Walau Miskin, Kota Ini Tangguh Menolak Partai Ekstremis Kanan

Gelsenkirchen, sebuah kota di wilayah Ruhr di Jerman Barat, telah lama dikenal sebagai kota dengan kondisi ekonomi yang memprihatinkan. Berada di peringkat terendah sebagai kota termiskin di Jerman, Gelsenkirchen kini menghadapi berbagai masalah sosial dan ekonomi yang serius. Di kota ini, sampah berserakan di sepanjang jalan dan taman, dan banyak apartemen kosong yang tampak terbengkalai. Meskipun demikian, kota ini memiliki sejarah yang menarik, dan meski tantangan yang dihadapi sangat besar, beberapa upaya untuk perubahan positif terus dilakukan.

Penduduk Gelsenkirchen menghadapi kenyataan pahit: satu dari empat orang yang bekerja di sini masih harus bergantung pada tunjangan kesejahteraan sosial untuk bertahan hidup. Dengan pendapatan tahunan rata-rata yang tidak lebih dari €18.000, Gelsenkirchen mencatatkan salah satu angka pengangguran tertinggi di Jerman, yakni lebih dari 14%. Hal ini tentu saja menjadi tantangan besar bagi para pemimpin kota, termasuk Wali Kota Karin Welge, yang berusaha keras untuk membawa kota ini keluar dari krisis yang telah berlangsung bertahun-tahun.

Sejarah Gelsenkirchen memang unik. Sebelum tahun 1960, kota ini berkembang pesat dengan populasi sekitar 400.000 orang, menjadi pusat industri batu bara terbesar di Eropa. Namun, seiring berjalannya waktu, keruntuhan industri batu bara yang terjadi secara drastis, ditambah dengan perubahan struktural yang cepat, menyebabkan penurunan besar dalam jumlah penduduk dan lapangan pekerjaan. Pada tahun 2008, tambang terakhir di Gelsenkirchen, Westerholt, menghentikan operasinya, mengakhiri era kejayaan batu bara yang menjadi tulang punggung ekonomi kota.

Saat ini, Gelsenkirchen menghadapi tantangan besar dalam beralih dari ekonomi industri berbasis batu bara ke ekonomi yang lebih berfokus pada layanan dan pendidikan. Namun, meski ada upaya untuk bertransformasi, kota ini masih bergantung pada subsidi dari pemerintah negara bagian Nordrhein-Westfalen (NRW), yang membatasi kemampuan Gelsenkirchen untuk berinvestasi lebih lanjut. Gelsenkirchen bahkan belum membangun sekolah baru sejak tahun 1970-an, sebuah bukti betapa pentingnya perhatian dan investasi yang diperlukan untuk meremajakan kota ini.

Selain masalah ekonomi, Gelsenkirchen juga menghadapi dampak dari perluasan Uni Eropa pada tahun 2007, yang membawa banyak imigran dari negara-negara seperti Bulgaria dan Rumania. Sayangnya, sebagian besar dari mereka mengalami kesulitan dalam berintegrasi dengan komunitas setempat, yang berujung pada peningkatan ketegangan sosial dan politik. Munculnya partai populis sayap kanan, Alternatif untuk Jerman (AfD), yang semakin populer di wilayah Ruhr, mencerminkan semakin kuatnya sentimen ketidakpercayaan terhadap pemerintah dan imigran.

Namun, di tengah kesulitan ini, Gelsenkirchen juga memiliki contoh upaya yang berhasil dalam memperbaiki keadaan. Salah satunya adalah proyek Nordsternpark, yang dibangun di bekas lokasi tambang. Parkir seluas 100 hektar ini kini menjadi destinasi wisata yang menarik, dengan fasilitas seperti area panjat tebing dan amfiteater, yang dapat menghidupkan kembali kenangan masa lalu Gelsenkirchen sebagai kota industri yang megah. Setiap tahun, lebih dari 200.000 pengunjung datang untuk menikmati keindahan alam yang kini menghiasi kota ini.

Di sisi lain, kawasan Bochumer Strasse juga menunjukkan semangat perubahan. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak bangunan tua yang hancur diubah menjadi area kreatif yang kini dipenuhi dengan kafe, galeri, dan tempat acara. Upaya masyarakat setempat, dengan bantuan proyek dari Negara Bagian NRW, mulai memperlihatkan hasil positif. Beberapa orang bahkan mulai berpindah ke kawasan ini, yang dulunya dianggap sebagai tempat yang kurang menarik.

Meski masih banyak tantangan yang harus dihadapi, terutama dalam hal ekonomi dan integrasi sosial, Gelsenkirchen tetap menunjukkan bahwa dengan kerja keras, semangat solidaritas, dan inovasi, kota ini bisa pulih dan berkembang menuju masa depan yang lebih baik. Transformasi yang sedang berlangsung, meskipun belum sempurna, memberi harapan bahwa perubahan itu mungkin, asalkan ada tekad untuk bergerak maju.

September 2024 Rekor Suhu Terpanas Kedua Di Eropa Dan Dunia

September 2024 telah tercatat sebagai bulan terpanas kedua dalam sejarah, baik di Eropa maupun secara global. Menurut laporan dari Copernicus Climate Change Service (C3S), rata-rata suhu global bulan lalu hanya kalah dari September 2023. Dalam periode 15 bulan terakhir, suhu global rata-rata telah meningkat lebih dari 1,5°C di atas tingkat pra-industri, menandakan perubahan iklim yang semakin mempengaruhi kondisi cuaca di seluruh dunia​.

Laporan tersebut juga mencatat bahwa bulan September menyaksikan hujan ekstrem dan badai yang menghancurkan di berbagai belahan dunia. Dengan meningkatnya suhu, udara yang lebih hangat dapat menampung lebih banyak uap air, yang mengarah pada curah hujan yang lebih intens. Dalam beberapa kasus, hujan yang biasanya terjadi dalam beberapa bulan terjadi hanya dalam beberapa hari​.

Di Eropa, suhu rata-rata bulan September tercatat 1,74°C di atas rata-rata antara 1991 hingga 2020. Namun, beberapa wilayah barat Eropa, termasuk Prancis, Spanyol, dan Portugal, mengalami suhu di bawah rata-rata. Ini menyoroti bagaimana perubahan iklim tidak merata di seluruh wilayah, menciptakan tantangan baru dalam pengelolaan sumber daya alam dan mitigasi bencana​.

Ilmuwan memperingatkan bahwa tren suhu yang meningkat ini dapat membuat tahun 2024 menjadi tahun terpanas yang pernah tercatat. Dalam laporan tersebut, para ahli mengingatkan bahwa emisi gas rumah kaca yang terus meningkat dari pembakaran bahan bakar fosil harus segera ditangani untuk mencegah dampak lebih lanjut dari perubahan iklim​(

Dengan meningkatnya frekuensi dan intensitas kejadian cuaca ekstrem, tantangan yang dihadapi oleh masyarakat global semakin besar. Upaya untuk mengurangi emisi dan memitigasi dampak perubahan iklim harus menjadi prioritas utama untuk menjaga keseimbangan ekosistem dan melindungi kehidupan manusia di Bumi​.