Keindahan Perayaan Idul Fitri di Masjid Nanxiapo, Beijing

Idul Fitri merupakan momen yang sangat dinantikan oleh umat Islam di seluruh dunia sebagai penanda berakhirnya bulan Ramadan. Perayaan ini bukan sekadar berbuka dari puasa, tetapi juga menjadi simbol pencapaian spiritual melalui kesabaran, pengorbanan, dan kebajikan. Di berbagai belahan dunia, umat Islam merayakan hari kemenangan ini dengan penuh suka cita, termasuk di Tiongkok.

Di Beijing, Masjid Nanxiapo menjadi salah satu pusat perayaan Idul Fitri yang ramai dikunjungi. Setiap pagi Idul Fitri, umat Islam dari berbagai daerah, termasuk warga lokal dan pendatang dari berbagai negara, berkumpul untuk melaksanakan salat Idul Fitri di masjid bersejarah ini. Setelah salat, suasana semakin semarak dengan beragam sajian makanan khas, buah-buahan, serta manisan yang disediakan untuk para jamaah. Kehangatan dan kebersamaan sangat terasa dalam perayaan ini, di mana setiap Muslim saling berbagi kebahagiaan.

Masjid Nanxiapo memiliki sejarah panjang yang telah berdiri lebih dari 300 tahun. Dibangun oleh komunitas Muslim Hui pada masa Dinasti Qing, masjid ini memiliki arsitektur unik dengan perpaduan gaya tradisional Tiongkok di bagian luar dan desain khas Arab di bagian dalamnya. Ruang utama masjid mampu menampung hingga 800 jamaah dan dilengkapi dengan karpet tebal serta sistem pemanas untuk kenyamanan beribadah.

Selama bulan Ramadan, masjid ini menjadi tempat berkumpul bagi umat Islam untuk beribadah dan berbuka puasa bersama. Para relawan, termasuk wanita Muslim, turut serta dalam menyiapkan makanan berbuka dengan kebersihan yang terjaga. Setiap hari, suasana penuh kebersamaan terasa di tempat ini, memperkuat rasa persaudaraan antar umat Muslim dari berbagai latar belakang.

Trump Dikabarkan Pertimbangkan Relokasi Warga Gaza ke Indonesia, Begini Respons Kemlu RI

Presiden terpilih Amerika Serikat (AS), Donald J. Trump, dikabarkan tengah mempertimbangkan rencana untuk sementara waktu memindahkan sebagian dari sekitar 2 juta warga Palestina di Gaza ke Indonesia. Wacana ini masih dalam tahap pembahasan oleh berbagai pihak terkait.

Informasi tersebut pertama kali disampaikan oleh salah satu anggota tim transisi Trump dalam sebuah wawancara dengan NBC News. Menurut laporan tersebut, utusan Trump untuk Timur Tengah, Steve Witkoff, berencana mengunjungi Jalur Gaza guna membantu menjaga kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Hamas.

Selain itu, Witkoff juga dikatakan akan secara aktif berada di kawasan tersebut dalam beberapa minggu hingga bulan ke depan guna menangani berbagai permasalahan yang mungkin muncul. Tim Trump menduga bahwa ada pihak-pihak tertentu yang ingin menggagalkan kesepakatan gencatan senjata serta menghambat upaya pembebasan sandera.

“Seseorang harus tetap mengawasi situasi dan siap merespons jika terjadi permasalahan,” ujar pejabat tersebut, dikutip dari NBC News pada Senin (20/1/2025).

NBC News juga melaporkan bahwa selain mengelola tahap kesepakatan yang sedang berjalan, Trump dan timnya tengah mencari solusi jangka panjang bagi permasalahan di Gaza.

“Jika kita tidak membantu warga Gaza dan tidak memberikan mereka kehidupan yang lebih baik serta harapan, maka kemungkinan besar akan terjadi pemberontakan,” ungkap pejabat tim transisi itu.

Salah satu opsi yang sedang dipertimbangkan adalah relokasi sementara warga Gaza ke negara lain. NBC News menyebut bahwa tim transisi Trump saat ini tengah mendiskusikan kemungkinan pemindahan sekitar 2 juta warga Palestina ke beberapa negara, termasuk Indonesia.

“Pertanyaan mengenai bagaimana membangun kembali Gaza masih terus didiskusikan, begitu pula dengan kemungkinan relokasi sementara sekitar 2 juta warga Palestina. Salah satu negara yang menjadi bahan pertimbangan dalam pembahasan ini adalah Indonesia,” kata pejabat tersebut dalam laporan NBC News.

Namun, NBC News juga menyoroti bahwa belum ada kejelasan apakah warga Gaza bersedia untuk direlokasi atau tidak. Selain itu, ide pemindahan ini dianggap kontroversial, terutama di kalangan warga Palestina dan negara-negara Arab lainnya.

Kabar ini juga telah diberitakan oleh media Israel. The Times of Israel bahkan mempublikasikan laporan berjudul “Tim Trump Mempertimbangkan Relokasi Warga Gaza Selama Pembangunan Pasca-Perang,” yang menyebut Indonesia sebagai salah satu negara yang dipertimbangkan untuk menampung warga Gaza sementara waktu.

Menanggapi kabar ini, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (Kemlu RI) menyatakan bahwa pemerintah Indonesia belum pernah menerima informasi terkait rencana tersebut.

“Pemerintah RI tidak memiliki informasi apa pun mengenai hal ini,” kata Juru Bicara Kemlu RI, Rolliansyah Soemirat, kepada wartawan.

Duterte Dalam Sorotan: ICC Kirim Surat ke Filipina untuk Penangkapan

Mantan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, kini menghadapi proses peradilan internasional setelah penangkapannya pada Selasa, 11 Maret 2025, di Bandara Internasional Ninoy Aquino, Manila. Penangkapan ini terjadi setelah Duterte mendarat dari Hong Kong, dan langsung dilakukan atas permintaan Pengadilan Kriminal Internasional (International Criminal Court/ICC).

Dalam sebuah pernyataan resmi, Istana Kepresidenan Filipina mengonfirmasi bahwa tindakan tersebut dilakukan sesuai dengan permintaan dari ICC. Pengadilan yang bermarkas di Den Haag ini telah mengirimkan surat perintah penangkapan kepada pemerintah Filipina, yang kemudian berkoordinasi dengan kepolisian internasional Interpol untuk mengeksekusi perintah tersebut.

Setelah penangkapan, Duterte segera diserahkan ke Belanda, tempat di mana proses peradilan akan dilanjutkan di ICC. Proses hukum yang dihadapi oleh Duterte berkaitan dengan tuduhan pelanggaran hak asasi manusia selama masa pemerintahannya, khususnya terkait dengan kebijakan kontroversialnya dalam perang melawan narkoba yang menyebabkan ribuan kematian.

Asisten Konsul Filipina, Kristina Conti, menyatakan bahwa Duterte harus segera diserahkan kepada negara anggota ICC. “Dia akan segera dibawa ke markas ICC di Den Haag, Belanda, untuk memulai proses peradilannya,” ungkapnya. Proses penyerahan ini menandai langkah penting dalam upaya komunitas internasional untuk mengadili kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di bawah kepemimpinan Duterte.

Meskipun Filipina menarik diri dari keanggotaan ICC pada tahun 2018, keputusan tersebut tidak menghalangi proses hukum terhadap Duterte, karena tindakan yang diduga terjadi selama masa pemerintahannya masih dapat diajukan ke pengadilan internasional. Filipina, yang sebelumnya terdaftar sebagai negara anggota ICC, memutuskan untuk menarik diri setelah kritik terhadap kebijakan perang melawan narkoba yang dianggap melanggar hak asasi manusia.

Kini, Duterte akan menjalani proses peradilan di Belanda, yang akan menjadi perhatian dunia, mengingat kontroversi besar yang mengelilingi kebijakan pemerintahannya. Dengan penangkapan ini, ICC menunjukkan komitmennya untuk menegakkan keadilan internasional dan memastikan pertanggungjawaban atas tindakan yang melanggar hukum internasional, khususnya yang terkait dengan pelanggaran hak asasi manusia.

Arab Saudi Kecam Keras Israel Usai Putus Pasokan Listrik ke Gaza

Arab Saudi mengecam keras keputusan Israel yang memutus pasokan listrik ke Jalur Gaza, wilayah yang mengalami kehancuran akibat konflik yang berlangsung sejak Oktober 2023. Riyadh memperingatkan Tel Aviv agar tidak menerapkan “hukuman kolektif” terhadap rakyat Palestina.

Dalam pernyataan yang dikutip dari Al Arabiya pada Selasa (11/3/2025), Kementerian Luar Negeri Saudi menyampaikan kecaman tegas terhadap langkah Israel yang baru-baru ini memutus aliran listrik ke Gaza.

Saudi juga kembali menegaskan “penolakan total terhadap pelanggaran Israel terhadap hukum kemanusiaan internasional.”

“Kerajaan mendesak komunitas internasional untuk segera mengambil langkah-langkah konkret guna memulihkan pasokan listrik tanpa syarat dan memastikan bantuan kemanusiaan dapat masuk ke Gaza,” demikian pernyataan dari Kementerian Luar Negeri Saudi.

Selain itu, Arab Saudi juga menekankan pentingnya penerapan mekanisme akuntabilitas global terhadap pelanggaran yang terjadi.

Sikap tegas Saudi ini disampaikan setelah Menteri Energi Israel, Eli Cohen, mengumumkan pada Minggu (9/3) bahwa dirinya telah mengeluarkan instruksi untuk menghentikan suplai listrik ke Jalur Gaza.

“Saya baru saja menandatangani perintah untuk segera menghentikan pasokan listrik ke Jalur Gaza. Kami akan menggunakan segala cara yang kami miliki untuk membawa pulang para sandera dan memastikan Hamas tidak lagi beroperasi di Gaza setelahnya,” ujar Cohen dalam sebuah pernyataan video.

Israel memutus aliran listrik setelah sebelumnya mengambil langkah kontroversial lainnya, yaitu memblokir pengiriman bantuan kemanusiaan ke Gaza hingga Hamas menyetujui syarat yang diajukan Tel Aviv untuk memperpanjang gencatan senjata yang telah berlangsung selama 15 bulan terakhir.

Gencatan senjata tahap pertama di Gaza berakhir pada 1 Maret lalu, memungkinkan masuknya bantuan makanan, tempat tinggal, dan pasokan medis. Sementara Israel ingin memperpanjang periode ini hingga pertengahan April, Hamas menuntut agar tahap kedua mengarah pada penghentian perang secara permanen.

Pada Sabtu (8/3), Hamas menuduh Israel melakukan “kejahatan perang dalam bentuk hukuman kolektif” dengan menghentikan bantuan, yang juga berdampak pada sandera Israel yang masih berada di Gaza.


Kalimat telah disusun ulang dengan tetap mempertahankan makna aslinya dan menghindari potensi plagiarisme.

Tanpa Bantuan Intelijen AS, Pertahanan Ukraina Dikabarkan Melemah

Senator Mark Kelly dari Partai Demokrat mengkritik keputusan pemerintahan Donald Trump yang menghentikan pertukaran informasi intelijen dengan Ukraina. Menurutnya, kebijakan tersebut telah melemahkan kemampuan pertahanan Ukraina dalam menghadapi agresi Rusia.

Kelly, yang baru saja kembali dari lawatan ke Ukraina, menanggapi tuduhan dari Elon Musk, penasihat Trump, yang menyebutnya sebagai “pengkhianat”. Ia menyatakan tidak menganggap serius tuduhan tersebut.

“Seratus persen,” ujar Kelly pada Senin (10/3/2025) ketika ditanya apakah situasi di medan perang bisa berbeda jika Ukraina tetap menerima intelijen dari AS. “Jika ada informasi yang mereka butuhkan tetapi tidak mereka dapatkan, tentu itu akan berdampak pada kemampuan mereka dalam mempertahankan diri.”

Kelly juga menyebut bahwa serangan besar Rusia terjadi pada Jumat dan Sabtu saat ia berada di sana, tetapi ia tidak memberikan rincian lebih lanjut terkait laporan tersebut.

Rusia Intensifkan Serangan ke Infrastruktur Ukraina

Serangan Rusia terhadap Ukraina terus meningkat dalam beberapa hari terakhir. Sejak Kamis lalu, militer Rusia meluncurkan serangan udara, rudal, dan drone yang menargetkan infrastruktur energi dan gas Ukraina.

Laporan dari otoritas setempat menyebutkan bahwa setidaknya 14 orang tewas dan 37 lainnya terluka akibat serangan tersebut. Pada Senin malam, ibu kota Ukraina, Kyiv, kembali menjadi sasaran serangan udara besar-besaran.

Sebagai anggota Komite Dinas Bersenjata Senat, Kelly mengunjungi Ukraina dari Sabtu hingga Minggu guna menunjukkan dukungan kepada rakyat negara tersebut serta menilai situasi terkini di lapangan.

Trump Tekan Zelensky dengan Hentikan Intelijen dan Bantuan Militer

Langkah pemerintahan Trump menghentikan pertukaran informasi intelijen ini disebut sebagai bagian dari strategi untuk menekan Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky agar bersedia berunding dengan Rusia.

Selain itu, Washington juga menghentikan bantuan militer ke Kyiv, semakin memperlemah posisi Ukraina di medan perang. Keputusan ini diambil setelah konfrontasi panas antara Trump dan Zelensky dalam sebuah pertemuan di Gedung Putih.

Wakil Presiden AS JD Vance, yang selama ini menolak kebijakan bantuan untuk Ukraina, turut hadir dalam pertemuan tersebut.

Saat ini, Zelensky berada di Arab Saudi untuk bertemu Putra Mahkota Mohammed bin Salman sebelum dijadwalkan bertemu dengan pejabat AS pada Selasa mendatang. Washington berharap pertemuan ini dapat membuka jalan bagi solusi diplomatik guna mengakhiri konflik yang berkepanjangan.

Dukungan AS terhadap Ukraina Terpecah

Sikap AS terhadap Ukraina semakin terpecah sejak Trump kembali menjabat sebagai Presiden pada 20 Januari 2025.

Sebelumnya, dukungan terhadap Ukraina mendapat persetujuan dari kedua partai di Kongres. Namun, kini Partai Republik mulai menunjukkan sikap yang lebih skeptis.

Ketua DPR dari Partai Republik, Mike Johnson, bahkan menyatakan bahwa tidak ada urgensi untuk mengajukan rancangan undang-undang bantuan baru bagi Ukraina.

Sebagai bentuk ketegangan politik yang semakin meruncing, Elon Musk menyerang Kelly dengan menyebutnya sebagai “pengkhianat” di platform media sosial X (sebelumnya Twitter). Tuduhan ini muncul setelah Kelly mengunggah pengalamannya selama kunjungan ke Ukraina dan menuding Trump berusaha melemahkan posisi negara tersebut menjelang perundingan damai.

Menanggapi serangan tersebut, Kelly, yang merupakan mantan astronot dan pilot tempur Angkatan Laut AS, memberikan jawaban tegas:

“Jelas, dia bukan orang yang bisa dianggap serius.”

Di media sosial X, Kelly juga membalas Musk dengan pernyataan tajam:

“Pengkhianat? Elon, jika kamu tidak memahami bahwa membela kebebasan adalah prinsip utama yang menjadikan Amerika kuat dan aman, lebih baik serahkan urusan ini kepada kami yang benar-benar mengerti.”

Kunjungan ini merupakan yang ketiga bagi Kelly ke Ukraina sejak 2023, sebagai bagian dari komitmennya dalam mendukung negara tersebut melawan agresi Rusia.

Misteri di Balik Serangan Israel ke Gaza Meski Gencatan Senjata Telah Disepakati

Puluhan warga Gaza dilaporkan tewas akibat serangan Israel hanya beberapa jam setelah diumumkannya gencatan senjata antara Hamas dan Israel. Jumlah korban terus meningkat.

Berdasarkan laporan dari sumber medis yang dikutip oleh kantor berita WAFA, jumlah korban jiwa di Jalur Gaza sejak Kamis (16/1/2025) dini hari telah mencapai 50 orang. Serangan udara Israel pada Kamis sore menghantam kamp pengungsian di Zeitoun, Gaza bagian selatan, yang menyebabkan sejumlah warga Palestina tewas dan terluka.

Serangan Meluas ke Berbagai Wilayah
Serangan udara juga terjadi di Jabalia, kawasan utara Jalur Gaza. Sebuah rumah di sekitar bundaran an-Nazleh menjadi sasaran jet tempur, menewaskan lima warga sipil, termasuk dua anak-anak dan dua perempuan. Sebelumnya, Israel juga meluncurkan serangan terhadap sebuah rumah di lingkungan Shuja’iyya, yang terletak di bagian timur Kota Gaza.

Sejak Qatar mengumumkan gencatan senjata pada Rabu (15/1/2025), yang dijadwalkan mulai berlaku pada Minggu (19/1/2025), Israel telah melancarkan delapan serangan udara dalam kurun waktu 24 jam terakhir. Akibatnya, 81 orang dilaporkan tewas, sementara 188 lainnya mengalami luka-luka.

Jumlah Korban Terus Bertambah
Otoritas kesehatan setempat mencatat bahwa sejak 7 Oktober 2023, jumlah korban jiwa akibat serangan Israel telah mencapai 46.788 orang, sementara 110.453 lainnya mengalami luka-luka. Sebagian besar korban adalah perempuan dan anak-anak.

Gencatan Senjata Tertunda Akibat Perbedaan Pandangan
Media Saudi Gazette melaporkan bahwa Israel menunda pemungutan suara dalam kabinetnya terkait perjanjian gencatan senjata. Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, pada Kamis (16/1/2025) menyatakan bahwa terdapat “hambatan menit terakhir” dengan Hamas yang menghalangi persetujuan kesepakatan tersebut, termasuk pembebasan sandera.

Menurut pernyataan dari kantor Netanyahu, kabinetnya tidak akan mengadakan pertemuan untuk menyetujui kesepakatan hingga Hamas memenuhi persyaratan yang telah disepakati. Namun, tanpa memberikan rincian lebih lanjut, Netanyahu menuduh Hamas mencoba mengubah isi perjanjian demi mendapatkan keuntungan tambahan.

Sementara itu, salah satu pejabat senior Hamas, Izzat al-Rishq, menegaskan bahwa pihaknya tetap berkomitmen pada perjanjian gencatan senjata yang telah diumumkan oleh para mediator.

Di tengah negosiasi yang berlangsung, Netanyahu menghadapi tekanan dalam negeri yang besar untuk membawa pulang para sandera. Namun, kelompok sayap kanan dalam koalisinya mengancam akan menarik dukungan terhadap pemerintahannya jika ia memberikan terlalu banyak konsesi kepada Hamas.

Menurut laporan Euronews, Hamas menyatakan bahwa mereka tidak akan melepaskan sandera yang tersisa kecuali Israel menyetujui gencatan senjata permanen serta menarik seluruh pasukan IDF dari Gaza. Di sisi lain, Israel bertekad untuk terus melanjutkan operasi militernya hingga Hamas dibubarkan dan kontrol keamanan di wilayah tersebut tetap berada di tangan mereka.

Langkah Besar! Korea Utara Luncurkan Kapal Selam Nuklir Pertama

Korea Utara untuk pertama kalinya mengungkap pembangunan kapal selam bertenaga nuklir melalui serangkaian foto yang dirilis oleh kantor berita negara, KCNA. Langkah ini semakin memperkuat ambisi Pyongyang dalam memperluas kapabilitas militernya, terutama di bidang persenjataan bawah laut.

Kim Jong Un Tinjau Pembangunan Kapal Selam Nuklir

Dalam laporan yang dipublikasikan pada Sabtu (8/3), KCNA membagikan sejumlah foto yang menunjukkan kunjungan pemimpin tertinggi Korea Utara, Kim Jong Un, ke sebuah galangan kapal. Dalam kunjungan tersebut, Kim tampak meninjau langsung proyek pembangunan kapal selam yang disebut sebagai “kapal selam berpemandu rudal strategis bertenaga nuklir”.

Meskipun KCNA tidak mengungkap detail spesifikasi kapal selam tersebut, para analis militer mulai berspekulasi mengenai kemampuan kapal ini.

Menurut Moon Keun Sik, seorang pakar kapal selam dari Universitas Hanyang, Seoul, kapal perang ini diperkirakan memiliki bobot antara 6.000 hingga 7.000 ton dan mampu membawa sekitar 10 rudal. Ia juga menyoroti penggunaan istilah “rudal berpemandu strategis”, yang mengindikasikan bahwa kapal ini kemungkinan dapat membawa senjata nuklir.

“Kapal ini benar-benar akan menjadi ancaman bagi kami [Korea Selatan] dan Amerika Serikat,” ujar Moon.

Reaksi AS dan Kemungkinan Keterlibatan Rusia

Menanggapi laporan ini, Juru Bicara Dewan Keamanan Nasional AS, Brian Hughes, mengonfirmasi bahwa Washington telah mengetahui proyek pembangunan kapal selam tersebut. Namun, ia menegaskan bahwa pihaknya belum memiliki informasi lebih lanjut.

“AS tetap berkomitmen untuk mencapai denuklirisasi penuh di Korea Utara,” ujar Hughes kepada The Korea Times.

Di sisi lain, muncul pertanyaan mengenai bagaimana Korea Utara, yang dikenal sebagai negara dengan keterbatasan sumber daya akibat sanksi internasional, dapat mengembangkan kapal selam bertenaga nuklir.

Moon Keun Sik menduga bahwa Pyongyang mungkin mendapatkan bantuan teknologi dari Rusia sebagai imbalan atas pasokan senjata dan tenaga militer yang diberikan kepada Moskow dalam perang melawan Ukraina.

Langkah Besar dalam Ambisi Militer Korea Utara

Kapal selam nuklir telah lama menjadi salah satu impian terbesar Kim Jong Un. Pada tahun 2021, ia menegaskan bahwa Korea Utara membutuhkan kapal selam bertenaga nuklir untuk menghadapi ancaman militer dari Amerika Serikat. Selain itu, Kim juga menekankan perlunya pengembangan persenjataan lain, termasuk:

  • Rudal balistik antarbenua berbahan bakar padat
  • Senjata hipersonik
  • Satelit mata-mata
  • Rudal multihulu ledak

Sejak pernyataan tersebut, Korea Utara telah melakukan serangkaian uji coba untuk merealisasikan ambisi militernya.

Sementara itu, kemampuan Korea Utara dalam meluncurkan rudal dari bawah air telah menjadi kekhawatiran serius bagi Korea Selatan. Sistem pertahanan Seoul akan lebih sulit mendeteksi serangan semacam itu dibandingkan dengan rudal yang diluncurkan dari darat.

Misteri Kapal Selam Nuklir Korea Utara

Meski Korea Utara telah mengklaim pada 2023 bahwa mereka telah meluncurkan “kapal selam nuklir taktis” pertama, banyak ahli pertahanan global yang meragukan klaim tersebut. Beberapa pihak menduga kapal yang dimaksud masih menggunakan tenaga diesel.

Saat ini, Korea Utara diperkirakan memiliki sekitar 70 hingga 90 kapal selam bertenaga diesel, menjadikannya salah satu armada kapal selam terbesar di dunia. Namun, sebagian besar kapal tersebut sudah usang dan hanya mampu meluncurkan torpedo serta ranjau, bukan rudal balistik.

Hingga saat ini, belum ada konfirmasi mengenai apakah Korea Utara benar-benar telah mengoperasikan kapal selam bertenaga nuklir. Namun, jika proyek ini berhasil, maka akan menjadi perubahan signifikan dalam kekuatan militer negara tersebut serta meningkatkan ketegangan di Semenanjung Korea.

Deretan Berita Internasional Paling Dicari Hari Ini

Pesawat pengebom B-52 milik Amerika Serikat (AS) kembali mengudara di wilayah Timur Tengah, kali ini dengan pengawalan beberapa jet tempur Israel. Sementara itu, kelompok Hamas merespons pernyataan Presiden AS Donald Trump yang mengancam akan ada konsekuensi serius bagi Jalur Gaza jika para sandera yang tersisa tidak segera dibebaskan.

Penerbangan ini merupakan misi ketiga dalam sebulan terakhir yang dilakukan oleh Satuan Tugas Pengebom AS atas arahan Washington.

Di sisi lain, Hamas menganggap pernyataan Trump dapat memicu Israel untuk mengabaikan kesepakatan gencatan senjata di Gaza. Juru bicara Hamas, Abdel-Latif al-Qanoua, menyatakan bahwa pembebasan sandera seharusnya dilakukan melalui tahap lanjutan gencatan senjata, bukan melalui ancaman kekerasan.

Berita Internasional Lainnya yang Menarik Perhatian Hari Ini, Kamis (6/3/2025):

Pesawat Pengebom AS Terbang di Timur Tengah, Dikawal Jet Tempur Israel

Pesawat pengebom B-52 AS kembali melakukan penerbangan di wilayah Timur Tengah pekan ini, dengan pengawalan dari jet tempur Israel. Pesawat ini terpantau melintasi kawasan Laut Mediterania.

Menurut laporan Al Arabiya, misi ini merupakan bagian dari operasi militer AS yang ditujukan untuk menunjukkan kekuatan dan komitmen terhadap sekutunya di kawasan tersebut. Meskipun tidak ada pernyataan resmi dari Washington, beberapa pejabat mengungkapkan bahwa misi ini bertujuan untuk mengirim pesan kepada pihak yang dianggap sebagai ancaman bahwa AS siap bertindak kapan saja dan di mana saja.

Kapal Induk AS Kembali Dikerahkan ke Timur Tengah, Ada Apa?

Militer AS mengumumkan pengerahan kembali kapal induk ke wilayah Timur Tengah, hanya sehari setelah Washington secara resmi memasukkan kelompok Houthi yang berbasis di Yaman ke dalam daftar organisasi teroris asing.

Menurut sumber yang dikutip oleh Al Arabiya, kapal induk USS Harry S Truman telah kembali beroperasi di bawah Komando Pusat AS (CENTCOM) di Timur Tengah. Sebelumnya, kapal ini sempat meninggalkan Laut Merah dan berlabuh di Teluk Souda bulan lalu setelah dua bulan menjalankan operasi tempur melawan serangan Houthi di wilayah tersebut.

Bom dari Jet Tempur Korsel Hantam Area Sipil, 15 Orang Terluka

Kesalahan teknis dalam latihan militer Korea Selatan menyebabkan jet tempur secara tidak sengaja menjatuhkan bom di kawasan pemukiman sipil pada Kamis (6/3). Insiden ini menyebabkan kerusakan pada sejumlah rumah dan sebuah gereja, serta melukai 15 orang.

Menurut laporan Dinas Pemadam Kebakaran Gyeonggi-do Bukbu, dua dari korban mengalami luka serius. Kejadian ini berlangsung di Pocheon, sebuah kota yang berjarak sekitar 40 kilometer dari ibu kota Seoul dan berbatasan langsung dengan Korea Utara.

Serangan Rudal Rusia Menghantam Kampung Halaman Zelensky, 3 Orang Tewas

Rudal Rusia dilaporkan menghantam sebuah hotel di Kryvyi Rig, Ukraina—kampung halaman Presiden Volodymyr Zelensky. Akibat serangan ini, sedikitnya tiga orang tewas dan lebih dari 30 lainnya mengalami luka-luka.

Moskow terus melancarkan serangan ke berbagai wilayah Ukraina, meskipun terdapat wacana mengenai kemungkinan perundingan untuk menghentikan konflik yang telah berlangsung selama lebih dari tiga tahun.

Gubernur Dnipropetrovsk, Sergiy Lysak, menyatakan bahwa serangan tersebut merusak sebuah bangunan hotel berlantai lima dan menyebabkan korban jiwa serta kerusakan infrastruktur yang cukup parah.

Trump Ancam Hamas, Minta Sandera Dibebaskan atau ‘Akan Mati’

Presiden AS Donald Trump melontarkan ancaman tegas kepada Hamas, menuntut pembebasan semua sandera yang masih ditahan di Jalur Gaza. Ia memperingatkan bahwa jika Hamas tidak segera melepaskan para sandera, maka akan ada konsekuensi serius.

“Bebaskan semua sandera sekarang, atau kalian akan mati,” tegas Trump dalam pernyataannya, sebagaimana dikutip dari AFP dan Reuters.

Juru bicara Hamas, Hazem Qasim, menanggapi pernyataan tersebut dengan menyebut bahwa ancaman Trump justru dapat memperburuk situasi dan membuat Israel semakin enggan mematuhi kesepakatan gencatan senjata yang telah dirundingkan.

PBB Kurangi Jatah Makanan Rohingya, Apa Penyebabnya?

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengumumkan rencana pemangkasan bantuan pangan bagi sekitar satu juta pengungsi Rohingya di Bangladesh mulai bulan depan. Program Pangan Dunia (WFP) PBB dalam surat resmi yang dirilis pada Rabu (5/3/2025) menyebutkan bahwa keterbatasan dana yang parah menjadi penyebab utama kebijakan ini. Sebelumnya, pengungsi menerima bantuan makanan senilai 12,50 dolar AS (sekitar Rp 240.000) per bulan, namun kini jumlah tersebut akan dikurangi menjadi hanya 6 dolar AS (sekitar Rp 98.000) per orang.

“Sayangnya, kami belum memperoleh pendanaan yang mencukupi, dan langkah penghematan yang telah diterapkan masih belum cukup,” demikian pernyataan dalam surat tersebut yang dikutip dari AFP, Kamis (6/3/2025). Perwakilan Badan Pengungsi Bangladesh, Md Shamsud Douza, mengungkapkan bahwa pemerintah akan segera menggelar pertemuan dengan berbagai pihak guna membahas dampak kebijakan tersebut.

Pengumuman ini disampaikan hanya beberapa hari sebelum kunjungan Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, yang dijadwalkan menemui pengungsi Rohingya dalam rangka memperingati bulan suci Ramadhan. Saat ini, sebagian besar komunitas Rohingya yang mengalami diskriminasi dan tidak memiliki kewarganegaraan tinggal di kamp-kamp pengungsian yang padat di Bangladesh. Gelombang pengungsi besar-besaran terjadi pada 2017 setelah militer Myanmar melancarkan tindakan keras, yang memaksa sekitar 750.000 warga Rohingya melarikan diri ke Bangladesh dengan membawa kisah-kisah memilukan tentang kekerasan, pembunuhan, dan pembakaran desa-desa mereka.

Bangladesh terus berupaya menampung populasi pengungsi yang besar, meskipun prospek pemulangan ke Myanmar atau relokasi ke negara ketiga masih sangat terbatas. Para pengungsi yang tinggal di kamp-kamp sekitar Cox’s Bazar dilarang bekerja dan bergantung sepenuhnya pada bantuan kemanusiaan yang kini semakin terbatas. Pemangkasan bertahap terhadap bantuan pangan ini semakin memperburuk kondisi mereka, dengan meningkatnya angka malnutrisi di kalangan pengungsi.

Kondisi yang kian sulit mendorong banyak pengungsi untuk mencari jalan keluar dengan menempuh perjalanan laut yang berbahaya demi kehidupan yang lebih baik. Pada Januari lalu, lebih dari 250 pengungsi Rohingya berhasil mencapai Indonesia setelah menempuh perjalanan panjang di lautan yang penuh risiko.

Gencatan Senjata Gaza Tak Menentu, Israel dan Hamas Bersiap Hadapi Konflik Baru

Pemerintah Israel dikabarkan tengah merancang strategi baru yang disebut sebagai “rencana neraka” untuk menekan Hamas. Tujuan dari langkah ini adalah memastikan pembebasan lebih banyak sandera tanpa harus menarik pasukan dari wilayah Palestina. Salah satu kebijakan yang diterapkan adalah memperketat blokade di Jalur Gaza. Kebijakan ini diberlakukan di tengah gencatan senjata yang telah berjalan selama enam pekan, tetapi masih diwarnai ketidakpastian.

Saat ini, belum ada indikasi dimulainya fase kedua yang sebelumnya dijadwalkan berlangsung akhir pekan lalu. Akibatnya, kedua pihak bersiap menghadapi kemungkinan pecahnya kembali konflik bersenjata.

Pemerintahan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, dikabarkan telah menyiapkan langkah untuk menghentikan pasokan makanan dan bahan bakar, sebagaimana diumumkan pada Minggu (2/3/2025). Kebijakan ini merupakan bagian dari upaya isolasi yang semakin ketat terhadap Jalur Gaza, yang dihuni sekitar 2,2 juta penduduk. Mengutip laporan The Guardian, Senin (3/3/2025), rencana tersebut mencakup pemutusan total pasokan listrik dan air yang masih tersisa. Selain itu, penduduk Gaza utara akan dipindahkan ke wilayah selatan sebagai langkah antisipasi jika perang kembali pecah.

Sementara itu, Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, telah menginstruksikan Pasukan Pertahanan Israel (IDF) untuk bersiap melanjutkan operasi militer. Situs berita Walla melaporkan bahwa mulai Rabu (5/3/2025), pasukan akan beroperasi di bawah kepemimpinan Kepala Staf baru, Mayor Jenderal Eyal Zamir. Zamir dikenal sebagai pendukung strategi penggunaan kekuatan besar untuk mencapai kemenangan cepat atas Hamas di Gaza.

Di sisi lain, media Arab melaporkan bahwa Hamas juga telah bersiap menghadapi kemungkinan pertempuran kembali. Menurut laporan Al Araby Al Jadeed yang berbasis di Qatar, kelompok tersebut telah kembali ke posisi perang dan memperketat pengamanan terhadap sandera warga Israel yang masih mereka tahan. Selain itu, Hamas dilaporkan telah mengekstraksi bahan peledak dari proyektil Israel yang tidak meledak selama pertempuran sebelumnya.