Davao Bergolak: Ribuan Pendukung Tuntut Pemulangan Duterte dari ICC

Sekitar 20.000 orang turun ke jalan di Kota Davao, Filipina, pada Minggu untuk menuntut pembebasan serta pemulangan mantan Presiden Rodrigo Duterte. Aksi ini terjadi bertepatan dengan peringatan hari jadi ke-88 kota kelahiran Duterte, yang oleh para pendukungnya diubah menjadi ajang demonstrasi besar-besaran. Mereka meneriakkan yel-yel dan menggelar doa bersama di Rizal Park, dekat balai kota, sebagai bentuk dukungan terhadap mantan presiden yang kini menghadapi persidangan di Mahkamah Pidana Internasional (ICC).

Duterte ditangkap pada Rabu (12/3) di Bandara Internasional Manila setelah kembali dari Hong Kong. Ia dibawa ke Den Haag untuk diadili atas tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan terkait ribuan pembunuhan di luar hukum selama perang narkoba yang ia canangkan saat menjabat dari 2016 hingga 2022. Sidang awal yang berlangsung pada Jumat (14/3) dipimpin oleh Hakim Julia Antoanella Motoc. Dalam persidangan yang diselenggarakan melalui tautan video, ICC mengonfirmasi identitas Duterte, memberitahukan hak-haknya, serta menetapkan jadwal untuk sidang konfirmasi dakwaan.

Wakil Presiden Filipina, Sara Duterte, yang juga putri mantan presiden, menyampaikan pesan dari ayahnya kepada para pendukungnya yang berkumpul di luar gedung ICC. Ia menenangkan massa dengan mengatakan bahwa Duterte meminta mereka untuk tetap tenang dan meyakini bahwa segalanya akan menemukan akhirnya. Pernyataan tersebut mengisyaratkan keyakinan Duterte terhadap jalannya persidangan.

Selama masa kepemimpinannya, sedikitnya 6.252 orang tewas dalam operasi antinarkoba yang dilakukan kepolisian Filipina. Namun, kelompok hak asasi manusia mengklaim bahwa jumlah korban sebenarnya jauh lebih tinggi, mencapai sekitar 27.000 orang akibat eksekusi di luar hukum yang dilakukan dalam perang narkoba Duterte.

Duterte Dalam Sorotan: ICC Kirim Surat ke Filipina untuk Penangkapan

Mantan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, kini menghadapi proses peradilan internasional setelah penangkapannya pada Selasa, 11 Maret 2025, di Bandara Internasional Ninoy Aquino, Manila. Penangkapan ini terjadi setelah Duterte mendarat dari Hong Kong, dan langsung dilakukan atas permintaan Pengadilan Kriminal Internasional (International Criminal Court/ICC).

Dalam sebuah pernyataan resmi, Istana Kepresidenan Filipina mengonfirmasi bahwa tindakan tersebut dilakukan sesuai dengan permintaan dari ICC. Pengadilan yang bermarkas di Den Haag ini telah mengirimkan surat perintah penangkapan kepada pemerintah Filipina, yang kemudian berkoordinasi dengan kepolisian internasional Interpol untuk mengeksekusi perintah tersebut.

Setelah penangkapan, Duterte segera diserahkan ke Belanda, tempat di mana proses peradilan akan dilanjutkan di ICC. Proses hukum yang dihadapi oleh Duterte berkaitan dengan tuduhan pelanggaran hak asasi manusia selama masa pemerintahannya, khususnya terkait dengan kebijakan kontroversialnya dalam perang melawan narkoba yang menyebabkan ribuan kematian.

Asisten Konsul Filipina, Kristina Conti, menyatakan bahwa Duterte harus segera diserahkan kepada negara anggota ICC. “Dia akan segera dibawa ke markas ICC di Den Haag, Belanda, untuk memulai proses peradilannya,” ungkapnya. Proses penyerahan ini menandai langkah penting dalam upaya komunitas internasional untuk mengadili kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di bawah kepemimpinan Duterte.

Meskipun Filipina menarik diri dari keanggotaan ICC pada tahun 2018, keputusan tersebut tidak menghalangi proses hukum terhadap Duterte, karena tindakan yang diduga terjadi selama masa pemerintahannya masih dapat diajukan ke pengadilan internasional. Filipina, yang sebelumnya terdaftar sebagai negara anggota ICC, memutuskan untuk menarik diri setelah kritik terhadap kebijakan perang melawan narkoba yang dianggap melanggar hak asasi manusia.

Kini, Duterte akan menjalani proses peradilan di Belanda, yang akan menjadi perhatian dunia, mengingat kontroversi besar yang mengelilingi kebijakan pemerintahannya. Dengan penangkapan ini, ICC menunjukkan komitmennya untuk menegakkan keadilan internasional dan memastikan pertanggungjawaban atas tindakan yang melanggar hukum internasional, khususnya yang terkait dengan pelanggaran hak asasi manusia.