Netanyahu: Kami Akan Terus Berjuang untuk Meraih Kemenangan di Gaza

Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menegaskan komitmennya untuk meraih kemenangan dalam konflik di Gaza dan memastikan pembebasan para sandera. Dalam sebuah pernyataan video, Netanyahu berkata, “Kami akan terus berjuang untuk kemenangan demi menghormati para korban tewas, termasuk untuk memulangkan semua sandera kami,” sebagaimana dilansir oleh AFP pada Rabu (30/4/2025).

Setelah itu, pada pukul 20.00 waktu setempat, sirene berbunyi di seluruh Israel sebagai tanda dimulainya hening cipta selama satu menit untuk mengenang para korban yang tewas.

Hari peringatan tahunan ini selalu menjadi momen yang penuh beban bagi warga Israel, mengingat negara ini telah terlibat dalam banyak konflik sejak berdirinya pada 1948. Namun, setelah serangan oleh Hamas pada 7 Oktober 2023 dan perang yang terus berlanjut di Gaza selama lebih dari 18 bulan, hari tersebut kini memiliki makna yang lebih mendalam bagi banyak orang.

Kepala Staf Militer Israel, Letnan Jenderal Eyal Zamir, juga berjanji akan meningkatkan usaha untuk membebaskan para sandera. Dalam pidatonya di Yerusalem, Zamir menegaskan, “Musuh-musuh kami telah salah menilai reaksi kami. Begitu pula Hamas yang salah mengira tekad kami untuk membebaskan sandera dan mengalahkannya. Kedua misi ini saling terkait, dan kami akan terus berusaha hingga keduanya tercapai.”

Dari total 251 sandera yang diculik dalam serangan tersebut, 58 masih ditahan di Gaza, dengan 34 di antaranya dipastikan tewas menurut militer Israel.

Menurut data resmi, serangan itu telah merenggut nyawa 1.218 orang, sebagian besar adalah warga sipil. Sementara itu, serangan balasan dari Israel telah mengakibatkan sedikitnya 52.365 orang tewas di Gaza, mayoritas dari mereka adalah warga sipil, menurut kementerian kesehatan setempat yang berada di bawah kontrol Hamas.

Menggali Luka Lama: Penyintas Bom Hiroshima dan Nagasaki Buka Suara di Peringatan 80 Tahun

Memasuki peringatan 80 tahun tragedi bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, para penyintas atau hibakusha mulai kembali membagikan kisah pilu mereka. Pemerintah Jepang, melalui Kementerian Kesejahteraan, meluncurkan upaya nasional untuk mengumpulkan kesaksian dari sekitar 106.000 penyintas yang masih hidup. Ini menjadi kali pertama dalam tiga dekade terakhir pemerintah meminta secara menyeluruh partisipasi dari seluruh penyintas untuk mendokumentasikan pengalaman mereka.

Selebaran telah dibagikan oleh pemerintah prefektur untuk mendorong para hibakusha menuliskan kenangan mereka. Selain itu, kementerian juga mengumpulkan potret para penyintas yang telah meninggal, pakaian yang terkena dampak ledakan, dan foto-foto bersejarah dari saat pengeboman. Semua koleksi ini nantinya akan disimpan di Balai Peringatan Perdamaian Nasional untuk Korban Bom Atom di Hiroshima dan Nagasaki, serta sebagian akan dipamerkan kepada publik atas persetujuan pemilik atau keluarganya.

Pengumpulan kesaksian skala besar sebelumnya dilakukan pada tahun 1995 ketika jumlah penyintas masih sekitar 320.000 orang. Sementara itu, pengumpulan tambahan dilakukan secara acak pada 2005 dan 2015. Tragedi mengerikan ini bermula saat Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Hiroshima pada 6 Agustus 1945, menewaskan sekitar 140.000 orang, lalu diikuti dengan serangan di Nagasaki tiga hari kemudian yang menewaskan 70.000 orang tambahan. Jepang akhirnya menyerah pada 15 Agustus 1945, menandai berakhirnya Perang Dunia II. Meski begitu, saat ini Jepang memilih untuk tidak menghadiri pertemuan PBB tentang Traktat Pelarangan Senjata Nuklir, meski dorongan kuat telah diberikan oleh Nihon Hidankyo, organisasi penyintas bom atom Jepang yang baru saja menerima Hadiah Nobel Perdamaian.

Peluang Baru Penempatan Pekerja Migran Indonesia ke Belanda

Wakil Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI), Christina Aryani, melakukan diskusi dengan Duta Besar Belanda untuk Indonesia, Marc Gerritsen, pada Selasa (29/4) di Jakarta. Mereka membahas peluang penempatan pekerja migran Indonesia di sektor-sektor penting seperti kesehatan, hospitality, otomotif, dan konstruksi di Belanda. Christina menekankan bahwa Indonesia memiliki sekolah vokasi yang dapat menghasilkan tenaga kerja terampil untuk memenuhi kebutuhan pasar Belanda.

Christina berharap bahwa lulusan vokasi, khususnya di sektor kesehatan, dapat memenuhi sekitar 10 hingga 20 persen dari kebutuhan tenaga kerja kesehatan di Belanda yang diperkirakan akan membutuhkan hingga 266.000 pekerja pada 2035. Saat ini, penempatan pekerja migran Indonesia di sektor kesehatan Belanda masih terbatas dan lebih banyak terjadi melalui skema private-to-private.

Sementara itu, Presiden Prabowo Subianto memberikan arahan untuk memperbanyak penempatan pekerja migran Indonesia di Eropa, termasuk di Belanda. Meski pemerintah Belanda belum aktif mencari pekerja migran secara resmi, mereka menghadapi kekurangan tenaga kerja di beberapa sektor. Marc Gerritsen menambahkan bahwa Belanda dapat memperluas peluang melalui skema business-to-business atau private-to-private yang dikelola oleh Kementerian P2MI.

Selain itu, Belanda juga sedang mengembangkan industri semi konduktor yang membutuhkan tenaga kerja di bidang engineering dan IT. Industri ini aktif mencari talenta dari berbagai negara, termasuk Indonesia, untuk pelatihan atau belajar, yang membuka peluang besar bagi pekerja Indonesia.

Apa Dampak Jika Ukraina Mengakui Krimea Sebagai Milik Rusia?

Amerika Serikat dikabarkan telah menyampaikan sebuah dokumen rahasia kepada sekutu-sekutu Eropanya, yang memuat usulan gencatan senjata guna menghentikan konflik antara Rusia dan Ukraina.Salah satu syarat utama dalam proposal tersebut adalah pengakuan atas kendali Rusia atas semenanjung Krimea, yang dianeksasi pada 2014. Laporan ini pertama kali dimuat oleh sejumlah media besar, termasuk Bloomberg, CNN, The Washington Post, dan The Wall Street Journal.

AS disebutkan sedang menunggu respons dari Ukraina hingga 23 April. Sebelumnya, sebuah pertemuan yang direncanakan untuk membahas perundingan damai antara Ukraina dan negara-negara seperti Jerman, Inggris, Prancis, dan AS yang seharusnya diadakan di London, Inggris, terpaksa ditunda setelah beberapa delegasi negara tersebut memutuskan untuk tidak hadir.

Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, dikabarkan juga mengundurkan diri dari pertemuan tersebut. Presiden AS Donald Trump sejauh ini belum mengonfirmasi maupun membantah kabar bahwa pengakuan Krimea sebagai wilayah Rusia menjadi salah satu syarat utama dalam proposal tersebut.

Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy, menegaskan bahwa Ukraina tidak akan pernah menerima pengakuan atas aneksasi Krimea oleh Rusia. Zelenskyy menyatakan bahwa wilayah tersebut adalah bagian dari Ukraina dan pengakuan atas aneksasi tersebut akan melanggar konstitusi Ukraina.

Sejak Rusia secara ilegal mencaplok Krimea pada tahun 2014, isu ini terus mendapat perhatian internasional. Respon pertama datang dari Refat Chubarov, pemimpin gerakan Tatar Krimea di Ukraina, yang mengkritik kebijakan AS dan menyatakan bahwa pemerintah Trump sedang menguji kepemimpinan Ukraina dengan pesan yang berisikan penyerahan teritorial sebagai syarat perdamaian.

Pernyataan keras juga datang dari pihak Ukraina, dengan penasihat Presiden Serhiy Leshchenko yang menyatakan bahwa Ukraina tidak pernah membahas pengakuan Krimea sebagai bagian dari Rusia dalam pertemuan dengan AS.

Lembaga nirlaba Robert Lansing Institute for Global Threats and Democracies Studies (RLI) mengungkapkan beberapa risiko dan dampak dari pengakuan aneksasi Krimea oleh AS. Menurut lembaga tersebut, pengakuan ini akan merusak prinsip-prinsip integritas teritorial dalam hukum internasional dan melemahkan tatanan global pasca-Perang Dunia II. Selain itu, hal tersebut juga bisa menyebabkan keretakan dalam hubungan AS dengan sekutunya, terutama dengan Ukraina dan negara-negara Eropa Timur.

Volodymyr Fesenko, ilmuwan politik Ukraina, menyebutkan bahwa pengakuan terhadap aneksasi Krimea akan menciptakan preseden yang sangat berbahaya, tidak hanya bagi Ukraina, tetapi juga bagi negara-negara lain, seperti yang terjadi dengan klaim Cina terhadap Taiwan.

Dengan situasi yang terus berkembang, banyak pihak meragukan kemungkinan tercapainya terobosan diplomatik dalam waktu dekat, dan kini pertanyaannya adalah langkah selanjutnya yang akan diambil oleh Amerika Serikat.

Penerbangan Sipil China Siap Menyambut Lonjakan Penumpang Selama Liburan Hari Buruh

Sektor penerbangan sipil China diprediksi akan mengalami pertumbuhan stabil selama liburan Hari Buruh, yang berlangsung dari 1 hingga 5 Mei. Administrasi Penerbangan Sipil China (CAAC) memperkirakan akan ada 10,75 juta penumpang yang terbang di seluruh negeri, dengan rata-rata 2,15 juta perjalanan per hari. Angka ini menunjukkan peningkatan 8 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya dan mencatatkan rekor baru untuk periode liburan tersebut.

Hari-hari puncak perjalanan, yakni 1 dan 5 Mei, diprediksi akan menyaksikan lebih dari 2,3 juta perjalanan penumpang. Sebagian besar perjalanan domestik terpusat pada rute-rute utama yang menghubungkan empat klaster kota besar di China, seperti Beijing-Tianjin-Hebei, Delta Sungai Yangtze, Kawasan Teluk Besar Guangdong-Hong Kong-Makau, dan Chengdu-Chongqing. Selain itu, rute-rute menuju destinasi wisata populer, seperti Xishuangbanna dan Lijiang di Yunnan, serta Lhasa di Xizang, juga diminati oleh banyak wisatawan.

Di sektor penerbangan internasional, permintaan diperkirakan akan mencapai tingkat tertinggi sejak awal kuartal kedua tahun ini, dengan Jepang, Korea Selatan, dan negara-negara Asia Tenggara masih menjadi tujuan utama. CAAC juga menyoroti bahwa kebijakan visa yang lebih mudah untuk wisatawan inbound dan transit, serta layanan pengembalian pajak yang disederhanakan, turut mendorong lonjakan kunjungan wisatawan asing.

Untuk mengantisipasi lonjakan perjalanan, maskapai penerbangan telah merencanakan 88.000 penerbangan terjadwal, meningkat 2,3 persen dibandingkan tahun lalu. Sebanyak 173 penerbangan ekstra juga telah disetujui, mewakili peningkatan sebesar 8 persen dibandingkan tahun lalu.

Namun, perkiraan cuaca menunjukkan suhu tinggi yang melanda China, yang berpotensi menyebabkan cuaca buruk dan curah hujan tinggi. Oleh karena itu, CAAC telah mengimbau unit-unit operasional untuk memprioritaskan keselamatan dan respons terhadap cuaca yang tidak menentu, serta mengurangi risiko cuaca ekstrem.

Korea Utara Akui Kirimkan Tentara untuk Bantu Rusia Hadapi Ukraina

Untuk pertama kalinya, Korea Utara mengonfirmasi telah mengirimkan tentara mereka untuk mendukung Rusia dalam konflik melawan Ukraina. Pyongyang menyatakan bahwa pengiriman pasukannya berdasarkan perjanjian kerja sama pertahanan bilateral antara kedua negara. Dalam laporan yang disampaikan oleh Korean Central News Agency (KCNA) pada Senin, pasukan Korut turut berperan dalam operasi pembebasan wilayah Kursk, yang dilakukan atas instruksi langsung dari Pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un.

KCNA juga menyebutkan bahwa pasukan Korut berkontribusi besar dalam menghancurkan pasukan Ukraina yang mereka sebut sebagai “kuasa neo-Nazi,” dengan menunjukkan keberanian luar biasa dan semangat pengorbanan yang tinggi. Laporan ini disampaikan setelah Rusia secara resmi mengakui keterlibatan tentara Korut dalam perang tersebut.

Dalam pertemuan telekonferensi dengan Presiden Rusia Vladimir Putin pada 26 April, Kepala Staf Umum Angkatan Bersenjata Rusia, Valery Gerasimov, mengonfirmasi bahwa Moskow berhasil merebut kembali sebagian wilayah Kursk yang sempat dikuasai Ukraina. Keberhasilan tersebut diakui sebagai simbol kuatnya hubungan persahabatan militer antara Korea Utara dan Rusia.

Perjanjian Kerja Sama Strategis Komprehensif yang ditandatangani Kim Jong Un dan Vladimir Putin pada Juni 2024 mencakup komitmen saling mendukung jika salah satu negara diserang. Pyongyang juga menekankan bahwa keterlibatan militer mereka sesuai dengan hukum internasional dan Piagam PBB.

Kim Jong Un menegaskan bahwa mereka yang berjuang demi keadilan adalah pahlawan sejati. Sebagai penghormatan, sebuah monumen untuk menghargai keberanian tentara Korut yang terlibat dalam perang tersebut akan segera dibangun di Pyongyang. Meskipun demikian, jumlah tentara Korut yang dikerahkan tidak diungkapkan.

400+ Pasien Gagal Ginjal di Gaza Meninggal Akibat Kesulitan Akses Cuci Darah Selama 18 Bulan

Pasien gagal ginjal di Gaza sedang menghadapi kondisi yang sangat sulit. Tanpa adanya konflik, mereka sudah harus menanggung penderitaan akibat penyakit dan menjalani cuci darah secara rutin. Ketika perang berlangsung, mereka semakin kesulitan mendapatkan akses untuk dialisis. Akibatnya, lebih dari seratus pasien meninggal dalam 18 bulan terakhir.

Seperti yang dilaporkan oleh detikHealth, pasien gagal ginjal yang masih bertahan hidup di Gaza terus menghadapi tantangan besar. Salah satunya adalah Mohamed Attiya (54), yang setiap minggu harus melakukan perjalanan jauh menuju Rumah Sakit Shifa untuk menjalani dialisis. Attiya telah menderita gagal ginjal selama 15 tahun dan rutin menjalani cuci darah, namun sekarang perawatan yang ia terima semakin terbatas karena kerusakan fasilitas akibat perang dan kekurangan stok perlengkapan medis. Ayah dari enam anak ini kesulitan membersihkan racun dari darahnya secara efektif.

Menurut Attiya, dialisis hanya memberinya kesempatan untuk bertahan hidup, namun tidak bisa mengatasi masalah kesehatan yang lebih mendalam. Korban jiwa di Gaza tidak hanya disebabkan oleh serangan langsung, tetapi juga oleh kekurangan perawatan medis yang memadai untuk pasien penyakit kronis seperti gagal ginjal. Laporan menyebutkan bahwa lebih dari 400 pasien meninggal dalam periode konflik karena kesulitan mendapatkan perawatan yang memadai. Ini setara dengan sekitar 40 persen dari total kasus dialisis di Gaza.

Sebelum perang, Gaza memiliki 182 mesin dialisis, namun sekarang hanya tersisa 102 unit. Sebagian besar mesin ini rusak atau tidak berfungsi akibat kerusakan infrastruktur. Di Gaza utara, hanya 27 mesin yang tersedia, padahal wilayah ini menjadi tempat pengungsian bagi ratusan ribu orang selama gencatan senjata.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kekurangan mesin dialisis ini semakin parah dengan tidak tersedianya obat-obatan yang diperlukan untuk mendukung pengobatan ginjal. Dr. Ghazi al-Yazigi, kepala departemen nefrologi dan dialisis Rumah Sakit Shifa, mengungkapkan bahwa lebih dari 400 pasien gagal ginjal meninggal akibat kekurangan perawatan yang memadai selama perang. Akibatnya, pasien-pasien seperti Attiya terpaksa menjalani sesi dialisis yang lebih pendek dan lebih jarang, yang meningkatkan risiko komplikasi serius seperti akumulasi racun dalam darah dan cairan tubuh yang dapat berujung pada kematian.

Ini adalah gambaran tragis dari dampak perang terhadap sistem kesehatan di Gaza, terutama bagi pasien-pasien yang membutuhkan perawatan medis rutin dan intensif seperti cuci darah.

WNI di Iran Aman Setelah Ledakan di Bandar Abbas, Kemlu RI Pastikan Keamanan

Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (Kemlu RI) mengonfirmasi bahwa seluruh Warga Negara Indonesia (WNI) yang berada di Iran dalam kondisi aman dan selamat, setelah terjadi ledakan di pelabuhan Shahid Rajaee, Bandar Abbas, pada Sabtu (26/4). Juru Bicara Kemlu RI, Rolliansyah Soemirat, menyatakan bahwa ada sekitar 385 WNI di Iran, namun tidak ada yang tinggal di Bandar Abbas. Mayoritas WNI di Iran merupakan mahasiswa yang menetap di Qom, sementara sebagian lainnya tinggal di Tehran, ibu kota Iran.

Menurut Kemlu RI, tahun lalu terdapat dua WNI yang bekerja sebagai Anak Buah Kapal (ABK) di Bandar Abbas, namun mereka telah kembali ke Indonesia. KBRI Tehran telah bekerja sama dengan otoritas setempat dan komunitas WNI di seluruh wilayah Iran untuk memastikan keselamatan mereka. KBRI juga akan terus memantau perkembangan situasi secara berkala.

Kemlu RI menyarankan WNI yang memerlukan bantuan untuk menghubungi hotline KBRI Tehran di nomor +989024668889. Ledakan yang terjadi di pelabuhan Shahid Rajaee diduga disebabkan oleh bahan kimia dari tank gas, yang menewaskan 25 orang dan melukai lebih dari seribu orang. Bandar Abbas, yang terletak di provinsi Hormozgan, merupakan pelabuhan strategis di selatan Iran, berbatasan dengan Qatar dan Uni Emirat Arab (UAE).

Menurut saksi mata, kebakaran kecil yang terjadi cepat menyebar dan menyebabkan ledakan besar akibat suhu udara yang sangat panas, mencapai 40 derajat Celcius, yang memperburuk kondisi di tempat tersebut.

Hussein al-Sheikh Ditunjuk Sebagai Wakil Presiden Palestina, Memicu Protes dari Faksi Hamas

Pada hari Sabtu, Komite Eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) menyetujui pengangkatan Hussein al-Sheikh, Sekretaris Jenderal komite PLO, sebagai Wakil Presiden Palestina. Keputusan ini diambil berdasarkan usulan dari Presiden Mahmoud Abbas, yang diajukan pada sidang ke-32 Dewan Pusat Palestina yang digelar pada 24 April. Abbas menyatakan komitmennya untuk memulai dialog nasional yang komprehensif, melibatkan berbagai faksi Palestina guna mencapai rekonsiliasi dan memperkuat persatuan nasional.

Dalam kesempatan tersebut, Hussein al-Sheikh juga mengirimkan surat terima kasih kepada Presiden Abbas atas pencalonannya. Selain itu, Komite Eksekutif PLO dijadwalkan untuk bertemu kembali pada minggu depan untuk memilih sekretaris jenderal yang baru. Abbas, dalam pengarahan kepada komite, juga menekankan pentingnya upaya politik yang akan datang untuk menghentikan tindakan Israel di Tepi Barat dan Gaza. Ia menyuarakan kebutuhan untuk mempercepat bantuan kemanusiaan dan medis ke Gaza, serta memperjuangkan penarikan Israel secara menyeluruh.

Keputusan pengangkatan Hussein al-Sheikh ini diputuskan dalam sebuah pemungutan suara yang dilakukan oleh 170 anggota Dewan Pusat Palestina, dengan satu anggota menentang dan satu lainnya abstain. Meskipun demikian, pertemuan Dewan Pusat ini mendapat kritik tajam dari faksi-faksi besar dalam organisasi, termasuk Front Populer, Front Demokratik, dan Inisiatif Nasional Palestina, yang memboikot pertemuan tersebut. Hamas juga mengkritik hasil pertemuan itu, dengan menyatakan bahwa keputusan tersebut mengabaikan upaya persatuan nasional dan menyerukan reformasi politik dalam tubuh PLO.

Wabah Ebola di Uganda Resmi Berakhir, Tidak Ada Kasus Baru Selama 42 Hari

Pada Sabtu, Kementerian Kesehatan Uganda mengumumkan bahwa wabah virus Ebola di negara tersebut telah resmi berakhir. Kabar baik ini disampaikan melalui pernyataan kementerian di platform X, yang menyebutkan bahwa tidak ada kasus baru selama 42 hari setelah pasien terakhir yang terkonfirmasi dipulangkan pada 14 Maret 2025. Dengan demikian, Uganda telah berhasil mengakhiri wabah penyakit virus Ebola Sudan yang sempat mengkhawatirkan. Pencapaian ini menjadi langkah besar bagi negara tersebut dalam menanggulangi penyakit berbahaya ini.

Kementerian Kesehatan Uganda juga mengucapkan terima kasih kepada petugas kesehatan, mitra, dan masyarakat yang telah memberikan dukungan penuh dalam upaya mengatasi wabah ini. Semua pihak yang terlibat dalam penanganan wabah, mulai dari tenaga medis hingga masyarakat umum, menunjukkan dedikasi yang luar biasa untuk menghentikan penyebaran virus tersebut. Pada bulan Maret, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan dua kematian terkait Ebola di Uganda, yang menambah jumlah kasus terkonfirmasi di negara tersebut menjadi sepuluh. Sementara itu, pada Februari, WHO juga mengumumkan peluncuran uji coba vaksin pertama untuk virus Ebola di Uganda, sebagai langkah lanjutan untuk memerangi penyebaran virus tersebut.

Sebelumnya, pada Januari, WHO mengirimkan tim ahli untuk membantu pemerintah Uganda dalam mengendalikan wabah Ebola yang baru muncul. Tim tersebut memberikan dukungan teknis, sumber daya, dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk melawan virus ini. Upaya tersebut terbukti efektif, dan kini Uganda dapat menyatakan bahwa ancaman Ebola telah berakhir. Meskipun demikian, pihak berwenang tetap waspada untuk mencegah kemungkinan wabah serupa di masa depan. Pemerintah Uganda dan WHO berkomitmen untuk terus memantau situasi kesehatan di negara tersebut untuk memastikan tidak ada wabah lainnya yang mengancam.