Korea Selatan Segera Gelar Pemilu Kilat Usai Pemakzulan Yoon Suk-yeol

Korea Selatan tengah bersiap menggelar pemilihan presiden mendadak setelah Presiden Yoon Suk-yeol resmi dimakzulkan oleh Mahkamah Konstitusi. Sesuai hukum yang berlaku, pemilu harus diselenggarakan dalam waktu 60 hari setelah pemakzulan disahkan. Pemerintah menetapkan 3 Juni 2025 sebagai tanggal pelaksanaan pemungutan suara. Penjabat Presiden Han Duck-soo dijadwalkan akan mengajukan tanggal tersebut dalam rapat kabinet pada Selasa, 8 April, untuk mendapatkan persetujuan resmi. Pemerintah juga berencana menjadikan hari pemilu sebagai hari libur nasional sementara guna memastikan partisipasi publik yang maksimal.

Situasi ini mengingatkan publik pada kasus pemakzulan Presiden Park Geun-hye pada 2017. Saat itu, pemilu digelar tepat 60 hari setelah keputusan pemakzulan diumumkan. Komisi Pemilihan Umum Nasional Korea Selatan telah mulai membuka pendaftaran awal calon presiden sejak 4 April, hanya sehari setelah keputusan Mahkamah disahkan. Bila tanggal 3 Juni dikukuhkan, maka masa pendaftaran calon presiden akan ditutup pada 11 Mei, sementara kampanye resmi dimulai sehari setelahnya, yakni 12 Mei.

Sesuai undang-undang yang berlaku, pegawai negeri yang ingin maju sebagai calon presiden wajib mengundurkan diri paling lambat 30 hari sebelum hari pemungutan suara, yaitu pada 4 Mei. Presiden terpilih nantinya akan langsung menjabat tanpa masa transisi, mengikuti sistem yang berlaku untuk pemilihan luar biasa. Proses ini menjadi momen penting bagi demokrasi Korea Selatan yang kembali diuji melalui mekanisme konstitusional.

Yoon Suk-yeol Minta Maaf Usai Dimakzulkan, Korea Selatan Bersiap Pilpres Dini

Mantan Presiden Korea Selatan, Yoon Suk-yeol, menyampaikan permintaan maaf kepada rakyat pada hari Jumat setelah secara resmi dimakzulkan oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam pernyataan yang dikutip kantor berita Yonhap, Yoon mengaku gagal memenuhi harapan publik dan menyebut masa pengabdiannya sebagai kehormatan terbesar dalam hidupnya. Ia juga menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam kepada masyarakat atas dukungan dan dorongan yang tetap mengalir meskipun dirinya telah melakukan kesalahan.

Partai Kekuatan Rakyat (PPP), partai yang sebelumnya mengusung Yoon, turut menyampaikan permintaan maaf secara resmi. Melalui pemimpinnya saat ini, Kwon Young-se, PPP mengungkapkan bahwa meski keputusan pemakzulan sangat disayangkan, mereka menerima hasil tersebut dengan penuh hormat dan mengajak seluruh pihak untuk menghindari kekerasan serta menjaga persatuan nasional.

Pemakzulan terhadap Yoon dipicu oleh keputusannya pada 3 Desember 2024 yang mendeklarasikan darurat militer dengan alasan adanya dugaan simpati oposisi terhadap Korea Utara serta potensi pemberontakan. Namun, tindakan tersebut langsung dibatalkan oleh parlemen hanya beberapa jam setelah diumumkan. Yoon pun saat itu mematuhi keputusan tersebut dan meminta maaf secara terbuka.

Mahkamah Konstitusi secara bulat menyetujui pemakzulan pada 14 Desember. Sebagai dampaknya, Korea Selatan kini harus menyelenggarakan pemilu lebih awal dalam waktu 60 hari, atau paling lambat pada 3 Juni. Sementara itu, Perdana Menteri Han Duck-soo akan menjabat sebagai kepala negara sementara hingga presiden baru terpilih.

Pendukung Yoon Suk Yeol Serbu Pengadilan Setelah Putusan Penahanan

Pendukung Presiden Korea Selatan yang dimakzulkan, Yoon Suk Yeol, melakukan aksi protes di luar Pengadilan Distrik Barat Seoul setelah pengadilan memutuskan untuk memperpanjang penahanan Yoon. Keputusan ini diambil menyusul tuduhan serius mengenai pemberontakan dan penyalahgunaan kekuasaan terkait deklarasi darurat militer yang dikeluarkannya pada bulan Desember lalu.

Yoon Suk Yeol menjadi presiden pertama Korea Selatan yang ditahan saat menjabat setelah Majelis Nasional mencabut jabatannya pada 14 Desember 2024. Ia dituduh mengeluarkan perintah darurat militer untuk menghentikan tindakan legislatif oleh anggota parlemen, yang dianggap sebagai pelanggaran konstitusi. Ini menunjukkan ketegangan politik yang semakin meningkat di negara tersebut, di mana pertarungan antara eksekutif dan legislatif mencapai titik kritis.

Setelah pengumuman keputusan pengadilan, ribuan pendukung Yoon berkumpul di luar gedung pengadilan dengan membawa bendera dan plakat bertuliskan “Bebaskan Presiden.” Mereka berusaha untuk menunjukkan dukungan terhadap mantan presiden dan mengekspresikan ketidakpuasan terhadap proses hukum yang dianggap tidak adil. Ini mencerminkan bagaimana loyalitas politik dapat memicu mobilisasi massa dalam situasi krisis.

Aksi protes tersebut tidak berjalan mulus, karena terjadi bentrokan antara pendukung Yoon dan aparat kepolisian yang berusaha mengamankan area sekitar pengadilan. Polisi membentuk barikade untuk mencegah demonstran mendekati pintu masuk gedung. Situasi ini menunjukkan bahwa ketegangan antara pendukung dan penegak hukum bisa meningkat dengan cepat dalam konteks politik yang sensitif.

Keputusan pengadilan untuk memperpanjang penahanan Yoon hingga 20 hari memberikan waktu bagi jaksa untuk menyusun dakwaan lebih lanjut. Jika terbukti bersalah, Yoon bisa menghadapi hukuman berat, termasuk penjara seumur hidup. Ini menunjukkan bahwa masa depan politik Korea Selatan sangat dipengaruhi oleh perkembangan kasus ini, dan dapat berdampak pada stabilitas pemerintahan.

Dengan situasi yang semakin memanas, semua pihak berharap agar proses hukum dapat berjalan transparan dan adil. Diharapkan bahwa ketegangan politik ini tidak akan mengganggu stabilitas sosial di Korea Selatan. Keberhasilan dalam menangani kasus Yoon Suk Yeol akan menjadi indikator penting bagi masa depan demokrasi dan hukum di negara tersebut.