Perdana Menteri Malaysia Abdullah Ahmad Badawi Meninggal Dunia

Mantan Perdana Menteri Malaysia, Abdullah Ahmad Badawi, meninggal dunia pada Senin, 14 April 2025, pukul 19.10 waktu setempat di Institut Jantung Negara (IJN), Kuala Lumpur. Abdullah yang merupakan PM ke-5 Malaysia, menggantikan Mahathir Mohamad dan menjabat dari Oktober 2003 hingga April 2009. Kepergiannya diungkapkan oleh Perdana Menteri Anwar Ibrahim melalui media sosialnya, yang turut mengungkapkan rasa kehilangan mendalam. Anwar menyebutkan bahwa meski mereka pernah berada di medan politik yang berbeda, Abdullah selalu menunjukkan sikap damai dan bijaksana, serta memberikan pengaruh yang menenangkan dalam dunia politik yang penuh ketegangan.

Abdullah dikenal dengan pendekatan Islam Hadhari yang menjembatani kemajuan dengan nilai-nilai moral. Di bawah kepemimpinannya, Malaysia menyaksikan berbagai reformasi penting, termasuk di bidang kehakiman, transparansi administrasi, dan pemberdayaan institusi. Bahkan, kebijakan pembukaan ruang media dan penyertaan awam menjadi salah satu pencapaian besar dalam masa pemerintahannya. Selain itu, Rancangan Malaysia Kesembilan yang digagasnya turut memacu pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia, dengan fokus pada peningkatan kesejahteraan rakyat di pedesaan dan pembangunan sektor-sektor strategis.

Abdullah lahir pada 26 November 1939 di Penang, Malaysia, dan dikenal sebagai sosok yang penuh ketenangan dan wibawa. Ia memulai karier politiknya setelah mendapatkan pendidikan di Universiti Malaya dan menjadi pemimpin aktif dalam organisasi pelajar. Keuletan dan dedikasinya pada negara membawanya ke posisi tertinggi dalam pemerintahan Malaysia. Meskipun masa jabatannya berakhir setelah Barisan Nasional kalah telak dalam pemilu 2008, Abdullah tetap dikenang sebagai pemimpin yang berbudi pekerti luhur dan selalu menegakkan nilai-nilai kemanusiaan dalam setiap tindakannya. Hingga akhir hayatnya, Abdullah dihormati sebagai tokoh negara yang mengedepankan perdamaian, ketenangan, dan kesejahteraan rakyat.

Dukungan Penuh PBB untuk Reformasi Bangladesh dan Krisis Rohingya

Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, Antonio Guterres, mengungkapkan dukungan penuh terhadap reformasi yang tengah dijalankan oleh pemerintah transisi Bangladesh. Dalam kunjungannya ke Dhaka selama empat hari, ia bertemu dengan penasihat utama negara tersebut, Muhammad Yunus, di kantornya yang berlokasi di Tejgaon. Guterres menegaskan bahwa PBB berkomitmen mendukung proses perubahan yang tengah berlangsung dan siap membantu dalam menciptakan masa depan yang berkelanjutan serta lebih adil bagi masyarakat. Kunjungan ini terjadi setelah Yunus mengambil alih jabatan pemerintahan pasca-pemberontakan rakyat yang menyebabkan mantan Perdana Menteri Sheikh Hasina melarikan diri ke India pada Agustus lalu.

Sebagai bagian dari reformasi, pemerintah transisi telah membentuk enam komisi untuk memperbaiki sistem administrasi serta tata kelola pemilihan umum, sebagaimana dituntut oleh mahasiswa dan warga sipil yang terlibat dalam pemberontakan tersebut. Sebelum bertemu dengan Yunus, Guterres juga mengadakan diskusi dengan penasihat luar negeri Bangladesh, Md. Towhid Hossain dan Khalilur Rahman, untuk membahas kondisi di negara bagian Rakhine, Myanmar, serta persiapan konferensi tingkat tinggi terkait krisis Rohingya dan minoritas lainnya.

Guterres bersama Yunus kemudian mengunjungi distrik perbatasan Cox’s Bazar di selatan Bangladesh, tempat lebih dari 1,2 juta pengungsi Rohingya berlindung setelah melarikan diri dari tindakan keras militer Myanmar pada 2017. Dalam kunjungan ini, ia berbagi iftar dengan para pengungsi dan menegaskan bahwa PBB akan berupaya mencegah pengurangan jatah makanan yang diterima para pengungsi di kamp-kamp Bangladesh. Program Pangan Dunia (WFP) baru-baru ini mengumumkan akan memangkas bantuan makanan sebesar setengah mulai 1 April karena keterbatasan dana, mengurangi tunjangan per kapita dari 12,50 dolar AS menjadi enam dolar. Amnesty International telah mengimbau komunitas internasional untuk segera memberikan bantuan guna mencegah dampak buruk bagi kehidupan para pengungsi, mengingat 95 persen rumah tangga Rohingya bergantung sepenuhnya pada bantuan kemanusiaan.