Inggris Tolak Isolasi Ekonomi China Demi Kesepakatan Tarif dengan AS

Pemerintah Inggris menegaskan bahwa mereka tidak akan memutuskan hubungan ekonomi dengan China hanya demi memperoleh kesepakatan pelonggaran tarif dari Amerika Serikat. Hal tersebut dilaporkan oleh inews pada Rabu (16/4), mengutip pernyataan dari seorang sumber pemerintah. Langkah ini muncul sebagai respons terhadap laporan The Wall Street Journal yang menyebut bahwa AS berencana meminta komitmen dari mitra dagangnya untuk mengisolasi China secara ekonomi sebagai syarat dalam pembahasan tarif impor.

Namun, Inggris menganggap bahwa menyatukan pembicaraan mengenai tarif dan hubungan dengan China dalam satu forum tidaklah tepat. Pemerintah Inggris memilih untuk tetap menjalankan pendekatan yang bersifat pragmatis terhadap Beijing, tanpa mencampurkan tekanan dagang AS ke dalam kebijakan luar negeri mereka terhadap China. Sumber resmi menyatakan bahwa posisi Inggris terhadap China tidak berubah, dan mereka tetap ingin menjaga hubungan yang stabil dengan negara Asia tersebut.

Sementara itu, Presiden AS Donald Trump pada awal April telah menandatangani perintah eksekutif yang menetapkan tarif dasar sebesar 10 persen untuk berbagai produk impor. Tarif lebih tinggi dikenakan kepada 57 negara yang memiliki defisit dagang besar terhadap AS. Pada 9 April, tarif dasar tersebut mulai berlaku untuk lebih dari 75 negara selama 90 hari, dengan pengecualian terhadap China yang masih menjadi pusat ketegangan dagang.

Perang dagang antara dua kekuatan ekonomi besar itu pun terus memanas. Saat ini, tarif AS terhadap produk asal China melonjak hingga 145 persen, sementara China membalas dengan tarif sebesar 125 persen terhadap barang-barang dari Amerika. Inggris, di sisi lain, berusaha menjaga keseimbangan hubungan ekonomi tanpa terseret lebih dalam ke dalam konflik tersebut.

75 Tahun Persahabatan Indonesia-China: Dari Sejarah Panjang hingga Kerja Sama Strategis

Hubungan diplomatik antara Indonesia dan Tiongkok baru saja memasuki usia ke-75 tahun pada 13 April lalu, dan peringatan ini menjadi momentum penting di tengah kondisi dunia yang penuh ketidakpastian. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Lin Jian, menegaskan bahwa kerja sama strategis antara kedua negara semakin relevan dalam menghadapi tantangan global. Ia menyebut Indonesia dan China sebagai dua negara berkembang utama yang memiliki pengaruh besar dalam tatanan “Global South”.

Sejak menjalin hubungan resmi pada tahun 1950, Indonesia menjadi salah satu negara Asia Tenggara pertama yang mengakui China secara diplomatis. Kedekatan ini sempat mengalami pasang surut, khususnya setelah peristiwa 1965 yang membuat hubungan kedua negara sempat dibekukan hingga tahun 1990. Namun, setelah masa reformasi, hubungan ini kembali menguat, ditandai dengan pengesahan Kemitraan Strategis pada 2005, dan ditingkatkan menjadi Kemitraan Strategis Komprehensif pada 2013.

Presiden Xi Jinping dan Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini juga bertukar ucapan selamat dan sepakat untuk mempererat kerja sama demi pembangunan dan modernisasi negara masing-masing. Proyek-proyek besar seperti Kereta Cepat Jakarta-Bandung menjadi simbol konkret dari kolaborasi kedua negara.

Tercatat, nilai perdagangan bilateral Indonesia-China pada tahun 2024 mencapai 147,78 miliar dolar AS. Investasi langsung dari China pun terus meningkat, menjadikannya investor terbesar ketiga setelah Singapura dan Hong Kong. Dengan latar belakang sejarah panjang dan kepentingan strategis yang terus bertumbuh, kemitraan ini diperkirakan akan semakin kuat di masa mendatang.

AS Siapkan Tarif Impor Baru, Ponsel dan Laptop Bakal Terkena Imbas Tarif Semikonduktor

Pemerintah Amerika Serikat tengah mempersiapkan kebijakan baru terkait tarif impor, yang akan berdampak pada sejumlah produk elektronik, termasuk ponsel pintar dan laptop. Langkah ini merupakan bagian dari rencana pengenaan tarif sektoral terhadap produk semikonduktor. Meskipun sebelumnya beberapa perangkat sempat dikecualikan dari tarif timbal balik era Trump, Menteri Perdagangan AS Howard Lutnick menegaskan bahwa pengecualian tersebut tidak bersifat mutlak.

Sebelumnya, US Customs and Border Protection (CBP) mengumumkan daftar produk yang dikecualikan dari tarif tinggi, termasuk chip memori, komputer, dan komponen elektronik lainnya. Namun, menurut Lutnick, produk-produk tersebut akan diperlakukan secara berbeda dengan dimasukkan dalam kategori tersendiri yang dikenai tarif sektoral semikonduktor.

Kebijakan ini muncul setelah Presiden Trump membebaskan produk seperti ponsel pintar dan komputer dari tarif impor sebesar 145 persen yang diterapkan terhadap barang-barang dari Tiongkok. Bahkan, mereka juga dibebaskan dari tarif global sebesar 10 persen yang baru saja diberlakukan. Namun, dengan kebijakan baru ini, barang-barang tersebut akan tetap dikenai tarif dalam bentuk lain.

Pengecualian yang diumumkan CBP mulai berlaku pada 5 April 2025 pukul 12.01 EDT, mencakup juga perangkat seperti sel surya dan kartu memori. Pemerintah berharap, kebijakan ini bisa mendorong relokasi rantai pasok teknologi ke wilayah AS. Howard Lutnick menambahkan bahwa meskipun produk-produk itu tidak dimasukkan dalam tarif timbal balik, mereka tetap akan dikenai tarif semikonduktor dalam waktu dekat.

Eropa dan China Bahas Ketegangan Dagang Imbas Kebijakan Tarif AS

Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen, menyampaikan keprihatinannya kepada Perdana Menteri China, Li Qiang, dalam percakapan telepon terbaru mereka. Ia memperingatkan agar kedua belah pihak berhati-hati dan tidak terjebak dalam eskalasi lebih lanjut terkait ketegangan perdagangan akibat tarif impor Amerika Serikat. Von der Leyen menekankan bahwa solusi yang dinegosiasikan adalah satu-satunya jalan untuk menjaga stabilitas sistem perdagangan global yang adil, setara, dan berdasarkan aturan yang jelas.

Dalam pernyataan resmi Komisi Eropa, Ursula juga mengingatkan pentingnya stabilitas dan prediktabilitas dalam menjaga keseimbangan ekonomi dunia. Ia menyoroti peran strategis China dalam mencegah terjadinya pengalihan perdagangan yang dapat mengganggu pasar global. Bersama Perdana Menteri Li Qiang, mereka pun sepakat untuk membentuk mekanisme pemantauan atas potensi pengalihan perdagangan serta menyusun langkah respons yang tepat terhadap situasi tersebut.

Von der Leyen juga menekankan perlunya solusi struktural untuk menyeimbangkan kembali hubungan perdagangan bilateral. Ia mendesak China untuk memberikan akses pasar yang lebih luas bagi produk, layanan, dan bisnis asal Eropa. Dalam percakapan itu, Presiden Komisi Eropa kembali menegaskan pentingnya perdamaian yang adil dan berkelanjutan di Ukraina, menekankan bahwa jalan menuju perdamaian harus ditentukan oleh Kyiv sendiri. Ia juga mendorong China untuk mengambil peran lebih aktif dalam mendorong tercapainya proses perdamaian tersebut.

Sementara itu, Presiden AS Donald Trump baru-baru ini mengumumkan tarif tambahan sebesar 34 persen, di luar tarif 20 persen sebelumnya, dan mengancam akan menaikkan hingga 50 persen jika China tidak menghentikan aksi balas dendam. Untuk produk dari Uni Eropa, Trump juga telah menetapkan tarif impor sebesar 20 persen.

AS Capai Kesepakatan Strategis dengan Rusia dan Ukraina untuk Stabilitas di Laut Hitam

Amerika Serikat telah mencapai kesepakatan dengan Rusia dan Ukraina untuk memastikan keamanan pelayaran di Laut Hitam, mencegah penggunaan kekuatan, serta melarang pemanfaatan kapal komersial untuk kepentingan militer. Pernyataan ini diumumkan oleh Gedung Putih pada Selasa (25/3), setelah serangkaian pembicaraan tingkat teknis yang berlangsung di Riyadh, Arab Saudi, pada 23-25 Maret. Kesepakatan ini diharapkan dapat mengurangi risiko konflik di wilayah perairan strategis tersebut, yang selama ini menjadi titik ketegangan akibat perang berkepanjangan antara Rusia dan Ukraina.

Dalam negosiasi terpisah antara AS dengan masing-masing pihak, Washington menegaskan komitmennya untuk memfasilitasi dialog demi mencapai solusi damai antara Rusia dan Ukraina. Kesepakatan yang tercapai juga mencakup larangan serangan terhadap fasilitas energi kedua negara, sebagai langkah untuk mengurangi eskalasi konflik yang telah menyebabkan dampak besar terhadap pasokan energi global. AS juga berkomitmen untuk terus berperan sebagai mediator dalam memastikan bahwa kesepakatan ini dihormati oleh semua pihak yang terlibat.

Dalam perundingan antara AS dan Rusia, disepakati bahwa AS akan membantu Rusia mendapatkan kembali akses ke pasar ekspor pertanian dan pupuk global, menurunkan biaya asuransi maritim, serta meningkatkan akses ke pelabuhan dan sistem pembayaran untuk transaksi serupa. Langkah ini bertujuan untuk meredakan ketegangan ekonomi yang muncul akibat sanksi internasional yang diberlakukan terhadap Moskow. Sementara itu, dalam diskusi AS-Ukraina, Washington kembali menegaskan dukungannya terhadap upaya pertukaran tawanan perang, pembebasan tahanan sipil, serta pemulangan anak-anak Ukraina yang telah dipindahkan secara paksa akibat konflik yang berkepanjangan.

Kesepakatan ini menjadi langkah penting dalam menjaga stabilitas regional dan menunjukkan upaya diplomasi AS dalam menengahi konflik antara Rusia dan Ukraina. Dengan adanya perjanjian ini, diharapkan ketegangan di Laut Hitam dapat berkurang dan jalur perdagangan utama tetap beroperasi dengan aman. Namun, efektivitas kesepakatan ini masih akan diuji oleh dinamika politik dan militer di lapangan, serta komitmen masing-masing pihak dalam menjalankan poin-poin yang telah disepakati.

Kebijakan Tarif Trump: Ancaman bagi Ekonomi AS dan Dunia?

Alih-alih membawa dampak positif, kebijakan tarif yang diterapkan oleh Presiden AS Donald Trump justru memunculkan kekhawatiran bagi pasar keuangan, dunia usaha, dan konsumen. Sejak awal masa jabatannya, Gedung Putih secara agresif mengubah kebijakan ekonomi, yang berdampak pada Kanada, Meksiko, Eropa, hingga China. Trump bahkan memberlakukan tarif sebesar 25 persen untuk impor baja dan aluminium, yang memicu respons balik berupa kenaikan tarif dari negara-negara mitra dagang. Akibatnya, ketegangan ekonomi global meningkat, dan istilah “Trumpcession” mulai digunakan untuk memperingatkan potensi dampaknya.

Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, menyatakan bahwa ekonomi AS mungkin akan melambat dalam masa transisi yang disebutnya sebagai “periode detoksifikasi” sebelum keuntungan jangka panjang dapat dirasakan. Namun, ia tidak dapat menjamin bahwa resesi tidak akan terjadi dalam empat tahun pemerintahan Trump. Sementara itu, volatilitas di pasar saham meningkat, dengan Wall Street mencatat penurunan tajam beberapa sesi berturut-turut, yang mencerminkan berkurangnya kepercayaan investor. Sentimen konsumen di AS juga mengalami penurunan, dengan indeks Universitas Michigan merosot ke angka 57,9 pada Maret, level terendah sejak November 2022, akibat inflasi yang meningkat.

Ekonom Martin Wolf dari Financial Times memperkirakan bahwa tarif tinggi akan mendorong kenaikan harga-harga, sementara upaya Trump untuk mengalihkan produksi ke dalam negeri sulit terwujud dalam waktu dekat. Ekonom peraih Nobel, Joseph Stiglitz, juga memperingatkan bahwa kebijakan Trump berisiko bagi ekonomi AS dan global. Tarif balasan dari negara lain menyebabkan berkurangnya pasar ekspor bagi perusahaan AS dan hilangnya lapangan kerja di sektor domestik, dengan petani menjadi pihak yang paling merasakan dampaknya.

Survei yang dilakukan oleh Financial Times terhadap 49 ekonom menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi AS diproyeksikan turun ke angka 1,6 persen pada 2025, dari sebelumnya 2,3 persen. Mayoritas responden menilai bahwa ketidakpastian ekonomi AS akan menghambat pertumbuhan akibat melemahnya belanja konsumen dan investasi perusahaan. Laporan OECD juga merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi global menjadi 3,1 persen pada 2025 dan 3,0 persen pada 2026, dengan hambatan perdagangan sebagai faktor utama.

Stiglitz memperingatkan bahwa kebijakan ini bisa membawa AS ke dalam skenario stagflasi yang merugikan. Beberapa analis bahkan membandingkan kondisi ini dengan Depresi Besar pada 1930-an, yang dipicu oleh Undang-Undang Tarif Smoot-Hawley, yang menaikkan tarif atas ribuan barang impor dan memperburuk krisis ekonomi. Jika kebijakan tarif Trump terus berlanjut, ada kekhawatiran bahwa AS bisa menghadapi situasi yang lebih parah dibandingkan dengan periode kelam tersebut.

Langkah China yang Memicu Ketegangan: Dampaknya pada Ekonomi Global

Ketegangan Global Meningkat Akibat Langkah Baru China. Situasi internasional semakin memanas setelah China mengambil tindakan yang dinilai kontroversial oleh banyak negara. Dalam pernyataan resmi, pemerintah China menyampaikan kebijakan ekspor baru yang berpotensi memengaruhi pasokan global, terutama di sektor teknologi dan bahan baku strategis. Kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran di antara negara-negara yang mengandalkan produk dari China.

Dampak kebijakan tersebut mulai dirasakan, dengan adanya kemungkinan kenaikan harga pada barang elektronik dan komponen industri di pasar dunia. Negara-negara yang sangat bergantung pada impor dari China harus menghadapi tantangan baru, termasuk risiko inflasi yang meningkat. Para pakar memperingatkan bahwa berlanjutnya situasi ini dapat mengurangi daya beli masyarakat serta memperlambat pertumbuhan ekonomi di berbagai kawasan.

Sementara itu, Amerika Serikat memberikan reaksi keras terhadap kebijakan ini. Perselisihan dagang yang telah lama berlangsung antara Washington dan Beijing kembali memanas, dengan pemerintah AS mempertimbangkan pemberlakuan tarif baru terhadap produk China. Langkah ini dapat memperdalam krisis perdagangan dan meningkatkan ketidakpastian ekonomi secara global.

Sebagai respons terhadap perkembangan ini, sejumlah negara mulai berupaya mengurangi ketergantungan pada produk-produk asal China. Beberapa negara di Eropa dan Asia mulai menjalin kerja sama dengan mitra dagang alternatif untuk memastikan stabilitas pasokan. Strategi diversifikasi ini mencerminkan keinginan dunia untuk mengurangi dampak dari kebijakan unilateral yang dapat mengganggu stabilitas global.

Ketegangan yang terus meningkat menimbulkan kekhawatiran akan potensi eskalasi ke tingkat konflik yang lebih luas. Upaya diplomasi menjadi kunci untuk meredakan situasi dan mencegah terjadinya perang dagang besar-besaran. Para pemimpin dunia diharapkan mampu mencari solusi yang saling menguntungkan demi menjaga keseimbangan ekonomi internasional.

Langkah China untuk memperketat kontrol ekspor tidak hanya memengaruhi pasar domestik mereka, tetapi juga menciptakan dinamika baru di kancah global. Semua pihak kini menanti bagaimana Beijing dan negara-negara lain akan merespons tantangan ini demi stabilitas ekonomi dunia yang lebih baik.