengalaman mereka.

Selebaran telah dibagikan oleh pemerintah prefektur untuk mendorong para hibakusha menuliskan kenangan mereka. Selain itu, kementerian juga mengumpulkan potret para penyintas yang telah meninggal, pakaian yang terkena dampak ledakan, dan foto-foto bersejarah dari saat pengeboman. Semua koleksi ini nantinya akan disimpan di Balai Peringatan Perdamaian Nasional untuk Korban Bom Atom di Hiroshima dan Nagasaki, serta sebagian akan dipamerkan kepada publik atas persetujuan pemilik atau keluarganya.

Pengumpulan kesaksian skala besar sebelumnya dilakukan pada tahun 1995 ketika jumlah penyintas masih sekitar 320.000 orang. Sementara itu, pengumpulan tambahan dilakukan secara acak pada 2005 dan 2015. Tragedi mengerikan ini bermula saat Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Hiroshima pada 6 Agustus 1945, menewaskan sekitar 140.000 orang, lalu diikuti dengan serangan di Nagasaki tiga hari kemudian yang menewaskan 70.000 orang tambahan. Jepang akhirnya menyerah pada 15 Agustus 1945, menandai berakhirnya Perang Dunia II. Meski begitu, saat ini Jepang memilih untuk tidak menghadiri pertemuan PBB tentang Traktat Pelarangan Senjata Nuklir, meski dorongan kuat telah diberikan oleh Nihon Hidankyo, organisasi penyintas bom atom Jepang yang baru saja menerima Hadiah Nobel Perdamaian.

Terkuak: Prajurit Perang Dunia II Dimakamkan Tanpa Otak, Korban Eksperimen Nazi

Seorang prajurit Skotlandia bernama Donnie MacRae, yang gugur dalam Perang Dunia II, diketahui dimakamkan tanpa otak karena diambil untuk penelitian oleh pihak Jerman. Temuan ini mengejutkan publik dan kembali mengungkit luka sejarah yang mendalam.

Donnie MacRae, yang meninggal dalam pertempuran di Prancis pada tahun 1940, awalnya dimakamkan dengan penghormatan. Namun, delapan dekade kemudian, investigasi baru mengungkap bahwa otaknya diambil oleh dokter-dokter Nazi untuk keperluan penelitian medis. Fakta ini memperlihatkan kekejaman eksperimen yang dilakukan selama perang, di mana manusia diperlakukan hanya sebagai objek penelitian tanpa menghargai martabat atau hak asasi mereka.

Penemuan ini menjadi pukulan berat bagi keluarga MacRae. Mereka menyatakan kesedihan mendalam setelah mengetahui bahwa anggota keluarga mereka tidak menerima penghormatan yang layak setelah wafat. Hal ini menunjukkan pentingnya penghormatan dan pengakuan terhadap jasa para pahlawan yang telah berkorban demi negara.

Pada masa Perang Dunia II, banyak eksperimen medis dilakukan oleh dokter Nazi terhadap para tahanan di kamp konsentrasi. Penelitian semacam ini sering kali dilakukan tanpa persetujuan dan menggunakan metode yang kejam. Kasus MacRae menjadi salah satu contoh betapa tragisnya kebijakan tidak manusiawi yang terjadi saat itu, di mana prajurit dan warga sipil menjadi korban.

Berita ini menuai reaksi keras dari masyarakat dan sejarawan, yang menyerukan pentingnya pengakuan atas kejahatan kemanusiaan selama perang. Banyak pihak mendesak pemerintah untuk menyelidiki lebih lanjut agar insiden serupa tidak terulang. Hal ini mencerminkan kesadaran masyarakat terhadap sejarah serta dampaknya bagi generasi mendatang.

Terungkapnya fakta bahwa Donnie MacRae dimakamkan tanpa otak menjadi pengingat akan pentingnya menjaga martabat manusia, bahkan setelah meninggal. Harapan pun muncul agar temuan ini membuka diskusi lebih luas tentang etika dalam penelitian medis serta perlindungan hak asasi manusia. Melihat masa lalu dengan keberanian menjadi langkah awal menuju rekonsiliasi dan pemulihan bagi semua pihak yang terdampak.