Presiden Abkhazia, Aslan Bzhania, mengumumkan pengunduran dirinya menyusul gelombang protes antipemerintah yang memanas di wilayah bekas Soviet tersebut. Dalam pengumuman yang disampaikan pada Selasa pagi (19/11/2024), ia meminta para demonstran segera meninggalkan kompleks pemerintahan yang telah mereka duduki di ibu kota, Sukhumi.
Langkah Mundur untuk Stabilitas Nasional
Keputusan ini muncul setelah delapan jam negosiasi intens antara pihak pemerintah dan oposisi pada Senin malam. Dalam dokumen resmi yang dirilis oleh kantornya, Bzhania menyatakan bahwa pengunduran diri ini dilakukan demi menjaga stabilitas negara dan ketertiban konstitusional.
“Sesuai dengan Pasal 65 Konstitusi Republik Abkhazia, saya secara resmi mengundurkan diri dari jabatan Presiden Republik Abkhazia,” tulis Bzhania dalam pernyataan tersebut.
Namun, ia memperingatkan bahwa jika para pengunjuk rasa menolak mengosongkan gedung pemerintahan, pengunduran dirinya dapat dibatalkan.
Kesepakatan dengan Oposisi
Sebagai bagian dari kesepakatan dengan kelompok oposisi, Perdana Menteri Aleksander Ankvab juga akan mundur dari jabatannya. Ia akan digantikan oleh mantan Perdana Menteri Valeri Bganba. Hingga pemilu baru dilaksanakan, Wakil Presiden Badra Gunba akan menjalankan tugas sebagai pemimpin sementara.
Pemicunya: Kesepakatan Kontroversial dengan Rusia
Kerusuhan bermula pekan lalu ketika parlemen Abkhazia mempertimbangkan perjanjian investasi dengan Moskow. Kesepakatan ini akan memungkinkan perusahaan Rusia untuk mengelola proyek investasi besar di wilayah tersebut, yang memicu kecaman dari kelompok oposisi.
Oposisi mengklaim bahwa perjanjian tersebut memberikan keuntungan besar bagi bisnis Rusia tanpa mempertimbangkan kepentingan nasional Abkhazia. Ketegangan meningkat pada Jumat (15/11), ketika para demonstran menyerbu gedung pemerintahan, menuntut pengunduran diri Bzhania.
Dalam bentrokan yang terjadi antara pengunjuk rasa dan polisi, beberapa orang dilaporkan terluka. Demonstran menolak meninggalkan lokasi hingga tuntutan mereka dipenuhi, termasuk pengunduran diri Bzhania dan penyelenggaraan pemilu baru.
Tudingan Upaya Kudeta
Bzhania sempat menyebut aksi protes ini sebagai percobaan kudeta. Ia menuduh oposisi menggunakan retorika anti-Rusia untuk memanipulasi opini publik dan merusak hubungan strategis Abkhazia dengan Moskow.
“Mereka mencoba memaksakan kehendak mereka kepada rakyat Abkhazia. Apakah ini kudeta? Ini adalah percobaan kudeta yang masih berlangsung,” ungkapnya dalam wawancara dengan media lokal pada Minggu (17/11).
Namun, oposisi membantah tuduhan tersebut. Mereka menegaskan bahwa protes ini bukan untuk melemahkan hubungan Abkhazia dengan Rusia, melainkan untuk melindungi kepentingan nasional dan sumber daya alam negara.
Sejarah Singkat Abkhazia
Republik Abkhazia, yang terletak di kawasan Kaukasus Selatan, memiliki populasi sekitar 244.000 jiwa. Wilayah ini memisahkan diri dari Georgia setelah konflik pada awal 1990-an. Pada 2008, Rusia dan beberapa negara lainnya mengakui Abkhazia sebagai negara merdeka, meskipun Georgia tetap menganggapnya sebagai bagian dari wilayah kedaulatannya.
Hingga saat ini, hubungan Abkhazia dengan Rusia menjadi isu yang sensitif, baik secara politik maupun ekonomi, terutama dalam konteks protes terbaru ini.