Melawan Tarif Donald Trump China Bakal Membuat Negara Jatuh Makin Jauh Ke Dalam Utang

Jakarta — Ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat dan China kembali memanas. Terbaru, para ekonom memperingatkan bahwa jika China terus melawan kebijakan tarif tinggi yang diterapkan oleh Presiden Terpilih As Donald Trump, negara tersebut berisiko terjebak dalam siklus utang yang semakin memburuk. Meskipun sudah ada upaya diplomatik untuk meredakan ketegangan, dampak ekonomi dari tarif tersebut dapat memperburuk kondisi keuangan China.

Kebijakan tarif yang dikenakan oleh pemerintahan Trump terhadap produk-produk China pada 2018 dan 2019 telah menambah tekanan pada ekonomi terbesar kedua di dunia ini. Meskipun Biden berusaha untuk meredakan beberapa ketegangan perdagangan, banyak tarif yang masih berlaku. Tarif tinggi ini memperburuk kondisi perdagangan China dengan AS, mengurangi ekspor dan merusak daya saing produk-produk China di pasar global. Hal ini diprediksi akan semakin menggerus cadangan devisa negara dan menambah beban utang yang sudah tinggi.

Dampak dari kebijakan tarif ini sudah terlihat pada peningkatan utang baik di sektor publik maupun swasta China. Pemerintah terpaksa meningkatkan pembiayaan untuk mendukung perekonomian domestik yang lesu akibat penurunan ekspor, sementara banyak perusahaan besar yang terlibat dalam rantai pasokan global terjebak dalam utang jangka panjang. Kegagalan dalam mengatasi tarif ini akan memperburuk ketergantungan China terhadap utang luar negeri, yang bisa semakin sulit untuk dilunasi seiring dengan menurunnya pertumbuhan ekonomi.

Jika tarif tersebut terus berlaku tanpa ada penyelesaian, beberapa analis memperingatkan bahwa China bisa menghadapi potensi krisis keuangan dalam beberapa tahun ke depan. Selain utang yang semakin menumpuk, ketegangan geopolitik dengan AS dan negara-negara Barat lainnya dapat memperburuk kondisi ekonomi. Penurunan perdagangan internasional, serta pengaruh terhadap sektor manufaktur China, berisiko memperburuk ketidakstabilan politik dan sosial di dalam negeri.

Meski ada ancaman tersebut, pemerintah China berusaha keras untuk mencari solusi diplomatik dengan AS. Beberapa inisiatif perdagangan dan kesepakatan yang lebih ramah terhadap kedua belah pihak mulai dibahas untuk mengurangi ketergantungan pada kebijakan tarif. Namun, hasil perundingan ini masih belum pasti, dan banyak yang meragukan apakah China dapat bertahan dalam jangka panjang jika kebijakan tersebut terus berlanjut.

Melawan tarif yang diterapkan oleh Trump bisa membawa China pada jurang utang yang lebih dalam. Ketegangan perdagangan yang tidak terselesaikan akan memperburuk ekonomi domestik dan menambah beban utang yang terus meningkat. Untuk menghindari krisis ekonomi lebih lanjut, diperlukan langkah-langkah diplomatik yang lebih efektif guna meredakan ketegangan ini dan memitigasi dampak dari kebijakan tarif.

Singapura Terapkan Tarif PPN yang Lebih Rendah Dari Indonesia

Pada 22 November 2024, perhatian publik tertuju pada kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di Singapura yang hanya sebesar 9 persen, jauh lebih rendah dibandingkan dengan tarif PPN di Indonesia yang mencapai 11 persen. Banyak pihak, terutama pelaku usaha dan masyarakat, merasa terkejut dengan perbedaan tarif tersebut, mengingat Indonesia dan Singapura merupakan negara-negara tetangga di kawasan Asia Tenggara. Diskusi pun muncul terkait dampak dari kebijakan tarif pajak yang lebih rendah di Singapura terhadap daya saing ekonomi regional.

PPN yang lebih rendah di Singapura dianggap sebagai salah satu faktor yang mendukung pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Dengan tarif yang lebih ringan, biaya barang dan jasa di Singapura menjadi lebih terjangkau bagi konsumen, yang pada gilirannya dapat meningkatkan konsumsi domestik dan mendorong investasi. Singapura juga dikenal dengan kebijakan fiskal yang efisien dan ramah terhadap sektor bisnis, yang membuat negara ini semakin menarik bagi para investor internasional. Namun, beberapa pihak juga mengingatkan bahwa tarif PPN yang rendah harus diimbangi dengan kebijakan fiskal yang mampu mendukung pendapatan negara.

Sementara itu, Indonesia yang menerapkan tarif PPN 11 persen mulai merasakan dampak dari kebijakan ini, terutama bagi sektor bisnis dan konsumen yang menghadapi kenaikan harga barang dan jasa. Meskipun tarif PPN Indonesia lebih tinggi, pemerintah Indonesia beralasan bahwa hal ini diperlukan untuk memperkuat pendapatan negara dan mendanai pembangunan infrastruktur. Perbedaan kebijakan PPN ini memunculkan diskusi lebih lanjut tentang bagaimana masing-masing negara mengelola fiskal dan pajak untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.