Kebijakan proteksionis yang terus dijalankan oleh pemerintahan Trump memunculkan istilah “neokolonialisme tarif”, yang menggambarkan cara Amerika Serikat menggunakan bea masuk untuk menekan perkembangan adil di negara-negara Global South. Pendekatan neo-merkantilisme ini berdampak pada ketidakstabilan perdagangan global dan merugikan negara-negara yang sangat bergantung pada akses pasar AS. Ketika tarif diberlakukan, harga barang melonjak, daya saing menurun, dan Global South menjadi pihak yang paling terdampak. Jika negara-negara yang terdampak merespons dengan balasan serupa, risiko perang dagang global akan semakin nyata.
Sementara itu, Uni Eropa mencoba merespons dinamika ini dengan meningkatkan kemandirian strategis dan memperluas hubungan ekonomi dengan kawasan lain. EU aktif membangun kemitraan dengan negara-negara BRICS+, serta memperkuat hubungan dengan Turki dan kawasan Teluk. Situasi perdagangan juga diperumit oleh ketegangan antara AS dan China, dua ekonomi terbesar dunia. Walaupun hubungan mereka kompleks dan penuh tantangan, kolaborasi tetap dibutuhkan demi menghindari jebakan global dan menciptakan hubungan saling menguntungkan.
China berupaya memperkuat solidaritas dengan Global South melalui visi komunitas masa depan bersama. Pendekatan diplomatik dan dukungan ekonomi menjadi bagian dari strategi China dalam mewujudkan keamanan global yang adil dan setara. Dukungan yang kuat bagi negara-negara berkembang ditunjukkan lewat kebijakan luar negeri China yang berpihak pada negara-negara yang sering terpinggirkan dalam sistem global. Komitmen ini menjadi dasar terciptanya tatanan dunia yang lebih inklusif dan damai.