Langkah Besar! Korea Utara Luncurkan Kapal Selam Nuklir Pertama

Korea Utara untuk pertama kalinya mengungkap pembangunan kapal selam bertenaga nuklir melalui serangkaian foto yang dirilis oleh kantor berita negara, KCNA. Langkah ini semakin memperkuat ambisi Pyongyang dalam memperluas kapabilitas militernya, terutama di bidang persenjataan bawah laut.

Kim Jong Un Tinjau Pembangunan Kapal Selam Nuklir

Dalam laporan yang dipublikasikan pada Sabtu (8/3), KCNA membagikan sejumlah foto yang menunjukkan kunjungan pemimpin tertinggi Korea Utara, Kim Jong Un, ke sebuah galangan kapal. Dalam kunjungan tersebut, Kim tampak meninjau langsung proyek pembangunan kapal selam yang disebut sebagai “kapal selam berpemandu rudal strategis bertenaga nuklir”.

Meskipun KCNA tidak mengungkap detail spesifikasi kapal selam tersebut, para analis militer mulai berspekulasi mengenai kemampuan kapal ini.

Menurut Moon Keun Sik, seorang pakar kapal selam dari Universitas Hanyang, Seoul, kapal perang ini diperkirakan memiliki bobot antara 6.000 hingga 7.000 ton dan mampu membawa sekitar 10 rudal. Ia juga menyoroti penggunaan istilah “rudal berpemandu strategis”, yang mengindikasikan bahwa kapal ini kemungkinan dapat membawa senjata nuklir.

“Kapal ini benar-benar akan menjadi ancaman bagi kami [Korea Selatan] dan Amerika Serikat,” ujar Moon.

Reaksi AS dan Kemungkinan Keterlibatan Rusia

Menanggapi laporan ini, Juru Bicara Dewan Keamanan Nasional AS, Brian Hughes, mengonfirmasi bahwa Washington telah mengetahui proyek pembangunan kapal selam tersebut. Namun, ia menegaskan bahwa pihaknya belum memiliki informasi lebih lanjut.

“AS tetap berkomitmen untuk mencapai denuklirisasi penuh di Korea Utara,” ujar Hughes kepada The Korea Times.

Di sisi lain, muncul pertanyaan mengenai bagaimana Korea Utara, yang dikenal sebagai negara dengan keterbatasan sumber daya akibat sanksi internasional, dapat mengembangkan kapal selam bertenaga nuklir.

Moon Keun Sik menduga bahwa Pyongyang mungkin mendapatkan bantuan teknologi dari Rusia sebagai imbalan atas pasokan senjata dan tenaga militer yang diberikan kepada Moskow dalam perang melawan Ukraina.

Langkah Besar dalam Ambisi Militer Korea Utara

Kapal selam nuklir telah lama menjadi salah satu impian terbesar Kim Jong Un. Pada tahun 2021, ia menegaskan bahwa Korea Utara membutuhkan kapal selam bertenaga nuklir untuk menghadapi ancaman militer dari Amerika Serikat. Selain itu, Kim juga menekankan perlunya pengembangan persenjataan lain, termasuk:

  • Rudal balistik antarbenua berbahan bakar padat
  • Senjata hipersonik
  • Satelit mata-mata
  • Rudal multihulu ledak

Sejak pernyataan tersebut, Korea Utara telah melakukan serangkaian uji coba untuk merealisasikan ambisi militernya.

Sementara itu, kemampuan Korea Utara dalam meluncurkan rudal dari bawah air telah menjadi kekhawatiran serius bagi Korea Selatan. Sistem pertahanan Seoul akan lebih sulit mendeteksi serangan semacam itu dibandingkan dengan rudal yang diluncurkan dari darat.

Misteri Kapal Selam Nuklir Korea Utara

Meski Korea Utara telah mengklaim pada 2023 bahwa mereka telah meluncurkan “kapal selam nuklir taktis” pertama, banyak ahli pertahanan global yang meragukan klaim tersebut. Beberapa pihak menduga kapal yang dimaksud masih menggunakan tenaga diesel.

Saat ini, Korea Utara diperkirakan memiliki sekitar 70 hingga 90 kapal selam bertenaga diesel, menjadikannya salah satu armada kapal selam terbesar di dunia. Namun, sebagian besar kapal tersebut sudah usang dan hanya mampu meluncurkan torpedo serta ranjau, bukan rudal balistik.

Hingga saat ini, belum ada konfirmasi mengenai apakah Korea Utara benar-benar telah mengoperasikan kapal selam bertenaga nuklir. Namun, jika proyek ini berhasil, maka akan menjadi perubahan signifikan dalam kekuatan militer negara tersebut serta meningkatkan ketegangan di Semenanjung Korea.

Hamas Serukan Persiapan Gencatan Senjata, Israel Ingin Perpanjang Durasi

Perbedaan pandangan antara Israel dan Hamas kembali memanas mengenai masa depan gencatan senjata, terutama setelah berakhirnya fase pertama yang dilaksanakan pada Sabtu (1/3). Isu ini semakin mencuat setelah Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyetujui proposal dari Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang menawarkan perpanjangan gencatan senjata hingga akhir Ramadan dan Paskah Yahudi pada pertengahan April. Netanyahu menerima rencana yang disusun oleh utusan Presiden AS, Steve Witkoff, yang bertujuan untuk menjaga ketenangan di wilayah tersebut dalam beberapa bulan mendatang.

Namun, sikap Hamas berbeda jauh. Mereka menolak perpanjangan gencatan senjata tersebut dan lebih memilih untuk melanjutkan pembicaraan menuju fase kedua dari perjanjian gencatan senjata. Fase pertama yang berlangsung dari 19 Januari hingga 3 Maret 2025, mencatatkan pembebasan ratusan warga Palestina oleh Israel, sedangkan Hamas melepaskan 25 warga Israel.

Fase kedua, menurut Hamas, akan menjadi titik balik untuk pelepasan lebih banyak sandera yang masih berada di Gaza serta membuka peluang untuk gencatan senjata permanen. Pemimpin Hamas, Mahmoud Mardawi, menekankan bahwa langkah pertama menuju stabilitas kawasan adalah menuntaskan perjanjian ini dengan implementasi fase kedua.

Ketegangan ini turut mendapat perhatian luas dari berbagai pihak internasional. Para pemimpin dunia khawatir bahwa ketegangan ini bisa kembali memicu perang besar, setelah 15 bulan penderitaan yang dialami oleh warga Gaza dan Palestina. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Antonio Guterres, memperingatkan akan potensi dampak buruk dari kembalinya kekerasan. Ia menegaskan bahwa gencatan senjata permanen serta pelepasan sandera adalah langkah kunci untuk menghindari eskalasi yang lebih parah.

Sementara itu, dukungan militer dari Amerika Serikat kepada Israel tetap berlanjut meskipun gencatan senjata sedang berlangsung. Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, mengungkapkan bahwa mereka akan mempercepat pengiriman bantuan militer senilai US$4 miliar (sekitar Rp66,2 triliun) ke Israel, dengan alasan untuk memastikan stabilitas di kawasan tersebut.

Situasi yang penuh ketegangan ini tentu saja menjadi perhatian besar dunia internasional, yang terus mengawasi perkembangan gencatan senjata antara kedua pihak ini. Keputusan yang diambil dalam beberapa hari ke depan akan sangat menentukan apakah perdamaian dapat tercapai atau ketegangan yang lebih besar akan terjadi.

Trump Mengklaim Putin Ingin Perang Rusia-Ukraina Berakhir Tanpa Korban

Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, baru-baru ini mengungkapkan bahwa ia telah melakukan pembicaraan dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin, melalui telepon untuk membahas kemungkinan menghentikan perang yang telah berlangsung di Ukraina. Dalam wawancara eksklusif yang diterbitkan oleh New York Post pada Jumat, 7 Februari 2025, Trump berbicara tentang isi percakapan mereka dan menyampaikan kekhawatirannya mengenai tingginya jumlah korban jiwa yang terus berjatuhan akibat konflik tersebut.

Trump mengungkapkan, meskipun ia memilih untuk tidak merinci berapa kali keduanya berbicara, ia meyakini bahwa Putin “peduli” dengan hilangnya nyawa di medan perang. “Ia ingin melihat orang-orang berhenti sekarat,” kata Trump, merujuk pada penderitaan yang dialami oleh rakyat Ukraina. Menurut Trump, ribuan orang yang tewas—termasuk remaja dan orang muda—terasa sangat tragis dan tidak bisa diterima. Ia menggambarkan mereka sebagai “anak-anak,” yang berarti kehilangan nyawa mereka tidak pernah memiliki alasan yang jelas dan membebani hati banyak pihak.

Mantan presiden AS ini juga menegaskan bahwa jika ia masih memimpin Amerika Serikat pada tahun 2022, perang ini tidak akan pernah terjadi. Trump mengungkapkan bahwa ia memiliki hubungan baik dengan Putin dan menyalahkan Presiden Joe Biden atas kegagalan untuk menyelesaikan masalah ini, menyebutnya sebagai “memalukan bagi bangsa kita.”

Trump melanjutkan dengan menyatakan bahwa ia memiliki rencana konkret untuk mengakhiri perang Rusia-Ukraina yang telah berlangsung lebih dari tiga tahun. Ia berharap agar konflik ini segera berakhir, mengingat setiap hari ada nyawa yang melayang, terutama di Ukraina yang kini dilanda kehancuran besar. “Perang ini sangat buruk, saya ingin mengakhiri hal terkutuk ini,” tambahnya.

Selain itu, Trump mengungkapkan bahwa ia berencana untuk melakukan negosiasi dengan Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, pada Konferensi Keamanan Munich yang akan berlangsung minggu depan. Dalam pertemuan tersebut, Trump berharap dapat mencapai kesepakatan senilai $500 juta dengan Ukraina, yang melibatkan akses ke mineral dan gas tanah jarang yang ada di negara itu, sebagai bagian dari jaminan keamanan dalam potensi penyelesaian perdamaian yang akan datang.

Pernyataan Trump ini mencerminkan upaya berkelanjutan dari pihaknya untuk mencari solusi atas perang yang telah menciptakan penderitaan besar bagi Ukraina dan dunia internasional. Namun, masih ada ketidakpastian mengenai apakah Putin benar-benar bersedia untuk mengakhiri konflik ini atau lebih memilih untuk melanjutkan ambisi militernya. Sebagai salah satu tokoh yang paling berpengaruh dalam politik dunia, langkah Trump menuju perundingan damai ini akan memengaruhi dinamika geopolitik global dalam waktu dekat.

Penolakan Keras Warga Gaza Terhadap Relokasi Trump: Menghindari Trauma Nakba 1948

Warga Palestina di Jalur Gaza menegaskan bahwa mereka tidak akan pernah meninggalkan tanah kelahiran mereka, meskipun Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengusulkan relokasi ke negara lain. Dalam konferensi pers di Gedung Putih pada Selasa (6/2/2025), Trump, yang didampingi oleh Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, mengusulkan bahwa Amerika Serikat dapat mengambil alih kendali jangka panjang atas Gaza serta mengusulkan pemindahan warga Palestina ke Yordania atau Mesir.

Namun, bagi warga Gaza, opsi meninggalkan tanah mereka bukanlah pilihan. “Kami hanya memiliki dua pilihan: hidup atau mati di sini,” ujar Ahmed Halasa (41), warga Kota Gaza, sambil berdiri di antara reruntuhan bangunan akibat perang. Sejak akhir Januari, ratusan ribu warga yang sebelumnya mengungsi telah kembali ke wilayah Gaza utara yang hancur, meskipun infrastruktur di sana telah luluh lantak dan pasokan kebutuhan dasar sangat terbatas.

“Kami kembali meskipun segalanya telah hancur. Tidak ada air, listrik, atau kebutuhan pokok lainnya,” kata Ahmed Al Minawi (24), yang kembali ke Kota Gaza bersama keluarganya. “Tapi satu hal yang pasti, kami menolak untuk diusir dari tanah kami.”

Banyak warga yang mendapati rumah mereka telah rata dengan tanah, namun mereka tetap bertahan dengan membangun tenda seadanya di antara puing-puing. Badri Akram (36) menegaskan bahwa usulan relokasi dari Trump tidak akan mengubah keputusan mereka. “Lihatlah rumah saya, sudah hancur. Tapi saya tetap memilih tidur di atas puing-puing ini daripada meninggalkan tanah saya,” tegasnya.

Trump juga sempat mengusulkan rencana pembangunan kembali Gaza menjadi “Riviera di Timur Tengah”. Namun bagi warga Palestina, yang lebih mereka khawatirkan adalah ancaman pengusiran paksa. Banyak yang membandingkan wacana ini dengan peristiwa “Nakba” atau “malapetaka” pada 1948, ketika ratusan ribu warga Palestina dipaksa meninggalkan tanah mereka setelah berdirinya Israel. “Kami sudah berjuang melawan pengusiran sejak 1948. Kami tidak akan pernah pergi,” ujar Minawi.

Badan Pangan Dunia PBB (WFP) mencatat bahwa dalam beberapa hari terakhir, sekitar 500.000 warga telah kembali ke Gaza utara. Pada Rabu (5/2/2025), suasana di Kota Gaza mulai menunjukkan tanda-tanda kehidupan, dengan pedagang kembali berjualan, kendaraan melintas, serta warga yang berjalan di antara puing-puing bangunan.

Penolakan terhadap gagasan relokasi juga datang dari warga Palestina di Tepi Barat yang masih berada di bawah pendudukan Israel. “Kami tidak akan meninggalkan tanah ini, bahkan jika mereka membawa semua tank di dunia,” tegas Umm Muhammad Al Baytar, warga Ramallah. “Serangan udara sekalipun tidak akan mampu mengusir kami dari tanah kami,” tambahnya.

Bagi warga Palestina, bertahan di tanah kelahiran mereka adalah bentuk perlawanan terhadap segala bentuk penindasan. Meski dihantui ketidakpastian, mereka tetap berpegang teguh pada hak mereka untuk tinggal dan berjuang di tanah yang telah mereka huni selama berabad-abad.

Iran: Israel Gagal di Medan Perang, Terpaksa Berunding dengan Hamas

Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, menegaskan bahwa Israel tidak berhasil mencapai satu pun dari tujuan militernya selama agresi di Jalur Gaza yang telah berlangsung selama 16 bulan. Ia juga menyoroti bagaimana rezim Zionis akhirnya terpaksa berunding dengan kelompok pejuang Palestina, Hamas.

Pernyataan ini disampaikan Araghchi dalam konferensi bertajuk “Badai Al-Aqsa dan Gaza: Realitas dan Narasi” yang digelar di Teheran pada Selasa (4/2). Dalam kesempatan tersebut, ia menekankan pentingnya narasi dalam kebijakan luar negeri, khususnya dalam konflik Palestina-Israel.

Peran Diplomasi, Media, dan Operasi Lapangan

Araghchi menjelaskan bahwa diplomasi dan operasi lapangan merupakan dua aspek yang tidak bisa dipisahkan dan harus berjalan secara terpadu. Ia juga menegaskan bahwa media memiliki pengaruh besar dalam membentuk persepsi publik terhadap konflik yang terjadi.

“Kita bisa saja menang dalam diplomasi maupun pertempuran di lapangan, tetapi jika kita gagal dalam perang media, maka kemenangan itu bisa berubah menjadi kekalahan. Begitu juga sebaliknya,” ujarnya, dikutip dari kantor berita IRNA.

Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa selama bertugas di Kementerian Luar Negeri Iran, pihaknya selalu mengoordinasikan strategi diplomasi dan operasi lapangan dengan baik.

“Diplomasi kami adalah bagian dari pertempuran di lapangan, begitu pula sebaliknya. Media juga menjadi bagian penting dalam perjuangan ini,” tambahnya.

Perlawanan Palestina dan Kegagalan Israel di Gaza

Araghchi menyoroti Operasi Badai Al-Aqsa yang dilakukan oleh kelompok perlawanan Palestina, yang menurutnya menjadi bukti bahwa Israel tidak mampu mencapai tujuannya di Gaza. Ia menegaskan bahwa perlawanan di Palestina bukan sekadar perjuangan militer, tetapi sebuah gerakan ideologis yang tidak dapat dihancurkan hanya dengan serangan udara atau kekerasan.

“Perlawanan adalah sebuah cita-cita dan sekolah pemikiran yang tidak bisa diberantas hanya dengan bom atau senjata,” katanya. “Senjata utama perlawanan bukanlah persenjataan konvensional, melainkan semangat pengorbanan para pejuangnya.”

Israel Dipaksa Berunding dengan Hamas

Araghchi juga menyoroti bahwa setelah 16 bulan melakukan serangan terhadap Gaza, Israel di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu akhirnya harus bernegosiasi dengan Hamas.

Selain itu, ia juga menyinggung tekanan yang dihadapi oleh Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) dalam menyelidiki dugaan kejahatan perang yang dilakukan oleh Israel. Araghchi menekankan bahwa upaya diplomasi terus dilakukan agar dunia internasional mengakui pelanggaran hukum yang terjadi di Gaza.

Konflik di Jalur Gaza masih berlangsung dan terus menjadi sorotan dunia, dengan berbagai pihak menyerukan gencatan senjata dan solusi damai.

Rusia Menghadapi Kehilangan Besar Di Kursk: Lebih Dari 38.000 Pasukan Tewas

Pada tanggal 2 Januari 2025, laporan terbaru mengindikasikan bahwa Rusia mengalami kehilangan besar di wilayah Kursk, dengan lebih dari 38.000 pasukan tewas sejak dimulainya konflik dengan Ukraina. Data ini mencerminkan dampak signifikan dari pertempuran yang berkepanjangan dan intensitas serangan yang terjadi di kawasan tersebut.

Kursk telah menjadi salah satu titik pertempuran paling sengit dalam konflik Rusia-Ukraina. Sejak serangan balasan Ukraina pada Agustus 2024, wilayah ini telah menjadi medan tempur utama, dengan kedua belah pihak terlibat dalam pertempuran yang berkepanjangan. Sumber militer Ukraina melaporkan bahwa Rusia telah mengerahkan sekitar 59.000 tentara untuk mempertahankan posisi mereka di Kursk, tetapi kehilangan yang dialami sangat besar.

Kehilangan lebih dari 38.000 tentara menunjukkan tantangan besar bagi militer Rusia dalam mempertahankan kekuatan mereka di lapangan. Angka ini mencakup prajurit yang tewas dalam pertempuran langsung serta mereka yang mengalami cedera berat. Situasi ini dapat mempengaruhi moral pasukan dan kemampuan Rusia untuk melanjutkan operasi militer secara efektif.

Ukraina terus melancarkan serangan untuk merebut kembali wilayah yang hilang, dan laporan menunjukkan bahwa mereka berhasil menangkis banyak serangan dari pasukan Rusia. Dengan strategi yang terfokus pada penggangguan alur pasokan dan serangan balik yang terencana, militer Ukraina berusaha memanfaatkan kelemahan lawan mereka. Ini menunjukkan bahwa meskipun mengalami kerugian, Ukraina tetap berkomitmen untuk mempertahankan wilayahnya.

Kehilangan besar-besaran di Kursk menarik perhatian komunitas internasional, dengan banyak negara mengecam tindakan agresi Rusia terhadap Ukraina. Para pemimpin dunia menyerukan penyelesaian damai dan mendesak agar semua pihak menghormati hak asasi manusia serta perlindungan warga sipil selama konflik berlangsung. Ini menunjukkan bahwa situasi di Kursk tidak hanya berdampak pada kedua negara tetapi juga memiliki implikasi global.

Dengan lebih dari 38.000 pasukan Rusia tewas di Kursk, semua pihak kini diharapkan untuk merenungkan dampak dari konflik berkepanjangan ini. Tahun 2025 menjadi tahun penting bagi kedua negara untuk mencari solusi damai dan mengurangi penderitaan yang dialami oleh masyarakat sipil. Kehilangan besar ini juga menunjukkan perlunya pendekatan baru dalam menyelesaikan konflik yang telah berlangsung terlalu lama, demi masa depan yang lebih baik bagi rakyat Ukraina dan Rusia.

Kanselir Jerman Akan Bahas Penyelesaian Perang Ukraina Bersama Presiden Terpilih Donald Trump

Berlin — Kanselir Jerman, Olaf Scholz, dijadwalkan untuk mengadakan pertemuan dengan presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump, untuk membahas langkah-langkah strategis dalam penyelesaian perang Ukraina. Pertemuan ini akan diadakan dalam waktu dekat dan dipandang sebagai kesempatan penting untuk mengatur kerjasama antara Eropa dan Amerika dalam menciptakan solusi damai yang dapat mengakhiri konflik yang telah berlangsung lebih dari tiga tahun. Pembahasan tersebut diharapkan dapat memfasilitasi jalan menuju gencatan senjata yang langgeng.

Kanselir Scholz, yang telah lama menjadi pendukung utama Ukraina dalam menghadapi agresi Rusia, menegaskan pentingnya diplomasi dalam menyelesaikan konflik tersebut. Scholz berharap untuk mendapatkan dukungan lebih dari Trump yang diperkirakan akan membawa kebijakan luar negeri yang lebih pragmatis dan berbeda dibandingkan pemerintahan sebelumnya. Dengan latar belakang pengalaman Trump dalam menangani kebijakan internasional, Scholz berharap pertemuan ini dapat membuka jalan bagi penyelesaian yang lebih efektif dan cepat.

Presiden terpilih, Donald Trump, telah mengungkapkan keinginannya untuk mengubah pendekatan Amerika Serikat terhadap perang Ukraina. Trump yang dikenal dengan pendekatan diplomatik yang lebih langsung dan sering kontroversial, mengatakan bahwa ia akan lebih fokus pada upaya untuk mencapai perdamaian dengan melibatkan lebih banyak dialog langsung antara pihak-pihak yang terlibat. Keberadaan Trump sebagai pemimpin yang akan datang diharapkan memberi dorongan bagi solusi baru yang lebih inklusif dan berbasis pada hasil nyata.

Peran Jerman dan Amerika Serikat dalam menangani perang Ukraina sangatlah krusial. Jerman, sebagai salah satu kekuatan utama di Eropa, telah berperan dalam memberikan bantuan militer dan kemanusiaan kepada Ukraina, sementara Amerika Serikat memberikan dukungan serupa. Melalui pembicaraan ini, kedua negara berharap dapat menciptakan sebuah kesepakatan yang akan menghentikan eskalasi lebih lanjut dari konflik ini, sekaligus mengurangi ketegangan antara Rusia dan negara-negara Barat.

Pertemuan antara Kanselir Scholz dan Presiden terpilih Donald Trump pada bulan Desember 2024 memberikan harapan baru bagi penyelesaian perang Ukraina. Meskipun tantangan besar masih ada, kedua pemimpin ini diharapkan dapat menemukan titik temu yang membawa perdamaian dan stabilitas di kawasan tersebut. Langkah ini juga menunjukkan komitmen kuat dari Jerman dan Amerika Serikat dalam mencari solusi damai yang adil dan berkelanjutan.

Pasukan Tentara Putin Kian Ngeri, Rusia Rebut Wilayah Ukraina Seluas Negara Singapura

Kiev — Pasukan Rusia kembali melancarkan serangan besar-besaran di wilayah timur Ukraina, berhasil merebut sebuah area yang memiliki luas hampir setara dengan negara Singapura. Keberhasilan ini menambah panjang daftar wilayah yang dikuasai oleh Rusia sejak invasi dimulai, dan semakin mempertegas dominasi pasukan Kremlin di beberapa daerah strategis di Ukraina. Kondisi ini semakin meningkatkan ketegangan di kawasan, dengan ancaman bagi stabilitas Ukraina dan Eropa.

Menurut laporan dari pemerintah Ukraina, serangan Rusia terbaru ini berhasil merebut wilayah seluas lebih dari 700 kilometer persegi di Donetsk dan Luhansk, yang kini berada di bawah kendali penuh pasukan Rusia. Area yang direbut ini setara dengan luas negara Singapura, menandakan intensitas serangan yang semakin mengkhawatirkan. Selain itu, wilayah ini kaya akan sumber daya alam dan memiliki posisi strategis, yang menjadikannya target penting dalam strategi militer Rusia untuk memperluas pengaruhnya di Ukraina.

Pakar militer menyebutkan bahwa pasukan Rusia kini menggunakan taktik yang lebih agresif dan terkoordinasi untuk mengambil alih wilayah-wilayah Ukraina. Mereka menggunakan serangan udara, artileri jarak jauh, serta pasukan darat yang lebih terlatih untuk mendominasi pertahanan Ukraina di beberapa titik vital. Taktik ini berfokus pada penghancuran infrastruktur penting dan mengisolasi pasukan Ukraina, yang semakin kesulitan untuk mempertahankan posisi mereka.

Reaksi internasional terhadap peningkatan eskalasi ini semakin meningkat, dengan negara-negara Barat seperti Amerika Serikat dan negara-negara Uni Eropa mengutuk keras langkah Rusia yang semakin agresif. Mereka kembali menegaskan dukungan kepada Ukraina dalam bentuk sanksi ekonomi yang lebih berat serta pengiriman senjata canggih untuk membantu Ukraina mempertahankan diri. Namun, banyak analis mengingatkan bahwa ketegangan ini bisa berlanjut lama jika tidak ada resolusi damai yang signifikan.

Dengan wilayah yang semakin luas jatuh ke tangan Rusia, tantangan bagi pasukan Ukraina untuk mempertahankan diri semakin besar. Meskipun tentara Ukraina telah menerima bantuan militer yang signifikan dari negara-negara Barat, mereka masih menghadapi kesulitan dalam menghadapi serangan yang datang dari pasukan Rusia yang lebih besar dan lebih terorganisir. Di sisi lain, kemenangan bagi Rusia ini memberikan Vladimir Putin keuntungan strategis dalam memperkuat klaimnya atas wilayah-wilayah yang telah dikuasai dan semakin menjauhkan kemungkinan penyelesaian diplomatik.

Meski Ada Gencatan Senjata, Pengungsi Israel Masih Enggan Pulang

Meski kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Hizbullah telah diberlakukan sejak Rabu (27/11), ribuan warga Israel yang mengungsi akibat konflik masih menolak untuk kembali ke rumah mereka. Situasi yang masih dinilai tidak sepenuhnya aman membuat banyak dari mereka enggan mengambil risiko.

Rakhel Revach, salah seorang pengungsi, mengungkapkan bahwa ia belum merasa cukup aman untuk kembali. Dalam kunjungannya singkat ke Israel untuk mengambil barang-barang pribadi, ia menegaskan bahwa jaminan keamanan menjadi syarat utama baginya untuk pulang.

“Saya tidak akan kembali tinggal di sana jika keamanan belum sepenuhnya terjamin. Selama masih ada ledakan dan keberadaan tentara, saya tidak mau pulang,” ujar Revach, seperti dilaporkan oleh France 24 pada Minggu (1/12).

Ribuan Warga Tetap Mengungsi

Revach adalah satu dari lebih dari 60 ribu warga Israel yang memilih tetap mengungsi meskipun konflik telah mereda. Sebaliknya, hampir 900 ribu warga sipil Lebanon yang sebelumnya mengungsi telah mulai kembali ke rumah mereka setelah kesepakatan gencatan senjata tercapai.

Warga berusia 57 tahun itu tinggal di Kiryat Shmona, sebuah kota di Israel utara yang terkena dampak besar akibat konflik dengan Hizbullah. Serangan yang terjadi selama konflik menyebabkan kerusakan parah, termasuk jendela pecah, tembok runtuh, dan kendaraan terbakar.

Zona Militer Tertutup

Juru bicara pemerintah Kiryat Shmona, Doron Shnaper, menyebutkan bahwa banyak penduduk daerah tersebut enggan kembali ke rumah mereka. Kota itu sebelumnya telah dinyatakan sebagai zona militer tertutup, membuatnya tidak aman untuk dihuni oleh warga sipil.

“Mereka tidak akan kembali sampai perang benar-benar dinyatakan berakhir,” ujar Shnaper.

Gencatan Senjata dan Upaya Stabilitas

Gencatan senjata antara Israel dan Hizbullah dimediasi oleh Amerika Serikat dan Prancis. Perjanjian ini mengatur bahwa tentara Lebanon akan dikerahkan di sepanjang perbatasan selatan, dibantu oleh pasukan penjaga perdamaian PBB.

Sebagai bagian dari kesepakatan, pasukan Israel juga akan secara bertahap menarik diri dari Lebanon selatan dalam kurun waktu 60 hari.

Sekretaris Jenderal Hizbullah, Naim Qassem, menyatakan bahwa pihaknya akan bekerja sama dengan tentara Lebanon untuk memastikan perjanjian gencatan senjata berjalan lancar.

“Kami akan bekerja sama untuk meningkatkan kapasitas pertahanan Lebanon dan mencegah musuh (Israel) memanfaatkan kelemahan kami,” ujar Qassem dalam pidato publiknya, seperti dilaporkan oleh Al Jazeera.

Harapan Perdamaian

Meskipun gencatan senjata telah disepakati, ketegangan yang masih tersisa membuat warga kedua negara tetap waspada. Baik Israel maupun Hizbullah diharapkan dapat memanfaatkan momen ini untuk menjaga stabilitas kawasan dan menghindari eskalasi konflik lebih lanjut.

Palestina Kritik Pembela Penjahat Perang Israel Sebagai Cerminan Rasisme Ekstrem

Pemerintah Palestina baru-baru ini mengecam pernyataan beberapa pihak yang membela tindakan tentara Israel dalam konfrontasi terbaru dengan Palestina. Palestina menilai pembelaan tersebut sebagai cerminan dari fenomena rasial ekstrem yang merugikan dan memperburuk ketegangan yang sudah ada di kawasan tersebut. Dalam pernyataan resmi yang dikeluarkan, mereka menegaskan bahwa perilaku kekerasan yang dilakukan oleh beberapa individu Israel dalam konflik yang berlangsung dapat digolongkan sebagai kejahatan perang.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Palestina menegaskan bahwa pembelaan terhadap individu-individu yang terlibat dalam tindakan kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia memperburuk kondisi perdamaian yang sudah sangat rapuh di Timur Tengah. Menurut Palestina, tindakan tersebut semakin memperjelas adanya sikap rasis dan ekstrem yang berkembang di dalam negara Israel, yang turut memicu ketegangan yang berkepanjangan. Pembelaan terhadap tentara yang terlibat dalam pelanggaran ini, kata mereka, tidak hanya menunjukkan ketidakpedulian terhadap prinsip-prinsip kemanusiaan, tetapi juga memperburuk potensi perdamaian di masa depan.

Isu rasial dalam konflik Israel-Palestina memang telah lama menjadi topik yang sangat sensitif. Palestina berpendapat bahwa ada kecenderungan untuk mengabaikan hak-hak mereka sebagai bangsa yang dijajah, sementara pihak-pihak tertentu di Israel seringkali melakukan pembenaran atas kekerasan yang terjadi terhadap warga Palestina. Dalam banyak kasus, pengadilan dan tindakan hukum terhadap pelanggaran hak asasi manusia oleh pihak Israel sering dianggap tidak adil dan tidak transparan. Keadaan ini memperburuk ketidakpercayaan dan meningkatkan ketegangan antara kedua belah pihak.

Pemerintah Palestina mendesak Israel untuk segera mengusut dan mengambil tindakan tegas terhadap individu-individu yang terbukti melakukan kejahatan perang atau pelanggaran hak asasi manusia selama konflik. Mereka meminta komunitas internasional untuk tidak lagi membiarkan pembelaan terhadap penjahat perang yang dapat merusak upaya perdamaian. Palestina juga menginginkan adanya pengakuan internasional yang lebih besar terhadap hak mereka untuk hidup dalam kedamaian dan tanpa penindasan.

Pernyataan Palestina mengenai pembelaan terhadap penjahat perang Israel mencerminkan keprihatinan besar terhadap situasi kemanusiaan di wilayah tersebut. Mereka menganggap bahwa rasime dan pembelaan terhadap kekerasan ini hanya akan memperburuk ketegangan yang sudah ada dan menghambat upaya-upaya perdamaian di masa depan. Diharapkan dengan desakan tersebut, lebih banyak pihak akan terlibat dalam mendesak penyelesaian damai yang lebih adil di Timur Tengah.