Deretan Berita Internasional Paling Dicari Hari Ini

Pesawat pengebom B-52 milik Amerika Serikat (AS) kembali mengudara di wilayah Timur Tengah, kali ini dengan pengawalan beberapa jet tempur Israel. Sementara itu, kelompok Hamas merespons pernyataan Presiden AS Donald Trump yang mengancam akan ada konsekuensi serius bagi Jalur Gaza jika para sandera yang tersisa tidak segera dibebaskan.

Penerbangan ini merupakan misi ketiga dalam sebulan terakhir yang dilakukan oleh Satuan Tugas Pengebom AS atas arahan Washington.

Di sisi lain, Hamas menganggap pernyataan Trump dapat memicu Israel untuk mengabaikan kesepakatan gencatan senjata di Gaza. Juru bicara Hamas, Abdel-Latif al-Qanoua, menyatakan bahwa pembebasan sandera seharusnya dilakukan melalui tahap lanjutan gencatan senjata, bukan melalui ancaman kekerasan.

Berita Internasional Lainnya yang Menarik Perhatian Hari Ini, Kamis (6/3/2025):

Pesawat Pengebom AS Terbang di Timur Tengah, Dikawal Jet Tempur Israel

Pesawat pengebom B-52 AS kembali melakukan penerbangan di wilayah Timur Tengah pekan ini, dengan pengawalan dari jet tempur Israel. Pesawat ini terpantau melintasi kawasan Laut Mediterania.

Menurut laporan Al Arabiya, misi ini merupakan bagian dari operasi militer AS yang ditujukan untuk menunjukkan kekuatan dan komitmen terhadap sekutunya di kawasan tersebut. Meskipun tidak ada pernyataan resmi dari Washington, beberapa pejabat mengungkapkan bahwa misi ini bertujuan untuk mengirim pesan kepada pihak yang dianggap sebagai ancaman bahwa AS siap bertindak kapan saja dan di mana saja.

Kapal Induk AS Kembali Dikerahkan ke Timur Tengah, Ada Apa?

Militer AS mengumumkan pengerahan kembali kapal induk ke wilayah Timur Tengah, hanya sehari setelah Washington secara resmi memasukkan kelompok Houthi yang berbasis di Yaman ke dalam daftar organisasi teroris asing.

Menurut sumber yang dikutip oleh Al Arabiya, kapal induk USS Harry S Truman telah kembali beroperasi di bawah Komando Pusat AS (CENTCOM) di Timur Tengah. Sebelumnya, kapal ini sempat meninggalkan Laut Merah dan berlabuh di Teluk Souda bulan lalu setelah dua bulan menjalankan operasi tempur melawan serangan Houthi di wilayah tersebut.

Bom dari Jet Tempur Korsel Hantam Area Sipil, 15 Orang Terluka

Kesalahan teknis dalam latihan militer Korea Selatan menyebabkan jet tempur secara tidak sengaja menjatuhkan bom di kawasan pemukiman sipil pada Kamis (6/3). Insiden ini menyebabkan kerusakan pada sejumlah rumah dan sebuah gereja, serta melukai 15 orang.

Menurut laporan Dinas Pemadam Kebakaran Gyeonggi-do Bukbu, dua dari korban mengalami luka serius. Kejadian ini berlangsung di Pocheon, sebuah kota yang berjarak sekitar 40 kilometer dari ibu kota Seoul dan berbatasan langsung dengan Korea Utara.

Serangan Rudal Rusia Menghantam Kampung Halaman Zelensky, 3 Orang Tewas

Rudal Rusia dilaporkan menghantam sebuah hotel di Kryvyi Rig, Ukraina—kampung halaman Presiden Volodymyr Zelensky. Akibat serangan ini, sedikitnya tiga orang tewas dan lebih dari 30 lainnya mengalami luka-luka.

Moskow terus melancarkan serangan ke berbagai wilayah Ukraina, meskipun terdapat wacana mengenai kemungkinan perundingan untuk menghentikan konflik yang telah berlangsung selama lebih dari tiga tahun.

Gubernur Dnipropetrovsk, Sergiy Lysak, menyatakan bahwa serangan tersebut merusak sebuah bangunan hotel berlantai lima dan menyebabkan korban jiwa serta kerusakan infrastruktur yang cukup parah.

Trump Ancam Hamas, Minta Sandera Dibebaskan atau ‘Akan Mati’

Presiden AS Donald Trump melontarkan ancaman tegas kepada Hamas, menuntut pembebasan semua sandera yang masih ditahan di Jalur Gaza. Ia memperingatkan bahwa jika Hamas tidak segera melepaskan para sandera, maka akan ada konsekuensi serius.

“Bebaskan semua sandera sekarang, atau kalian akan mati,” tegas Trump dalam pernyataannya, sebagaimana dikutip dari AFP dan Reuters.

Juru bicara Hamas, Hazem Qasim, menanggapi pernyataan tersebut dengan menyebut bahwa ancaman Trump justru dapat memperburuk situasi dan membuat Israel semakin enggan mematuhi kesepakatan gencatan senjata yang telah dirundingkan.

Gencatan Senjata Gaza Tak Menentu, Israel dan Hamas Bersiap Hadapi Konflik Baru

Pemerintah Israel dikabarkan tengah merancang strategi baru yang disebut sebagai “rencana neraka” untuk menekan Hamas. Tujuan dari langkah ini adalah memastikan pembebasan lebih banyak sandera tanpa harus menarik pasukan dari wilayah Palestina. Salah satu kebijakan yang diterapkan adalah memperketat blokade di Jalur Gaza. Kebijakan ini diberlakukan di tengah gencatan senjata yang telah berjalan selama enam pekan, tetapi masih diwarnai ketidakpastian.

Saat ini, belum ada indikasi dimulainya fase kedua yang sebelumnya dijadwalkan berlangsung akhir pekan lalu. Akibatnya, kedua pihak bersiap menghadapi kemungkinan pecahnya kembali konflik bersenjata.

Pemerintahan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, dikabarkan telah menyiapkan langkah untuk menghentikan pasokan makanan dan bahan bakar, sebagaimana diumumkan pada Minggu (2/3/2025). Kebijakan ini merupakan bagian dari upaya isolasi yang semakin ketat terhadap Jalur Gaza, yang dihuni sekitar 2,2 juta penduduk. Mengutip laporan The Guardian, Senin (3/3/2025), rencana tersebut mencakup pemutusan total pasokan listrik dan air yang masih tersisa. Selain itu, penduduk Gaza utara akan dipindahkan ke wilayah selatan sebagai langkah antisipasi jika perang kembali pecah.

Sementara itu, Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, telah menginstruksikan Pasukan Pertahanan Israel (IDF) untuk bersiap melanjutkan operasi militer. Situs berita Walla melaporkan bahwa mulai Rabu (5/3/2025), pasukan akan beroperasi di bawah kepemimpinan Kepala Staf baru, Mayor Jenderal Eyal Zamir. Zamir dikenal sebagai pendukung strategi penggunaan kekuatan besar untuk mencapai kemenangan cepat atas Hamas di Gaza.

Di sisi lain, media Arab melaporkan bahwa Hamas juga telah bersiap menghadapi kemungkinan pertempuran kembali. Menurut laporan Al Araby Al Jadeed yang berbasis di Qatar, kelompok tersebut telah kembali ke posisi perang dan memperketat pengamanan terhadap sandera warga Israel yang masih mereka tahan. Selain itu, Hamas dilaporkan telah mengekstraksi bahan peledak dari proyektil Israel yang tidak meledak selama pertempuran sebelumnya.

Sekolah di China Terapkan Hukuman Fisik, Orang Tua Diminta Setuju

Sebuah sekolah swasta di China bagian selatan dikabarkan menerapkan kebijakan yang mewajibkan orang tua menyetujui penggunaan hukuman fisik sebagai bagian dari disiplin siswa. Berdasarkan laporan Jimu News, aturan ini memungkinkan guru memberikan hukuman berupa pemukulan pada telapak tangan siswa maksimal 10 kali per pelanggaran, sementara hukuman berdiri dapat berlangsung hingga dua jam.

“Kami ingin menanamkan rasa tanggung jawab pada siswa atas tindakan mereka agar mereka lebih sadar dalam menghindari kesalahan yang sama serta tumbuh menjadi individu yang taat aturan dan berperilaku baik,” bunyi pernyataan dalam aturan tersebut.

Menurut laporan South China Morning Post (SCMP), sekolah yang menerapkan kebijakan ini adalah Longyuan Experimental School di Yangjiang, Provinsi Guangdong. Sekolah ini juga memiliki regulasi ketat terkait penampilan siswa, seperti larangan bagi siswa laki-laki untuk berambut panjang, serta larangan bagi siswi perempuan menggunakan lipstik, cat kuku, atau perhiasan.

Dalam upaya mendorong gaya hidup sederhana, sekolah mewajibkan siswa mengenakan pakaian dengan harga di bawah 100 yuan (sekitar Rp 224.000) serta sepatu yang tidak lebih mahal dari 80 yuan (sekitar Rp 179.000). Longyuan Experimental School dikenal sebagai salah satu institusi pendidikan unggulan di daerahnya, dengan siswa yang berhasil meraih nilai tinggi dalam ujian masuk sekolah menengah selama beberapa tahun terakhir. Saat ini, sekolah tersebut menampung sekitar 2.500 siswa dari tingkat 1 hingga 9. Bagi siswa atau orang tua yang tidak setuju dengan peraturan yang ada, sekolah memberikan opsi untuk pindah ke institusi lain.

Seorang guru yang tidak disebutkan namanya menjelaskan bahwa hukuman fisik diberikan kepada siswa yang tidak menyelesaikan tugas rumah atau melakukan kesalahan di kelas. Hukuman ini hanya diterapkan seminggu sekali sebagai bentuk peringatan. Sementara itu, hukuman berdiri diberikan kepada siswa yang tertidur atau kurang fokus saat pembelajaran berlangsung.

Pihak sekolah menyatakan bahwa aturan ini telah disesuaikan dengan regulasi yang ditetapkan Kementerian Pendidikan China pada 2021 mengenai disiplin sekolah dasar dan menengah. Namun, kebijakan tersebut sebenarnya melarang segala bentuk hukuman fisik dan membatasi durasi hukuman berdiri maksimal satu jam pelajaran atau sekitar 45 menit.

Kontroversi terkait penerapan hukuman fisik di Longyuan Experimental School menarik perhatian publik pada pertengahan Februari. Kritik terhadap kebijakan ini membuat departemen pendidikan setempat meminta sekolah untuk merevisi aturan yang ada. “Kami memastikan sekolah tidak lagi meminta orang tua untuk menandatangani persetujuan terkait hukuman fisik ini,” ujar seorang pejabat setempat.

Perdebatan mengenai kebijakan ini juga ramai diperbincangkan di media sosial. Beberapa pihak menentang keras penggunaan hukuman fisik dalam dunia pendidikan, sementara yang lain justru mendukungnya. “Sekolah seharusnya mengedepankan pendekatan yang lebih lembut dalam membimbing siswa agar mereka bisa berkembang dengan baik,” komentar salah satu warganet.

Namun, ada pula orang tua yang justru mendukung kebijakan tersebut. “Sejak anak-anak saya pindah ke sekolah ini, mereka menjadi lebih disiplin dan prestasi akademik mereka meningkat. Guru juga aktif berkomunikasi dengan saya mengenai perkembangan mereka,” ujar salah satu orang tua siswa.