Meski Ada Gencatan Senjata, Pengungsi Israel Masih Enggan Pulang

Meski kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Hizbullah telah diberlakukan sejak Rabu (27/11), ribuan warga Israel yang mengungsi akibat konflik masih menolak untuk kembali ke rumah mereka. Situasi yang masih dinilai tidak sepenuhnya aman membuat banyak dari mereka enggan mengambil risiko.

Rakhel Revach, salah seorang pengungsi, mengungkapkan bahwa ia belum merasa cukup aman untuk kembali. Dalam kunjungannya singkat ke Israel untuk mengambil barang-barang pribadi, ia menegaskan bahwa jaminan keamanan menjadi syarat utama baginya untuk pulang.

“Saya tidak akan kembali tinggal di sana jika keamanan belum sepenuhnya terjamin. Selama masih ada ledakan dan keberadaan tentara, saya tidak mau pulang,” ujar Revach, seperti dilaporkan oleh France 24 pada Minggu (1/12).

Ribuan Warga Tetap Mengungsi

Revach adalah satu dari lebih dari 60 ribu warga Israel yang memilih tetap mengungsi meskipun konflik telah mereda. Sebaliknya, hampir 900 ribu warga sipil Lebanon yang sebelumnya mengungsi telah mulai kembali ke rumah mereka setelah kesepakatan gencatan senjata tercapai.

Warga berusia 57 tahun itu tinggal di Kiryat Shmona, sebuah kota di Israel utara yang terkena dampak besar akibat konflik dengan Hizbullah. Serangan yang terjadi selama konflik menyebabkan kerusakan parah, termasuk jendela pecah, tembok runtuh, dan kendaraan terbakar.

Zona Militer Tertutup

Juru bicara pemerintah Kiryat Shmona, Doron Shnaper, menyebutkan bahwa banyak penduduk daerah tersebut enggan kembali ke rumah mereka. Kota itu sebelumnya telah dinyatakan sebagai zona militer tertutup, membuatnya tidak aman untuk dihuni oleh warga sipil.

“Mereka tidak akan kembali sampai perang benar-benar dinyatakan berakhir,” ujar Shnaper.

Gencatan Senjata dan Upaya Stabilitas

Gencatan senjata antara Israel dan Hizbullah dimediasi oleh Amerika Serikat dan Prancis. Perjanjian ini mengatur bahwa tentara Lebanon akan dikerahkan di sepanjang perbatasan selatan, dibantu oleh pasukan penjaga perdamaian PBB.

Sebagai bagian dari kesepakatan, pasukan Israel juga akan secara bertahap menarik diri dari Lebanon selatan dalam kurun waktu 60 hari.

Sekretaris Jenderal Hizbullah, Naim Qassem, menyatakan bahwa pihaknya akan bekerja sama dengan tentara Lebanon untuk memastikan perjanjian gencatan senjata berjalan lancar.

“Kami akan bekerja sama untuk meningkatkan kapasitas pertahanan Lebanon dan mencegah musuh (Israel) memanfaatkan kelemahan kami,” ujar Qassem dalam pidato publiknya, seperti dilaporkan oleh Al Jazeera.

Harapan Perdamaian

Meskipun gencatan senjata telah disepakati, ketegangan yang masih tersisa membuat warga kedua negara tetap waspada. Baik Israel maupun Hizbullah diharapkan dapat memanfaatkan momen ini untuk menjaga stabilitas kawasan dan menghindari eskalasi konflik lebih lanjut.

Australia Larang Anak di Bawah 16 Tahun Menggunakan Media Sosial: Kebijakan Baru Diterapkan

Australia baru saja mengambil langkah tegas dengan mengesahkan undang-undang yang melarang penggunaan media sosial bagi anak-anak di bawah usia 16 tahun. Undang-Undang Keamanan Daring atau Online Safety Amendment Social Media Minimum Age Bill 2024 ini resmi disetujui oleh majelis tinggi parlemen pada Jumat (29/11).

Dengan perbandingan suara 34 mendukung dan 19 menolak, aturan ini menjadikan Australia salah satu negara dengan regulasi media sosial paling ketat di dunia. Larangan ini mencakup platform populer seperti Facebook, Instagram, TikTok, hingga X (sebelumnya Twitter).

Aturan dan Sanksi yang Ditetapkan

Menurut laporan dari AFP, undang-undang ini memungkinkan pemerintah menjatuhkan denda hingga AU$50 juta (sekitar Rp516 miliar) kepada perusahaan teknologi yang terbukti tidak mematuhi aturan tersebut. Perusahaan media sosial diwajibkan memastikan bahwa pengguna mereka berusia minimal 16 tahun.

Namun, undang-undang ini tidak merinci langkah-langkah teknis yang harus diambil perusahaan untuk memverifikasi usia pengguna. Mereka hanya diharapkan menerapkan mekanisme yang efektif guna mencegah anak-anak di bawah usia tersebut mengakses platform. Aturan ini dijadwalkan mulai berlaku efektif dalam 12 bulan ke depan, sebagaimana dilaporkan oleh The Guardian.

Alasan di Balik Larangan

Perdana Menteri Australia, Anthony Albanese, menyatakan bahwa undang-undang ini bertujuan untuk melindungi anak-anak dari bahaya yang sering dikaitkan dengan media sosial. Menurutnya, platform tersebut dapat meningkatkan risiko kecemasan, penyebaran informasi palsu, dan perilaku negatif lainnya.

Albanese menambahkan bahwa anak-anak harus lebih banyak melakukan aktivitas fisik dan interaksi sosial secara langsung. Ia mendorong generasi muda untuk menghabiskan waktu di luar ruangan, seperti bermain sepak bola, berenang, atau beraktivitas di lapangan olahraga lainnya, daripada terpaku pada layar ponsel.

Penolakan dari Berbagai Pihak

Meski bertujuan melindungi anak-anak, larangan ini menuai kritik dari berbagai kalangan, termasuk anak-anak, akademisi, politisi, dan aktivis. Beberapa pihak berpendapat bahwa media sosial juga memiliki manfaat positif, seperti memberikan akses kepada informasi dan pengetahuan yang sulit ditemukan dalam buku.

Elsie Arkinstall, seorang anak berusia 11 tahun, mengungkapkan bahwa media sosial memudahkannya mempelajari hal-hal baru seperti teknik memasak atau membuat karya seni. Ia berpendapat bahwa anak-anak harus diberikan kebebasan untuk mengeksplorasi kreativitas mereka melalui platform ini.

Selain itu, larangan ini juga menjadi kekhawatiran bagi anak-anak introvert yang sering mengandalkan media sosial sebagai sarana untuk berkomunikasi dan menjalin pertemanan tanpa harus bertemu langsung.

Dampak dan Prospek Kebijakan

Dengan aturan baru ini, Australia menjadi pelopor dalam upaya membatasi penggunaan media sosial bagi anak-anak. Namun, keberhasilannya masih akan sangat bergantung pada bagaimana perusahaan teknologi mematuhi aturan tersebut dan bagaimana masyarakat menerima perubahan ini.

Langkah ini diharapkan dapat mengurangi dampak negatif media sosial, tetapi juga perlu memperhatikan manfaat yang selama ini diperoleh anak-anak dari platform tersebut. Ke depan, kebijakan ini akan terus menjadi bahan diskusi di antara berbagai pihak yang memiliki pandangan beragam.

Tragedi Gaza: Banjir dan Musim Dingin Perparah Derita di Tengah Agresi Israel

Hujan deras yang melanda Jalur Gaza telah memperparah penderitaan warga Palestina yang mengungsi akibat agresi militer Israel. Banjir dan badai besar menghancurkan ribuan tenda di berbagai kamp pengungsian, menambah kesulitan warga yang sudah menghadapi krisis kemanusiaan.

Dilaporkan oleh Al Jazeera, warga Gaza kini menghadapi tantangan baru dengan datangnya musim dingin. Setelah selamat dari pengeboman dan pengepungan, mereka kini harus berjuang melawan hujan lebat dan suhu dingin yang menusuk.

Suara dari Kamp Pengungsian

“Kami meninggalkan wilayah utara untuk menyelamatkan diri dari pengeboman. Namun sekarang, hujan dan dingin membuat kami semakin menderita. Saya sudah jatuh sakit selama tiga hari,” ujar Ahmad, pengungsi dari Jabalia, Gaza utara, yang kini tinggal di kamp pengungsian Stadion Yarmouk, Gaza City.

Dalam laporan tersebut, warga terlihat menggunakan ember untuk menampung air hujan yang bocor ke dalam tenda mereka. Sebagian lainnya menggali parit sederhana untuk mengalirkan air keluar dari area tempat tinggal mereka.

“Kami tidak memiliki apa-apa untuk melindungi diri. Anak-anak kami basah kuyup, pakaian kami basah, dan tenda ini tidak cukup untuk melindungi kami,” ungkap Um Mohammad Marouf, pengungsi asal Beit Lahiya.

Tenda Usang dan Krisis Bantuan

Sebagian besar tenda yang digunakan warga sejak awal konflik sudah rusak parah dan tidak mampu memberikan perlindungan memadai. Harga tenda baru dan terpal plastik yang melonjak tinggi semakin memperburuk situasi, membuat banyak pengungsi tak mampu mengganti tempat tinggal darurat mereka.

Menurut Kantor Media Pemerintah Gaza, sekitar 10.000 tenda telah hanyut atau rusak akibat badai, dengan 81 persen di antaranya tidak lagi layak digunakan. Dari total 135.000 tenda di Gaza, sekitar 110.000 membutuhkan penggantian segera.

Lembaga tersebut mendesak komunitas internasional untuk segera memberikan bantuan berupa tenda baru agar pengungsi dapat bertahan dari hujan dan dingin.

Risiko Banjir dan Agresi Israel yang Berlanjut

Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) memperingatkan bahwa setengah juta warga Gaza berada dalam risiko terkena dampak banjir.

“Setiap hujan, setiap bom, dan setiap serangan hanya akan memperburuk kondisi,” demikian pernyataan UNRWA melalui platform X.

Di tengah kondisi cuaca yang buruk, serangan militer Israel terus menghantam berbagai wilayah Gaza. Di Rafah, serangan udara menewaskan sedikitnya empat orang, sementara serangan di Jabalia merenggut tujuh nyawa. Selebaran peringatan juga terus dijatuhkan di Beit Lahiya, mendesak warga untuk mengungsi ke wilayah selatan.

Angka Korban yang Mengkhawatirkan

Sejak konflik kembali memanas pada Oktober 2023, agresi Israel di Gaza telah menewaskan lebih dari 44.235 orang, mayoritas korban adalah anak-anak dan perempuan. Selain itu, lebih dari 104.638 orang dilaporkan mengalami luka-luka akibat serangan tersebut.

Netanyahu Jadi Buronan ICC, PBB Putuskan Larangan Hubungan Resmi

Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Antonio Guterres, memberikan dukungannya terhadap langkah Mahkamah Kriminal Internasional (International Criminal Court/ICC) yang mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, dan mantan Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant.

Juru bicara Sekjen PBB, Stephane Dujarric, menjelaskan bahwa Antonio Guterres menghormati keputusan independen yang diambil oleh ICC. Menurutnya, semua negara anggota ICC memiliki kewajiban untuk mematuhi putusan tersebut.

“Sekretaris Jenderal sangat menghormati independensi dan peran Mahkamah Kriminal Internasional,” kata Dujarric, seperti dilansir dari Middle East Monitor (MEMO).

Kewajiban Negara Anggota untuk Mematuhi Putusan ICC

Dujarric menambahkan bahwa negara-negara yang telah menandatangani perjanjian dengan ICC wajib mematuhi ketetapan hukum internasional. Hal ini termasuk pelaksanaan surat perintah penangkapan terhadap Netanyahu dan Gallant.

“Semua negara anggota ICC terikat oleh perjanjian internasional untuk melaksanakan keputusan pengadilan,” jelasnya.

Ia juga mengingatkan bahwa negara-negara yang menandatangani perjanjian internasional, termasuk piagam dan kesepakatan dengan ICC, harus memenuhi kewajiban tersebut tanpa pengecualian.

Pertanyaan Mengenai Kehadiran Netanyahu di PBB

Dalam wawancara dengan media, Dujarric ditanya mengenai kemungkinan Perdana Menteri Netanyahu menghadiri pertemuan di PBB. Ia menegaskan bahwa pejabat PBB tidak akan melakukan hubungan formal dengan individu yang menjadi buronan ICC, termasuk Netanyahu.

“Setiap pertemuan dengan seseorang yang menjadi target ICC harus melibatkan persetujuan dari negara tempat kantor pusat PBB berada. Pejabat PBB tidak diperbolehkan melakukan kontak resmi dengan individu yang menjadi subjek surat perintah penangkapan,” jelas Dujarric.

Namun, ia menambahkan bahwa dalam keadaan darurat, pejabat senior PBB dapat melakukan hubungan dengan buronan ICC, jika diperlukan untuk alasan khusus.

Respons PBB terhadap Agresi Israel di Gaza

Dujarric juga menyoroti agresi Israel di Gaza, meskipun ia tidak secara langsung menyebut tindakan tersebut sebagai genosida. Ia menyampaikan bahwa pejabat PBB sangat prihatin dengan pelanggaran hukum internasional yang terus terjadi.

“Pejabat PBB, termasuk Sekretaris Jenderal dan Komisioner Tinggi untuk Hak Asasi Manusia, telah dengan jelas menyampaikan keprihatinan mereka terhadap pelanggaran serius hukum internasional yang telah terjadi,” ungkap Dujarric.

Latar Belakang Surat Perintah Penangkapan Netanyahu

Mahkamah Kriminal Internasional mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Benjamin Netanyahu dan Yoav Gallant pada Rabu (20/11). Keputusan ini didasarkan pada dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang yang terjadi sejak Oktober 2023 hingga Mei 2024.

“[Pengadilan] telah mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Tn. Benjamin Netanyahu dan Tn. Yoav Gallant atas dugaan keterlibatan dalam kejahatan terhadap kemanusiaan serta kejahatan perang,” demikian pernyataan resmi ICC.

Surat perintah ini muncul di tengah meningkatnya tekanan internasional atas tindakan Israel di Gaza, yang terus memicu kritik global.

Kesimpulan

Dukungan Sekjen PBB terhadap keputusan ICC menegaskan pentingnya penghormatan terhadap hukum internasional. Kasus ini menjadi pengingat bahwa keadilan internasional harus ditegakkan tanpa memandang siapa pun yang terlibat.

Presiden Abkhazia Mundur di Tengah Kerusuhan, Minta Demonstran Kosongkan Gedung Pemerintah

Presiden Abkhazia, Aslan Bzhania, mengumumkan pengunduran dirinya menyusul gelombang protes antipemerintah yang memanas di wilayah bekas Soviet tersebut. Dalam pengumuman yang disampaikan pada Selasa pagi (19/11/2024), ia meminta para demonstran segera meninggalkan kompleks pemerintahan yang telah mereka duduki di ibu kota, Sukhumi.

Langkah Mundur untuk Stabilitas Nasional

Keputusan ini muncul setelah delapan jam negosiasi intens antara pihak pemerintah dan oposisi pada Senin malam. Dalam dokumen resmi yang dirilis oleh kantornya, Bzhania menyatakan bahwa pengunduran diri ini dilakukan demi menjaga stabilitas negara dan ketertiban konstitusional.

“Sesuai dengan Pasal 65 Konstitusi Republik Abkhazia, saya secara resmi mengundurkan diri dari jabatan Presiden Republik Abkhazia,” tulis Bzhania dalam pernyataan tersebut.

Namun, ia memperingatkan bahwa jika para pengunjuk rasa menolak mengosongkan gedung pemerintahan, pengunduran dirinya dapat dibatalkan.

Kesepakatan dengan Oposisi

Sebagai bagian dari kesepakatan dengan kelompok oposisi, Perdana Menteri Aleksander Ankvab juga akan mundur dari jabatannya. Ia akan digantikan oleh mantan Perdana Menteri Valeri Bganba. Hingga pemilu baru dilaksanakan, Wakil Presiden Badra Gunba akan menjalankan tugas sebagai pemimpin sementara.

Pemicunya: Kesepakatan Kontroversial dengan Rusia

Kerusuhan bermula pekan lalu ketika parlemen Abkhazia mempertimbangkan perjanjian investasi dengan Moskow. Kesepakatan ini akan memungkinkan perusahaan Rusia untuk mengelola proyek investasi besar di wilayah tersebut, yang memicu kecaman dari kelompok oposisi.

Oposisi mengklaim bahwa perjanjian tersebut memberikan keuntungan besar bagi bisnis Rusia tanpa mempertimbangkan kepentingan nasional Abkhazia. Ketegangan meningkat pada Jumat (15/11), ketika para demonstran menyerbu gedung pemerintahan, menuntut pengunduran diri Bzhania.

Dalam bentrokan yang terjadi antara pengunjuk rasa dan polisi, beberapa orang dilaporkan terluka. Demonstran menolak meninggalkan lokasi hingga tuntutan mereka dipenuhi, termasuk pengunduran diri Bzhania dan penyelenggaraan pemilu baru.

Tudingan Upaya Kudeta

Bzhania sempat menyebut aksi protes ini sebagai percobaan kudeta. Ia menuduh oposisi menggunakan retorika anti-Rusia untuk memanipulasi opini publik dan merusak hubungan strategis Abkhazia dengan Moskow.

“Mereka mencoba memaksakan kehendak mereka kepada rakyat Abkhazia. Apakah ini kudeta? Ini adalah percobaan kudeta yang masih berlangsung,” ungkapnya dalam wawancara dengan media lokal pada Minggu (17/11).

Namun, oposisi membantah tuduhan tersebut. Mereka menegaskan bahwa protes ini bukan untuk melemahkan hubungan Abkhazia dengan Rusia, melainkan untuk melindungi kepentingan nasional dan sumber daya alam negara.

Sejarah Singkat Abkhazia

Republik Abkhazia, yang terletak di kawasan Kaukasus Selatan, memiliki populasi sekitar 244.000 jiwa. Wilayah ini memisahkan diri dari Georgia setelah konflik pada awal 1990-an. Pada 2008, Rusia dan beberapa negara lainnya mengakui Abkhazia sebagai negara merdeka, meskipun Georgia tetap menganggapnya sebagai bagian dari wilayah kedaulatannya.

Hingga saat ini, hubungan Abkhazia dengan Rusia menjadi isu yang sensitif, baik secara politik maupun ekonomi, terutama dalam konteks protes terbaru ini.

Pesawat Pengintai Rusia Dekati Wilayahnya Lalu Inggris Kirim Jet Tempur

Pada 17 November 2024, terjadi ketegangan di wilayah udara internasional setelah pesawat pengintai Rusia mendekati wilayah udara Inggris. Kejadian ini memicu respons cepat dari pemerintah Inggris, yang segera mengirimkan jet tempur Typhoon untuk mengidentifikasi dan mengawal pesawat Rusia yang terdeteksi sedang berada di dekat perbatasan udara mereka.

Pesawat pengintai yang terdeteksi adalah jenis Tupolev Tu-154, yang dikenal digunakan untuk misi pemantauan dan pengintaian militer. Meskipun pesawat ini tidak melanggar ruang udara Inggris, kehadirannya yang terlalu dekat dengan wilayah mereka menimbulkan kekhawatiran. Rusia sendiri belum memberikan pernyataan resmi mengenai alasan kehadiran pesawat tersebut di dekat wilayah Inggris, namun insiden ini menambah ketegangan yang sudah ada antara kedua negara.

Dalam waktu singkat setelah deteksi, Angkatan Udara Inggris mengirimkan jet tempur Typhoon dari pangkalan udara di Norfolk. Tindakan ini merupakan bagian dari kebijakan pertahanan udara Inggris untuk menjaga kedaulatan wilayah udara mereka. Jet tempur ini bertugas untuk melakukan pemantauan terhadap pesawat Rusia dan memastikan tidak ada pelanggaran terhadap ruang udara nasional.

Insiden ini kembali memicu ketegangan antara Rusia dan negara-negara Barat, terutama Inggris. Sebelumnya, sudah sering terjadi insiden serupa, tetapi kali ini meningkat dengan pengiriman jet tempur. Pemerintah Inggris menegaskan bahwa mereka akan tetap waspada terhadap aktivitas pesawat asing di sekitar wilayah udara mereka. Kejadian ini juga memunculkan pertanyaan tentang bagaimana negara-negara besar mengelola potensi ancaman di wilayah udara yang sering kali berbenturan.

Ketegangan semacam ini terus menyoroti pentingnya diplomasi dan dialog antara negara-negara besar untuk mencegah eskalasi konflik lebih lanjut.

Jet Tempur Inggris Dikerahkan untuk Pantau Pesawat Rusia di Dekat Wilayah Udara

Inggris mengerahkan jet tempur untuk mengawasi pesawat pengintai Rusia yang terdeteksi mendekati wilayah udaranya. Kementerian Pertahanan Inggris menegaskan bahwa pesawat milik Moskow tersebut tidak sempat memasuki zona udara kedaulatan negara mereka.

Dalam pernyataan resmi yang dirilis pada Jumat (15/11/2024), dua jet tempur Typhoon dari pangkalan Angkatan Udara Kerajaan Inggris (RAF) di Lossiemouth, Skotlandia, dikerahkan untuk mengikuti pesawat Bear-F Rusia yang melintas di atas Laut Utara pada Kamis (14/11).

Pesawat Rusia Tetap di Luar Wilayah Inggris

“Pesawat tersebut tidak memasuki wilayah udara kedaulatan Inggris,” demikian penegasan dari Kementerian Pertahanan Inggris.

Operasi ini juga melibatkan pesawat pengisi bahan bakar Voyager, yang mendukung kedua jet tempur Typhoon dalam misi pengawasan tersebut.

Inggris Tegaskan Kesiapan Militer

Menteri Angkatan Bersenjata Inggris, Luke Pollard, menggarisbawahi komitmen negara untuk mempertahankan kedaulatannya.

“Musuh kita tidak boleh meragukan tekad kami serta kemampuan luar biasa untuk melindungi Inggris,” ujar Pollard dalam pernyataannya.

Ia juga memberikan apresiasi kepada para personel militer yang terlibat dalam operasi ini. “Angkatan Laut dan Udara Kerajaan Inggris kembali membuktikan kesiapan mereka dalam menjaga kedaulatan negara kapan saja diperlukan. Saya sangat menghargai profesionalisme dan keberanian mereka,” tambahnya.

Pengawasan Kapal Militer Rusia

Selain pesawat tempur, Angkatan Laut Inggris juga dikerahkan untuk memantau kapal militer Rusia yang terdeteksi melintasi Selat Inggris pekan ini. Ini menjadi kali kedua dalam tiga bulan terakhir di mana aktivitas kapal dan pesawat militer Rusia terdeteksi mendekati wilayah Inggris.

Peningkatan Ketegangan di Eropa

Insiden seperti ini semakin sering terjadi di tengah berlanjutnya konflik antara Rusia dan Ukraina. Ketegangan antara Moskow dan negara-negara Barat terus meningkat, memperlihatkan perlunya kewaspadaan tinggi terhadap aktivitas militer yang dianggap provokatif.

Jepang Berduka Putri Kerajaan Meninggal Dunia

Pada tanggal 15 November 2024, Jepang mengalami kehilangan besar setelah diumumkan bahwa Putri Mikasa, anggota keluarga kerajaan yang sangat dihormati, telah meninggal dunia pada usia 88 tahun. Kabar duka ini langsung disampaikan oleh Keluarga Kekaisaran Jepang, yang mengungkapkan bahwa Putri Hisako meninggal dalam tidur akibat komplikasi kesehatan yang belum dipublikasikan secara rinci.

Putri Mikasa, yang merupakan anggota keluarga kerajaan melalui pernikahannya dengan Pangeran Takamado, dikenal sebagai sosok yang aktif dalam berbagai kegiatan sosial dan budaya. Ia juga dikenal luas atas peranannya dalam mendukung berbagai inisiatif kemanusiaan dan organisasi nirlaba. Sepanjang hidupnya, ia menjadi simbol bagi ketenangan dan kecerdasan dalam keluarga kerajaan Jepang.

Kepergian Putri Mikasa meninggalkan duka mendalam bagi rakyat Jepang dan anggota keluarga kerajaan. Ia dikenal tidak hanya sebagai seorang anggota kerajaan, tetapi juga sebagai pribadi yang dekat dengan masyarakat. Dalam beberapa kesempatan, Putri Hisako terlihat berbicara tentang pentingnya kedamaian dan kerja sama internasional, serta sering terlibat dalam acara-acara yang mempromosikan pemahaman budaya antarbangsa.

Rencana pemakaman Putri Mikasa akan dilakukan secara tertutup, sesuai dengan tradisi kerajaan Jepang, namun beberapa acara penghormatan akan diadakan untuk memperingati jasa-jasanya. Rakyat Jepang diperkirakan akan memberikan penghormatan terakhir kepada putri kerajaan yang telah meninggalkan warisan yang kaya bagi negara.

Taiwan Blokir Total Akses Perdagangan Dan Komunikasi Dengan China

Taipei — Taiwan baru-baru ini memutuskan untuk melakukan pemblokiran total terhadap akses perdagangan dan komunikasi dengan China, sebagai respon terhadap ketegangan yang semakin meningkat di Selat Taiwan. Langkah ini diambil setelah serangkaian provokasi dari pihak China yang dianggap mengancam kedaulatan Taiwan. Blokade tersebut mencakup penghentian ekspor barang-barang strategis dan larangan pertemuan antarpejabat, yang berdampak signifikan terhadap hubungan ekonomi kedua negara yang sudah terjalin lama.

Tindakan Taiwan ini mendapat reaksi keras dari pemerintah China. Beijing menyebut pemblokiran total ini sebagai langkah provokatif yang dapat memperburuk ketegangan yang sudah ada. China menganggap Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya dan telah menegaskan bahwa setiap upaya pemisahan diri atau langkah yang mendekati kemerdekaan akan dipandang sebagai ancaman serius terhadap integritas wilayah China.

Menanggapi situasi tersebut, China juga memberikan peringatan keras kepada Amerika Serikat yang selama ini mendukung Taiwan dengan bantuan militer dan diplomatik. China menegaskan bahwa setiap bentuk dukungan AS terhadap Taiwan hanya akan memperburuk situasi dan mengarah pada konflik terbuka. Pemerintah China menuntut agar AS menghentikan segala bentuk intervensi dalam urusan internal China, termasuk hubungan dengan Taiwan.

Ketegangan antara Taiwan dan China, serta dampaknya terhadap hubungan AS-China, berpotensi memengaruhi stabilitas geopolitik di kawasan Asia-Pasifik. Banyak analis memperingatkan bahwa eskalasi konflik ini bisa berdampak pada ekonomi global, mengingat posisi Taiwan yang vital dalam rantai pasokan teknologi, terutama semikonduktor. Situasi ini terus dipantau oleh negara-negara besar yang khawatir akan dampak lebih lanjut dari konflik ini terhadap perdamaian dunia.

China Diduga Paksa Warga Tibet Pasang Aplikasi Pengawasan

Pemerintah China diduga telah memaksa warga Tibet untuk mengunduh dan memasang aplikasi pengawasan yang digunakan untuk memantau aktivitas mereka secara digital. Aplikasi tersebut dirancang untuk mengumpulkan data pribadi dan lokasi penggunanya. Langkah ini merupakan bagian dari upaya Beijing untuk semakin memperketat pengawasan di wilayah yang sensitif ini, yang telah lama menjadi pusat ketegangan antara pemerintah China dan kelompok-kelompok Tibet yang berjuang untuk otonomi lebih besar.

Masyarakat internasional, terutama organisasi hak asasi manusia, mengungkapkan kekhawatiran serius tentang pelanggaran privasi dan potensi penyalahgunaan data pribadi yang terkumpul melalui aplikasi ini. Aktivis Tibet dan pengamat internasional berpendapat bahwa pemasangan aplikasi ini dapat digunakan untuk memperkuat kontrol sosial yang lebih besar di Tibet, serta menekan kebebasan berekspresi dan hak-hak individu.

Penyebaran aplikasi pengawasan ini dilaporkan telah mencakup berbagai daerah di Tibet, termasuk daerah-daerah yang memiliki populasi Tibet yang tinggi. Beberapa laporan menunjukkan bahwa warga Tibet yang menolak untuk memasang aplikasi tersebut bisa menghadapi hukuman atau pembatasan dalam berbagai aspek kehidupan sosial dan ekonomi. Tindakan ini menambah kekhawatiran tentang peningkatan kontrol politik China di wilayah tersebut.

Reaksi terhadap kebijakan ini datang dari berbagai pihak. Negara-negara Barat mengecam tindakan tersebut sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia dan kebebasan pribadi. Namun, pemerintah China membantah tuduhan tersebut dan mengklaim bahwa kebijakan tersebut diperlukan untuk menjaga keamanan nasional dan stabilitas di wilayah yang dianggap strategis ini.