AS Hengkang dari Investigasi Kejahatan Perang Ukraina, Kebijakan Berubah Drastis

Departemen Kehakiman AS secara diam-diam telah memberi tahu pejabat Eropa bahwa Amerika Serikat menarik diri dari koalisi internasional yang bertugas menyelidiki pihak-pihak yang bertanggung jawab atas perang di Ukraina. Keputusan ini, yang mencakup penyelidikan terhadap Presiden Rusia Vladimir Putin, menandai perubahan signifikan dari kebijakan pemerintahan Biden yang sebelumnya berkomitmen menuntut pertanggungjawaban Rusia atas kejahatan perang.

Amerika Serikat akan resmi keluar dari International Center for the Prosecution of the Crime of Aggression against Ukraine, sebuah inisiatif yang diikuti oleh pemerintahan Biden sejak 2023. Langkah ini mencerminkan pergeseran kebijakan AS di bawah kepemimpinan Trump, yang dianggap semakin condong ke arah Rusia. Koalisi tersebut sebelumnya dibentuk untuk mengadili kepemimpinan Rusia, serta sekutunya seperti Belarus, Korea Utara, dan Iran, atas kejahatan agresi yang melanggar kedaulatan suatu negara tanpa alasan pertahanan diri.

Menurut sumber terpercaya, keputusan tersebut telah disampaikan secara resmi melalui email kepada Eurojust, organisasi induk kelompok investigasi ini. AS adalah satu-satunya negara non-Eropa yang bekerja sama dengan kelompok tersebut dengan menempatkan seorang jaksa senior di Den Haag, Belanda. Selain menarik diri dari penyelidikan, pemerintahan Trump juga memangkas peran War Crimes Accountability Team, tim yang dibentuk pada 2022 untuk mengawasi upaya AS dalam menuntut Rusia atas dugaan kekejaman perang.

Pada masa pemerintahan Biden, tim ini telah memberikan dukungan logistik, pelatihan, serta bantuan hukum bagi penegak hukum Ukraina. Bahkan, pada Desember 2023, AS menggunakan undang-undang kejahatan perang untuk pertama kalinya dalam hampir tiga dekade guna mendakwa empat tentara Rusia atas dugaan penyiksaan terhadap seorang warga Amerika di Kherson, Ukraina.

Dalam beberapa kesempatan, Trump menunjukkan kedekatan dengan Putin dan menilai bahwa Ukraina turut memprovokasi perang dengan Rusia. Di media sosial, ia bahkan menyebut Presiden Volodymyr Zelenskyy sebagai “diktator tanpa pemilu” serta mengkritik kepemimpinannya. Pemerintahan Trump tidak memberikan alasan resmi atas penarikan ini, namun sumber dalam menyebut bahwa langkah tersebut diambil untuk mengalihkan sumber daya ke sektor lain. Sejak Trump berkuasa, Departemen Kehakiman AS juga telah membubarkan unit yang menangani dugaan campur tangan asing dalam pemilu serta sanksi terhadap Rusia, yang semakin memperkuat indikasi perubahan kebijakan luar negeri AS terhadap konflik Ukraina.

Rusia Tuntut Jaminan Keamanan Kuat dalam Pembicaraan Damai Ukraina

Rusia menegaskan bahwa mereka menginginkan jaminan keamanan yang kuat sebagai bagian dari perundingan penyelesaian konflik di Ukraina. Hal ini disampaikan oleh Wakil Menteri Luar Negeri Rusia, Alexander Grushko, dalam sebuah wawancara dengan harian Izvestia. Menurutnya, jaminan tersebut penting untuk memastikan perdamaian jangka panjang di Ukraina serta memperkuat stabilitas kawasan.

Salah satu syarat utama yang diajukan Rusia adalah status netral Ukraina serta penolakan NATO untuk menerima Kiev sebagai anggota. Grushko menuduh aliansi tersebut semakin agresif melalui tindakan militernya dan menolak keras gagasan pengerahan pasukan penjaga perdamaian di Ukraina. Ia menilai kehadiran NATO dalam misi tersebut sebagai sesuatu yang bertentangan dengan prinsip perdamaian.

Ia juga menanggapi pernyataan Presiden Prancis Emmanuel Macron tentang pasukan penjaga perdamaian sebagai upaya untuk mengalihkan perhatian dari masalah domestik di Prancis. Selain itu, Rusia juga bersikap skeptis terhadap keterlibatan OSCE dalam misi penjaga perdamaian, meskipun mereka membuka kemungkinan bagi kehadiran pengamat sipil tak bersenjata untuk mengawasi implementasi kesepakatan.

Sementara itu, Grushko tidak menutup kemungkinan adanya dialog baru antara Rusia dan Uni Eropa, meskipun belum jelas bagaimana peran Eropa dalam proses perdamaian. Sebelumnya, delegasi AS dan Ukraina bertemu di Jeddah, Arab Saudi, untuk membahas kemungkinan kesepakatan damai. Kiev menyatakan kesiapan menerima gencatan senjata selama 30 hari sesuai usulan Washington, sementara Presiden Rusia Vladimir Putin menegaskan bahwa Moskow hanya akan menyetujui perjanjian yang dapat menjamin perdamaian jangka panjang dan mengatasi akar permasalahan konflik.

Zelenskyy Sambut Gencatan Senjata Trump, Tantang Rusia Tunjukkan Itikad Baik

Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy menyambut baik usulan Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk memberlakukan gencatan senjata tanpa syarat selama 30 hari. Menurutnya, langkah ini dapat menjadi awal menuju perdamaian dalam konflik yang sedang berlangsung dengan Rusia. Zelenskyy menegaskan bahwa Ukraina siap mendukung upaya tersebut, tetapi menekankan bahwa Rusia harus menunjukkan kesungguhan mereka dalam mengakhiri perang atau menghadapi tekanan internasional yang semakin besar.

Jika Rusia benar-benar ingin menghentikan perang, mereka harus membuktikan niatnya dengan menerima gencatan senjata, kata Zelenskyy. Ia menambahkan bahwa seluruh dunia menantikan langkah konkret dari Moskow. Berbicara kepada wartawan di Kiev, ia menyebut bahwa pertemuan diplomatik di Jeddah telah memperkuat posisi Ukraina serta menegaskan kembali dukungan dari negara-negara sekutu. Ia juga menilai bahwa penolakan Rusia terhadap usulan ini akan memperlihatkan bukan hanya penentangan terhadap Ukraina, tetapi juga terhadap Trump sendiri.

Zelenskyy membantah klaim Rusia mengenai kepungan pasukan Ukraina di wilayah Kursk, menyebutnya sebagai propaganda yang diciptakan oleh Presiden Rusia Vladimir Putin. Ia menjelaskan bahwa justru pasukan Rusia yang tengah berusaha mengepung pasukan Ukraina di dalam wilayah Ukraina, namun militer Ukraina sepenuhnya memahami situasi tersebut. Selain itu, ia menyoroti pentingnya jaminan keamanan tertulis bagi Ukraina serta rencana rekonstruksi pascaperang yang didukung oleh Jerman dan Turki.

Mengenai keanggotaan Ukraina di NATO, Zelenskyy menegaskan bahwa Rusia tidak memiliki hak veto dalam urusan aliansi pertahanan negaranya. Ia menolak segala bentuk pengaruh Rusia dalam keputusan strategis tersebut. Menurutnya, militer Ukraina yang kuat bukan hanya penting bagi pertahanan nasional, tetapi juga bagi stabilitas dan keamanan Eropa secara keseluruhan. Ia pun mendesak sekutu-sekutunya untuk terus berkomitmen dan memberikan dukungan nyata bagi kekuatan militer Ukraina.

Moskow dan Washington Gelar Pembicaraan, Rusia Tegaskan Sikap soal Ukraina

Delegasi Amerika Serikat dijadwalkan melakukan pertemuan dengan perwakilan Rusia di Moskow untuk membahas perkembangan terbaru konflik Ukraina. Juru Bicara Kepresidenan Rusia, Dmitry Peskov, mengonfirmasi bahwa proses penerimaan informasi dari AS sedang berlangsung terkait hasil negosiasi yang digelar di Jeddah, Arab Saudi, pada Selasa lalu. Rusia akan menentukan langkah selanjutnya setelah pembicaraan bilateral ini.

Peskov menyebut bahwa sebelumnya sudah ada kontak antara penasihat kedua negara, yaitu Mike Waltz dari AS dan Yury Ushakov dari Rusia. Keduanya telah melakukan percakapan untuk bertukar informasi. Di sisi lain, utusan khusus AS untuk Timur Tengah, Steve Witkoff, tiba di Moskow dan dikabarkan akan bertemu dengan Presiden Vladimir Putin.

Saat ditanya tentang posisi Rusia dalam negosiasi, Peskov menegaskan bahwa Rusia tidak akan mengorbankan kepentingan teritorialnya. Ia menegaskan bahwa wilayah Krimea, Sevastopol, Kherson, Zaporizhia, Donetsk, dan Luhansk telah menjadi bagian dari Federasi Rusia berdasarkan konstitusi, dan hal ini tidak dapat diubah.

Moskow juga membantah adanya laporan bahwa mereka telah memberikan daftar tuntutan kepada Washington terkait Ukraina. Peskov menyebut banyak informasi di media yang tidak akurat. Sementara itu, Ukraina dikabarkan telah menerima usulan AS untuk gencatan senjata selama 30 hari, dengan keputusan akhir berada di tangan Rusia.

Menanggapi potensi sanksi tambahan dari AS untuk menekan Rusia, Peskov menyatakan bahwa negaranya telah terbiasa dengan berbagai pembatasan dan tetap berpendapat bahwa semua sanksi tersebut ilegal serta harus dicabut. Dalam kesempatan lain, Yury Ushakov mengungkapkan bahwa ia telah menegaskan pentingnya penyelesaian konflik jangka panjang dalam diskusinya dengan Waltz.

Menurut Ushakov, gencatan senjata hanya akan menjadi jeda sementara bagi Ukraina dan bukan solusi permanen. Rusia tetap menekankan bahwa resolusi damai yang berkelanjutan adalah tujuan utama. Saat ditanya mengenai kemungkinan pertemuan antara Putin dan Witkoff, Ushakov menegaskan bahwa kedua negara telah sepakat untuk menjaga kerahasiaan kontak yang dilakukan.

Putin: Inggris Jadi Target Sempurna bagi Senjata Nuklir Rusia

Keputusan Inggris untuk meningkatkan anggaran pertahanan secara signifikan di tengah ketegangan yang terus berkembang dengan Rusia memicu reaksi keras dari tokoh-tokoh pendukung Presiden Vladimir Putin. Beberapa figur yang dikenal sebagai corong pemerintah Rusia menyuarakan amarah mereka terhadap langkah Inggris ini, bahkan dengan nada yang penuh provokasi, mengancam bahwa negara itu bisa menjadi sasaran uji coba senjata nuklir Rusia.

Pada Selasa (25/2/2025), Perdana Menteri Keir Starmer mengumumkan rencana peningkatan terbesar dalam anggaran pertahanan Inggris sejak Perang Dingin, menyusul meningkatnya ketegangan dengan Rusia akibat invasi ke Ukraina. Starmer menyatakan bahwa Inggris akan mengalokasikan 2,5% dari produk domestik bruto (PDB) untuk pertahanan pada tahun 2027, dan angka itu akan meningkat menjadi 3% dalam dekade berikutnya.

Sebagai respons terhadap pengumuman tersebut, sejumlah tokoh media Rusia mulai memberikan komentar pedas. Sergey Mardan, seorang tokoh media yang cukup berpengaruh di Rusia, menyatakan bahwa Inggris tidak memiliki cukup kekuatan untuk menanggapi ancaman dari Rusia. Ia menyindir bahwa negara-negara seperti Inggris, Wales, Skotlandia, dan Ulster mengalami kesulitan dalam merekrut personel militer yang cukup, mengingat generasi muda di negara itu lebih memilih untuk menghindari tugas militer. “Pemuda Inggris tidak tertarik untuk menjalani tugas militer yang keras,” kata Mardan, sambil menambahkan bahwa Rusia akan menjadi penentu dalam menjaga keseimbangan kekuatan di kawasan tersebut.

Tidak hanya Mardan yang memberikan komentar pedas, namun juga Vladimir Solovyov, seorang penyiar televisi pemerintah Rusia, yang dengan sengaja mengungkit ancaman senjata nuklir Rusia, yaitu Poseidon, kendaraan nirawak bawah laut yang dapat membawa senjata nuklir berkecepatan tinggi. Solovyov mengungkapkan bahwa Inggris adalah tempat yang sempurna untuk menguji senjata tersebut, mengklaim bahwa Poseidon dapat dengan mudah menenggelamkan seluruh wilayah Inggris dalam sekejap. “Inggris adalah pulau yang sempurna untuk uji coba Poseidon,” ujarnya dengan nada sinis. Ia bahkan mempertanyakan berapa lama Keir Starmer—yang saat itu masih menjabat sebagai Perdana Menteri—akan bertahan di permukaan air setelah uji coba Poseidon tersebut.

Serangan verbal ini tidak hanya berhenti di situ. Olga Skabeeva, seorang pembawa acara televisi yang dikenal sebagai “Boneka Besi” yang sering mendukung narasi pemerintah Putin, juga ikut berkomentar. Ia menilai langkah Inggris dalam menanggapi ancaman Rusia sebagai kebijakan yang tidak patriotik, menyebut bahwa untuk menjadi patriot sejati, Inggris seharusnya selalu berperang dengan Rusia. “Patriotisme Inggris yang sejati adalah perang abadi dengan Rusia,” tegas Skabeeva.

Dengan meningkatnya ketegangan antara kedua negara ini, Inggris semakin menunjukkan komitmennya dalam menjaga keamanan nasionalnya dengan memperkuat kemampuan pertahanan. Namun, ancaman yang datang dari pihak Rusia memperlihatkan betapa seriusnya persaingan geopolitik ini, di mana perang kata-kata bisa memanaskan hubungan diplomatik yang sudah tegang.

Kanselir Jerman Hubungi Putin Di Tengah Ketegangan Perang Ukraina

Pada 16 November 2024, Kanselir Jerman, Olaf Scholz, mengadakan pembicaraan telepon dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin, untuk membahas perkembangan terbaru dalam konflik Rusia-Ukraina. Pembicaraan ini berlangsung di tengah ketegangan yang semakin memuncak, dengan Rusia terus melancarkan serangan besar di wilayah Ukraina. Scholz mengungkapkan bahwa tujuan utama dari telepon tersebut adalah untuk mendiskusikan kemungkinan penghentian permusuhan dan mencari solusi diplomatik untuk meredakan situasi yang semakin kompleks.

Namun, langkah Kanselir Scholz mendapat reaksi keras dari Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky. Zelensky menyatakan kekecewaannya karena merasa bahwa pembicaraan tersebut memberikan legitimasi bagi Rusia tanpa ada kemajuan nyata dalam menghentikan agresi militer terhadap Ukraina. Presiden Ukraina menganggap dialog langsung dengan Putin tanpa syarat hanya akan memperpanjang perang dan mengorbankan nyawa lebih banyak warga sipil. Ia juga menekankan bahwa Ukraina telah mengajukan tuntutan yang jelas terkait penghentian serangan, dan membangun dialog dengan Rusia dianggap tidak produktif jika Rusia tidak menunjukkan niat untuk berdamai.

Tindakan Jerman untuk mengadakan pembicaraan dengan Putin memunculkan ketegangan dalam diplomasi Eropa. Beberapa negara anggota Uni Eropa, termasuk Polandia dan negara-negara Baltik, mengkritik keputusan ini, menilai bahwa dialog dengan Rusia dapat memicu rasa frustasi di Ukraina yang tengah berjuang mempertahankan kedaulatannya. Sementara itu, sejumlah analis politik menganggap bahwa Scholz mencoba membuka peluang untuk mempercepat proses perdamaian, meski dengan risiko menambah ketegangan dengan sekutu Ukraina di Eropa.

Presiden Putin Teken Perjanjian Pertahanan Dengan Korea Utara

Pada 10 November 2024, Presiden Rusia Vladimir Putin menandatangani sebuah perjanjian penting dengan Korea Utara yang berfokus pada kerja sama pertahanan dan militer antara kedua negara. Perjanjian ini menandai penguatan hubungan bilateral yang semakin erat antara Rusia dan Korea Utara, serta menciptakan ketegangan baru dalam dinamika politik internasional, terutama dengan negara-negara Barat.

Perjanjian tersebut ditandatangani dalam sebuah upacara resmi di Moskow, yang dihadiri oleh delegasi tinggi dari kedua negara. Dalam perjanjian tersebut, Rusia berkomitmen untuk memberikan dukungan teknis dan pelatihan militer kepada Korea Utara, termasuk kemungkinan transfer teknologi pertahanan canggih. Selain itu, kedua negara sepakat untuk memperkuat kerja sama dalam menghadapi ancaman eksternal yang mereka anggap sebagai tantangan bersama, terutama terkait dengan kegiatan militer negara-negara Barat di kawasan Asia-Pasifik.

Perjanjian ini mencakup beberapa poin penting, antara lain pertukaran informasi intelijen, latihan militer bersama, dan kemungkinan pembangunan fasilitas pertahanan bersama di wilayah Korea Utara. Beberapa analis juga menduga bahwa perjanjian ini dapat melibatkan pembicaraan lebih lanjut mengenai penyediaan sistem pertahanan rudal canggih dan teknologi nuklir, meskipun hal tersebut tidak disebutkan secara rinci dalam dokumen resmi. Kerja sama ini dianggap sebagai langkah signifikan dalam mempererat aliansi Rusia-Korea Utara di tengah isolasi internasional Pyongyang.

Penandatanganan perjanjian ini menimbulkan reaksi beragam dari negara-negara Barat, yang khawatir akan dampaknya terhadap stabilitas regional. Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya, seperti Jepang dan Korea Selatan, menyuarakan kekhawatiran bahwa perjanjian ini dapat memperburuk ketegangan di kawasan Asia Timur, terutama dalam hal keamanan dan proliferasi senjata. Beberapa pihak juga menilai bahwa Rusia, dengan mendekatkan diri kepada Korea Utara, semakin memperlihatkan sikap anti-Barat yang jelas di tengah sanksi internasional yang dikenakan atas agresinya di Ukraina.

Pemerintah Rusia dan Korea Utara memastikan bahwa perjanjian ini bukan hanya tentang penguatan pertahanan, tetapi juga untuk menciptakan stabilitas regional. Kedua negara berencana untuk segera melaksanakan langkah-langkah awal dari perjanjian tersebut, dengan program pelatihan militer yang dijadwalkan dalam beberapa bulan mendatang. Sementara itu, pengamat internasional akan terus mengawasi perkembangan selanjutnya untuk melihat sejauh mana perjanjian ini dapat mempengaruhi dinamika geopolitik global, khususnya di kawasan Asia-Pasifik.

Vladimir Putin Sebut Rusia Tak Akan Buat Konsesi Untuk Akhiri Perang Ukraina

Pada 26 Oktober 2024, Presiden Rusia Vladimir Putin menegaskan bahwa Rusia tidak akan membuat konsesi dalam upaya untuk mengakhiri konflik yang sedang berlangsung di Ukraina. Pernyataan ini menunjukkan sikap tegas pemerintah Rusia terhadap tuntutan internasional dan menegaskan komitmen Moskow untuk mempertahankan posisinya. Dengan pernyataan ini, Putin memberikan sinyal bahwa negosiasi damai masih jauh dari kata sepakat.

Putin menjelaskan bahwa Rusia akan terus mempertahankan kepentingan nasionalnya dan menolak setiap bentuk tekanan dari pihak luar. Dalam pidatonya, ia menegaskan bahwa negara-negara barat tidak memahami situasi di Ukraina dan berusaha memaksakan pandangan mereka. Hal ini mencerminkan ketegangan yang semakin meningkat antara Rusia dan negara-negara barat yang mendukung Ukraina, serta menunjukkan betapa sulitnya jalan menuju perdamaian.

Selain itu, Putin menekankan pentingnya stabilitas di kawasan dan mengklaim bahwa upaya untuk mendorong Rusia mundur hanya akan menyebabkan lebih banyak konflik. Ia percaya bahwa konsesi dari pihak Rusia akan menandakan kelemahan, yang bisa dimanfaatkan oleh lawan-lawannya. Sikap ini dapat meningkatkan kekhawatiran di kalangan negara-negara tetangga dan memunculkan potensi eskalasi ketegangan lebih lanjut di wilayah tersebut.

Pernyataan Putin juga diiringi dengan penegasan bahwa Rusia akan terus meningkatkan kapasitas militernya dan berinvestasi dalam pertahanan. Ini mencerminkan strategi jangka panjang Rusia untuk memperkuat posisi militernya, meskipun situasi di medan perang terus berubah. Keputusan ini dapat berimplikasi pada kebijakan keamanan di Eropa dan global, dengan potensi dampak yang lebih luas bagi stabilitas internasional.

Sebagai penutup, penegasan Putin tentang ketidakbersediaan Rusia untuk membuat konsesi menciptakan tantangan baru bagi upaya diplomasi. Masyarakat internasional diharapkan untuk terus memantau perkembangan ini, mengingat konsekuensi yang mungkin timbul dari ketegangan yang berkepanjangan. Pencarian solusi damai menjadi semakin mendesak, namun jalan menuju kesepakatan tampaknya masih panjang dan penuh rintangan.