Eropa dan China Bahas Ketegangan Dagang Imbas Kebijakan Tarif AS

Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen, menyampaikan keprihatinannya kepada Perdana Menteri China, Li Qiang, dalam percakapan telepon terbaru mereka. Ia memperingatkan agar kedua belah pihak berhati-hati dan tidak terjebak dalam eskalasi lebih lanjut terkait ketegangan perdagangan akibat tarif impor Amerika Serikat. Von der Leyen menekankan bahwa solusi yang dinegosiasikan adalah satu-satunya jalan untuk menjaga stabilitas sistem perdagangan global yang adil, setara, dan berdasarkan aturan yang jelas.

Dalam pernyataan resmi Komisi Eropa, Ursula juga mengingatkan pentingnya stabilitas dan prediktabilitas dalam menjaga keseimbangan ekonomi dunia. Ia menyoroti peran strategis China dalam mencegah terjadinya pengalihan perdagangan yang dapat mengganggu pasar global. Bersama Perdana Menteri Li Qiang, mereka pun sepakat untuk membentuk mekanisme pemantauan atas potensi pengalihan perdagangan serta menyusun langkah respons yang tepat terhadap situasi tersebut.

Von der Leyen juga menekankan perlunya solusi struktural untuk menyeimbangkan kembali hubungan perdagangan bilateral. Ia mendesak China untuk memberikan akses pasar yang lebih luas bagi produk, layanan, dan bisnis asal Eropa. Dalam percakapan itu, Presiden Komisi Eropa kembali menegaskan pentingnya perdamaian yang adil dan berkelanjutan di Ukraina, menekankan bahwa jalan menuju perdamaian harus ditentukan oleh Kyiv sendiri. Ia juga mendorong China untuk mengambil peran lebih aktif dalam mendorong tercapainya proses perdamaian tersebut.

Sementara itu, Presiden AS Donald Trump baru-baru ini mengumumkan tarif tambahan sebesar 34 persen, di luar tarif 20 persen sebelumnya, dan mengancam akan menaikkan hingga 50 persen jika China tidak menghentikan aksi balas dendam. Untuk produk dari Uni Eropa, Trump juga telah menetapkan tarif impor sebesar 20 persen.

Koalisi Relawan Gagas Pasukan Penangkal di Ukraina, Rusia Sebut Sebagai Pendudukan Terselubung

Laksamana Tony Radakin, Panglima Angkatan Bersenjata Inggris, mengadakan pertemuan di Kiev bersama mitranya dari Ukraina dan Prancis guna membahas potensi pengiriman pasukan penjamin ke wilayah Ukraina. Pertemuan ini menjadi bagian dari upaya Inggris memimpin pembentukan Koalisi Relawan yang bertujuan mewujudkan perdamaian jangka panjang di tengah konflik yang masih berlangsung. Dalam diskusi tersebut, para kepala staf militer membahas rincian struktur, jumlah, serta komposisi personel yang diperlukan jika pasukan tersebut benar-benar dibentuk. Meski tidak diungkap siapa perwakilan dari Ukraina dan Prancis yang hadir, inisiatif ini sejatinya merupakan kelanjutan dari pertemuan di Paris pada 27 Maret lalu. Presiden Prancis Emmanuel Macron sebelumnya telah menyampaikan bahwa pasukan yang dirancang bukan bertujuan menggantikan peran militer Ukraina, melainkan berfungsi sebagai pasukan penangkal untuk memperlambat laju Rusia di titik-titik strategis yang disepakati bersama. Namun, rencana ini menuai kritik keras dari Rusia. Menteri Luar Negeri Rusia, Sergey Lavrov, menegaskan bahwa kehadiran pasukan asing akan mempersulit tercapainya solusi damai dan menciptakan “fakta baru di lapangan” yang hanya akan memperpanjang konflik. Sementara itu, intelijen Rusia memperingatkan bahwa pengiriman kontingen yang dikabarkan mencapai 100.000 personel bisa menjadi bentuk pendudukan terselubung oleh Barat. Juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, menambahkan bahwa pengerahan pasukan semacam itu hanya sah jika disetujui oleh seluruh pihak yang terlibat dalam konflik.