Angka Bunuh Diri Di Jepang Akibat Terjebak Utang Melonjak

Pada tanggal 24 Desember 2024, data terbaru menunjukkan lonjakan signifikan dalam angka bunuh diri di Jepang, yang sebagian besar terkait dengan masalah finansial, terutama akibat terjerat utang. Dalam laporan tahunan yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan Jepang, tercatat lebih dari 30.000 kematian akibat bunuh diri pada tahun 2024, dengan lebih dari 20% di antaranya disebabkan oleh tekanan finansial, termasuk utang pribadi yang tidak terbayarkan. Lonjakan ini menjadi perhatian serius, mengingat Jepang telah lama menghadapi isu kesehatan mental yang meluas di tengah kesulitan ekonomi.

Peningkatan bunuh diri terkait utang di Jepang sebagian besar disebabkan oleh penurunan daya beli yang drastis akibat inflasi dan meningkatnya biaya hidup. Banyak individu terperangkap dalam lingkaran utang karena ketidakmampuan mereka untuk memenuhi kewajiban finansial, seperti pinjaman pribadi, kartu kredit, dan pembayaran utang lainnya. Selain itu, sistem sosial yang kurang memadai dalam memberikan dukungan kepada individu yang terlibat utang menjadi faktor penyebab utama mengapa mereka merasa terisolasi dan tertekan.

Dalam budaya Jepang, terdapat norma sosial yang kuat mengenai harga diri dan citra sosial. Rasa malu yang dalam terhadap kegagalan finansial sering kali mendorong individu untuk memilih jalan pintas, yakni bunuh diri. Keterbatasan dalam berbicara terbuka mengenai masalah keuangan atau mental juga memperburuk situasi. Banyak orang merasa enggan mencari bantuan, baik dari keluarga, teman, atau lembaga profesional, karena khawatir akan dihakimi atau dianggap lemah.

Pemerintah Jepang mulai meningkatkan upaya untuk menangani masalah ini dengan memberikan bantuan lebih besar kepada individu yang terjebak utang. Program-program konseling dan pemberian informasi terkait manajemen utang diperkenalkan untuk mencegah lebih banyak nyawa hilang. Selain itu, berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Jepang juga mulai memperkenalkan kampanye kesadaran akan pentingnya kesehatan mental dan dukungan sosial, dengan tujuan mengurangi stigma terhadap orang yang mengalami tekanan finansial dan emosional.

Melawan Tarif Donald Trump China Bakal Membuat Negara Jatuh Makin Jauh Ke Dalam Utang

Jakarta — Ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat dan China kembali memanas. Terbaru, para ekonom memperingatkan bahwa jika China terus melawan kebijakan tarif tinggi yang diterapkan oleh Presiden Terpilih As Donald Trump, negara tersebut berisiko terjebak dalam siklus utang yang semakin memburuk. Meskipun sudah ada upaya diplomatik untuk meredakan ketegangan, dampak ekonomi dari tarif tersebut dapat memperburuk kondisi keuangan China.

Kebijakan tarif yang dikenakan oleh pemerintahan Trump terhadap produk-produk China pada 2018 dan 2019 telah menambah tekanan pada ekonomi terbesar kedua di dunia ini. Meskipun Biden berusaha untuk meredakan beberapa ketegangan perdagangan, banyak tarif yang masih berlaku. Tarif tinggi ini memperburuk kondisi perdagangan China dengan AS, mengurangi ekspor dan merusak daya saing produk-produk China di pasar global. Hal ini diprediksi akan semakin menggerus cadangan devisa negara dan menambah beban utang yang sudah tinggi.

Dampak dari kebijakan tarif ini sudah terlihat pada peningkatan utang baik di sektor publik maupun swasta China. Pemerintah terpaksa meningkatkan pembiayaan untuk mendukung perekonomian domestik yang lesu akibat penurunan ekspor, sementara banyak perusahaan besar yang terlibat dalam rantai pasokan global terjebak dalam utang jangka panjang. Kegagalan dalam mengatasi tarif ini akan memperburuk ketergantungan China terhadap utang luar negeri, yang bisa semakin sulit untuk dilunasi seiring dengan menurunnya pertumbuhan ekonomi.

Jika tarif tersebut terus berlaku tanpa ada penyelesaian, beberapa analis memperingatkan bahwa China bisa menghadapi potensi krisis keuangan dalam beberapa tahun ke depan. Selain utang yang semakin menumpuk, ketegangan geopolitik dengan AS dan negara-negara Barat lainnya dapat memperburuk kondisi ekonomi. Penurunan perdagangan internasional, serta pengaruh terhadap sektor manufaktur China, berisiko memperburuk ketidakstabilan politik dan sosial di dalam negeri.

Meski ada ancaman tersebut, pemerintah China berusaha keras untuk mencari solusi diplomatik dengan AS. Beberapa inisiatif perdagangan dan kesepakatan yang lebih ramah terhadap kedua belah pihak mulai dibahas untuk mengurangi ketergantungan pada kebijakan tarif. Namun, hasil perundingan ini masih belum pasti, dan banyak yang meragukan apakah China dapat bertahan dalam jangka panjang jika kebijakan tersebut terus berlanjut.

Melawan tarif yang diterapkan oleh Trump bisa membawa China pada jurang utang yang lebih dalam. Ketegangan perdagangan yang tidak terselesaikan akan memperburuk ekonomi domestik dan menambah beban utang yang terus meningkat. Untuk menghindari krisis ekonomi lebih lanjut, diperlukan langkah-langkah diplomatik yang lebih efektif guna meredakan ketegangan ini dan memitigasi dampak dari kebijakan tarif.