Von der Leyen Sambut Langkah Trump, EU Siap Perkuat Stabilitas Ekonomi Global

Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen menyambut keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang menunda pemberlakuan tarif besar-besaran selama 90 hari. Ia menyebut langkah ini sebagai sinyal positif menuju kestabilan ekonomi dunia. Dalam pernyataan resminya pada Kamis, von der Leyen menegaskan pentingnya menciptakan situasi perdagangan yang dapat diprediksi agar rantai pasokan internasional tetap berjalan lancar. Menurutnya, tarif hanya menjadi beban tambahan bagi pelaku usaha dan konsumen, sehingga ia kembali menyerukan kesepakatan “tarif nol-untuk-nol” antara Uni Eropa dan Amerika Serikat.

Von der Leyen juga menekankan bahwa Uni Eropa tetap berkomitmen untuk menjalin dialog yang konstruktif dengan AS, demi menciptakan sistem perdagangan yang adil dan saling menguntungkan. Ia menyoroti upaya EU dalam memperluas kerja sama dagang dengan mitra global yang mencakup hampir 87 persen aktivitas perdagangan dunia. Di tengah dari tantangan ekonomi global, Eropa juga disebut tengah memperkuat pasar tunggal internalnya, yang dinilainya sebagai pilar utama ketahanan dan stabilitas ekonomi regional.

Meskipun Trump memberikan jeda penerapan tarif, China tidak termasuk dalam pengecualian tersebut. Bahkan, tarif terhadap negara tersebut justru dinaikkan hingga 125 persen. Menutup pernyataannya, von der Leyen memastikan bahwa Komisi Eropa akan terus bekerja keras demi melindungi kepentingan warga Eropa dan membawa benua tersebut keluar dari krisis dengan lebih kuat.

Eropa dan China Bahas Ketegangan Dagang Imbas Kebijakan Tarif AS

Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen, menyampaikan keprihatinannya kepada Perdana Menteri China, Li Qiang, dalam percakapan telepon terbaru mereka. Ia memperingatkan agar kedua belah pihak berhati-hati dan tidak terjebak dalam eskalasi lebih lanjut terkait ketegangan perdagangan akibat tarif impor Amerika Serikat. Von der Leyen menekankan bahwa solusi yang dinegosiasikan adalah satu-satunya jalan untuk menjaga stabilitas sistem perdagangan global yang adil, setara, dan berdasarkan aturan yang jelas.

Dalam pernyataan resmi Komisi Eropa, Ursula juga mengingatkan pentingnya stabilitas dan prediktabilitas dalam menjaga keseimbangan ekonomi dunia. Ia menyoroti peran strategis China dalam mencegah terjadinya pengalihan perdagangan yang dapat mengganggu pasar global. Bersama Perdana Menteri Li Qiang, mereka pun sepakat untuk membentuk mekanisme pemantauan atas potensi pengalihan perdagangan serta menyusun langkah respons yang tepat terhadap situasi tersebut.

Von der Leyen juga menekankan perlunya solusi struktural untuk menyeimbangkan kembali hubungan perdagangan bilateral. Ia mendesak China untuk memberikan akses pasar yang lebih luas bagi produk, layanan, dan bisnis asal Eropa. Dalam percakapan itu, Presiden Komisi Eropa kembali menegaskan pentingnya perdamaian yang adil dan berkelanjutan di Ukraina, menekankan bahwa jalan menuju perdamaian harus ditentukan oleh Kyiv sendiri. Ia juga mendorong China untuk mengambil peran lebih aktif dalam mendorong tercapainya proses perdamaian tersebut.

Sementara itu, Presiden AS Donald Trump baru-baru ini mengumumkan tarif tambahan sebesar 34 persen, di luar tarif 20 persen sebelumnya, dan mengancam akan menaikkan hingga 50 persen jika China tidak menghentikan aksi balas dendam. Untuk produk dari Uni Eropa, Trump juga telah menetapkan tarif impor sebesar 20 persen.

Hegemoni Tarif dan Perjuangan Global South di Tengah Ketidakpastian Perdagangan Dunia

Kebijakan proteksionis yang terus dijalankan oleh pemerintahan Trump memunculkan istilah “neokolonialisme tarif”, yang menggambarkan cara Amerika Serikat menggunakan bea masuk untuk menekan perkembangan adil di negara-negara Global South. Pendekatan neo-merkantilisme ini berdampak pada ketidakstabilan perdagangan global dan merugikan negara-negara yang sangat bergantung pada akses pasar AS. Ketika tarif diberlakukan, harga barang melonjak, daya saing menurun, dan Global South menjadi pihak yang paling terdampak. Jika negara-negara yang terdampak merespons dengan balasan serupa, risiko perang dagang global akan semakin nyata.

Sementara itu, Uni Eropa mencoba merespons dinamika ini dengan meningkatkan kemandirian strategis dan memperluas hubungan ekonomi dengan kawasan lain. EU aktif membangun kemitraan dengan negara-negara BRICS+, serta memperkuat hubungan dengan Turki dan kawasan Teluk. Situasi perdagangan juga diperumit oleh ketegangan antara AS dan China, dua ekonomi terbesar dunia. Walaupun hubungan mereka kompleks dan penuh tantangan, kolaborasi tetap dibutuhkan demi menghindari jebakan global dan menciptakan hubungan saling menguntungkan.

China berupaya memperkuat solidaritas dengan Global South melalui visi komunitas masa depan bersama. Pendekatan diplomatik dan dukungan ekonomi menjadi bagian dari strategi China dalam mewujudkan keamanan global yang adil dan setara. Dukungan yang kuat bagi negara-negara berkembang ditunjukkan lewat kebijakan luar negeri China yang berpihak pada negara-negara yang sering terpinggirkan dalam sistem global. Komitmen ini menjadi dasar terciptanya tatanan dunia yang lebih inklusif dan damai.

Uni Eropa Siapkan Langkah Balasan atas Tarif Trump yang Mengancam Ekonomi Global

Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen mengungkapkan bahwa Uni Eropa sedang mempersiapkan langkah balasan terhadap keputusan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang memberlakukan tarif 20 persen pada produk-produk asal Eropa. Von der Leyen menyatakan bahwa blok Eropa siap merespons langkah ini dan sedang menyiapkan paket pertama yang akan ditujukan untuk merespons tarif baja yang dikenakan oleh AS. Dalam konferensi pers yang berlangsung di Samarkand, ia juga menambahkan bahwa Uni Eropa sedang mempersiapkan langkah-langkah lebih lanjut untuk melindungi kepentingan serta bisnis mereka apabila negosiasi dengan Amerika Serikat tidak membuahkan hasil yang diinginkan. Komisioner Perdagangan dan Keamanan Ekonomi Uni Eropa, Maros Sefcovic, dilaporkan terus berkomunikasi dengan mitra-mitra Amerika guna mencari solusi terbaik. Pada hari Rabu, Trump mengumumkan kebijakan baru yang menerapkan tarif timbal balik pada barang-barang impor dari berbagai negara. Tarif dasar yang dikenakan adalah 10 persen, namun Trump menyatakan bahwa tarif tersebut akan lebih tinggi bagi negara-negara yang memiliki defisit perdagangan terbesar dengan Amerika Serikat. Gedung Putih juga mengumumkan bahwa tarif 10 persen untuk semua impor asing akan mulai diterapkan pada 5 April 2025, sementara tarif yang lebih tinggi untuk negara dengan defisit perdagangan besar akan berlaku mulai 9 April 2025. Langkah ini dipandang sebagai upaya Trump untuk menyeimbangkan ketidakseimbangan perdagangan dan memperkuat industri domestik Amerika Serikat.

Kiev Tinjau Ulang Kesepakatan Mineral dengan AS Demi Kedaulatan Ekonomi

Pemerintah Kiev berupaya menegosiasikan ulang kesepakatan mineral dengan Washington demi meningkatkan investasi dari Amerika Serikat. Menurut laporan Bloomberg, Ukraina khawatir bahwa perjanjian ini akan memberikan kendali penuh kepada AS atas proyek pertambangan mineral kritis di negara tersebut. Kiev menilai bahwa ketentuan dalam kesepakatan tersebut dapat menghambat aksesi Ukraina ke Uni Eropa dan berpotensi mewajibkan negara itu untuk mengganti seluruh bantuan militer dan ekonomi yang telah diterima sejak awal konflik.

Pada akhir Maret, pejabat Ukraina mengadakan pertemuan virtual dengan mitra mereka di Washington untuk meminta klarifikasi terkait beberapa klausul dalam rancangan perjanjian yang terdiri dari 60 halaman. Sumber yang dikutip Bloomberg menyatakan bahwa pihak AS tidak menolak keberatan yang diajukan Kiev, yang mengindikasikan adanya peluang untuk merevisi beberapa ketentuan. Namun, penyusunan proposal akhir untuk amandemen kesepakatan ini masih memerlukan banyak pekerjaan dari pihak Ukraina.

Media Ukraina melaporkan bahwa dokumen perjanjian ini melanggar sebagian besar kesepakatan sebelumnya antara Kiev dan Washington, yang berpotensi mengurangi kedaulatan negara tersebut serta bertentangan dengan rencana keanggotaannya di Uni Eropa. Selain itu, pada akhir Februari, Presiden AS Donald Trump menyatakan harapannya agar Kiev segera menyetujui mekanisme pengembalian dana bantuan yang diperkirakan mencapai 400-500 miliar dolar AS. Namun, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy menegaskan bahwa bantuan dari AS diberikan dalam bentuk hibah, bukan pinjaman yang harus dikembalikan.

Spanyol Dorong Sanksi bagi Penghalang Solusi Dua Negara di Konflik Israel-Palestina

Menteri Luar Negeri Spanyol, Jose Manuel Albares, menyatakan dukungannya terhadap penerapan sanksi bagi siapa pun yang berusaha menghambat tercapainya solusi dua negara dalam menyelesaikan konflik Israel-Palestina. Dalam wawancara dengan TVE pada Kamis, Albares menegaskan bahwa negaranya telah secara sepihak menjatuhkan sanksi terhadap pemukim Yahudi di Tepi Barat dan membawa isu ini ke tingkat Uni Eropa (EU). Spanyol, bersama Irlandia, juga mendorong EU untuk meninjau kembali Kesepakatan Asosiasi dengan Israel karena dugaan pelanggaran hukum internasional yang dilakukan oleh negara tersebut.

Albares menegaskan bahwa Spanyol menolak keras pengusiran warga Palestina di Gaza dan Tepi Barat, serta mengecam segala rencana yang berupaya merelokasi mereka, yang dianggap sebagai pelanggaran terhadap hukum internasional. Pernyataannya muncul setelah anggota parlemen Basque, Aitor Esteban, menyebut rencana Israel membentuk lembaga relokasi bagi warga Gaza sebagai tindakan genosida. Namun, Albares menegaskan bahwa penetapan suatu peristiwa sebagai genosida adalah wewenang badan hukum internasional.

Ia menambahkan bahwa Spanyol turut serta dalam gugatan yang diajukan oleh Afrika Selatan ke Mahkamah Internasional (ICJ) untuk menentukan apakah tindakan Israel di Gaza termasuk genosida. Selain itu, Spanyol juga baru saja memberikan dana sebesar 5 juta euro (sekitar Rp89,3 miliar) kepada Mahkamah Pidana Internasional (ICC) guna membantu penyelidikan terhadap dugaan kejahatan perang oleh Israel. Meski demikian, Albares menegaskan bahwa diplomasi dengan Israel tetap harus dipertahankan karena solusi dua negara membutuhkan keterlibatan penuh dari kedua pihak.

Rusia Tuntut Jaminan Keamanan Kuat dalam Pembicaraan Damai Ukraina

Rusia menegaskan bahwa mereka menginginkan jaminan keamanan yang kuat sebagai bagian dari perundingan penyelesaian konflik di Ukraina. Hal ini disampaikan oleh Wakil Menteri Luar Negeri Rusia, Alexander Grushko, dalam sebuah wawancara dengan harian Izvestia. Menurutnya, jaminan tersebut penting untuk memastikan perdamaian jangka panjang di Ukraina serta memperkuat stabilitas kawasan.

Salah satu syarat utama yang diajukan Rusia adalah status netral Ukraina serta penolakan NATO untuk menerima Kiev sebagai anggota. Grushko menuduh aliansi tersebut semakin agresif melalui tindakan militernya dan menolak keras gagasan pengerahan pasukan penjaga perdamaian di Ukraina. Ia menilai kehadiran NATO dalam misi tersebut sebagai sesuatu yang bertentangan dengan prinsip perdamaian.

Ia juga menanggapi pernyataan Presiden Prancis Emmanuel Macron tentang pasukan penjaga perdamaian sebagai upaya untuk mengalihkan perhatian dari masalah domestik di Prancis. Selain itu, Rusia juga bersikap skeptis terhadap keterlibatan OSCE dalam misi penjaga perdamaian, meskipun mereka membuka kemungkinan bagi kehadiran pengamat sipil tak bersenjata untuk mengawasi implementasi kesepakatan.

Sementara itu, Grushko tidak menutup kemungkinan adanya dialog baru antara Rusia dan Uni Eropa, meskipun belum jelas bagaimana peran Eropa dalam proses perdamaian. Sebelumnya, delegasi AS dan Ukraina bertemu di Jeddah, Arab Saudi, untuk membahas kemungkinan kesepakatan damai. Kiev menyatakan kesiapan menerima gencatan senjata selama 30 hari sesuai usulan Washington, sementara Presiden Rusia Vladimir Putin menegaskan bahwa Moskow hanya akan menyetujui perjanjian yang dapat menjamin perdamaian jangka panjang dan mengatasi akar permasalahan konflik.